Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Eryka Khoirun Nisak

Anak (tidak) Durhaka

Gaya Hidup | Friday, 05 May 2023, 07:40 WIB

Anak ≠ aset orang tua.

Gagasan di atas semakin populer dibicarakan di ajang diskursus pada berbagai platform sosial media dewasa ini. Kontroversi mengenai sejauh mana anak harus mendedikasikan diri mereka untuk mengembalikan “utang budi” secara material, emosional, dan psikologis kepada orang tua mereka.

Sebelum bahasan ini menjadi terlalu jauh, mari kita tinjau kembali bagaimana konsep etika bekerja. Etika tak terlepas dari penilaian antara baik dan buruk, benar dan salah, dapat diterima atau tidak dapat diterima. Umumnya, etika dimaknai sebagai seperangkat prinsip yang diterima dan diyakini oleh individu atau kelompok tertentu. Tidak ada rumus pasti dalam etika.

Sekarang, bayangkan jika Anda saat ini sedang berjalan-jalan di taman terdekat. Tiba-tiba, seorang wanita menghampiri Anda dan memberikan Anda sebuah snack. Wanita tersebut mengatakan “Ini snack terbaru buatan kami, Kak. Silakan dinikmati. Jika Kakak tertarik untuk membeli, kami akan berada di sekitar taman ini selama 2 jam ke depan. Terima kasih.” dan Anda kemudian menyetujui untuk menerimanya. Berdasarkan tindakan tersebut–dari perspektif etika secara umum–adakah kewajiban tertentu yang mengikat Anda? Tidak. Anda tidak menanggung kewajiban untuk membeli snack yang ditawarkan atau pun melakukan segala tindakan dengan tujuan membalas kebaikan wanita pemberi snack. Mungkin, akan bijak jika Anda mengucapkan terima kasih kepada setelah mendapatkan snack tersebut.

Skenario di atas menunjukkan bahwasannya, pada kamus etika, seseorang tidak berkewajiban membalas kebaikan yang telah diberikan oleh orang lain. Bahkan, nasihat untuk "memberi tanpa pamrih" berkembang luas di negeri kita sendiri. Artinya, semua pemberian dianggap hasil dari keikhlasan si pemberi dengan asumsi tidak ada perjanjian tertentu antara pihak pemberi dengan penerima.

Kemudian, bagaimana prinsip etika ini berlaku dalam konteks hubungan orang tua dan anak? Apakah seorang anak memiliki "utang budi" yang harus dibalas di kemudian hari?

Perlu ditanamkan pada pikiran dan hati setiap orang–terlepas dari kepercayaan mana pun–anak tidak bisa memilih untuk lahir ke dunia atau tidak. Anak tidak berperan pada keputusan kelahirannya di dunia; mereka tidak meminta atau pun menolak atas kelahiran mereka di dunia. Seorang anak hanyalah konsekuensi dari hubungan yang dijalin orang tuanya.

Sah-sah saja jika dikatakan bahwasannya orang tua berkewajiban mengurus anak, tetapi anak tidak pernah diwajibkan untuk mengurus orang tua. Anak memiliki hak untuk dipenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, dan emosionalnya, sedangkan orang tua tidak berhak meminta untuk dipenuhi berbagai kebutuhannya kepada si anak.

Namun, di kemudian hari ketika anak sudah dewasa, mereka dapat memilih tentang bagaimana mereka memperlakukan orang tua. Toh, orang tua bukan orang lain bagi anak; orang tua merupakan asal-usul mereka ada di dunia. Terdapat hubungan darah yang orang tua dan anak.

Tetap saja, anak adalah pembuat keputusan terbesar dalam kehidupannya sendiri. Mereka memiliki kendali penuh terhadap bagaimana proporsi "balas budi" akan diberikan kepada orang tua. Lagipula, tak semua orang tua berbakti, sebagian di antaranya juga durhaka.

Tidak semua orang tua yang dikaruniai anak memperlakukan anak sebagai karunia. Tidak jarang seorang pembawa berita terdengar mewartakan temuan bayi di tong sampah. Padahal, yang harusnya dibuang adalah orang tua mereka yang keji–para pecundang yang ingkar atas kewajibannya. Untung saja aturan hukum kita cukup bijak dengan mengatur pembuangan mereka ke balik juruji besi.

Kesempurnaan memang hal yang mustahil untuk diberikan oleh manusia yang serba kekurangan. Baik orang tua maupun anak, tidak ada di antara mereka yang harus menjadi sempurna atau diperkenankan menuntut kesempurnaan. Bedanya, anak berhak atas perlakuan sebaik-baiknya dari orang tua mereka, sedangkan orang tua tidak berhak atas apa pun milik anak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image