Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image rabicha hilma jabar sasmita

Memahami Obligasi Syariah Melalui Pendapat Ulama Salaf dan Ulama Kontemporer

Ekonomi Syariah | Wednesday, 03 May 2023, 16:58 WIB

Seiring berkembangnya zaman pertumbuhan ekonomi juga berkembang semakin pesat banyak memunculkan jenis dan bentuk transaksi muamalah yang menyesuaikan eranya seperti transaksi jual beli di pasar modal. Pasar modal memiliki berbagai instrumen, diantara lain yang sedang marak dan berkembang belakangan ini adalah obligasi, saham, dan reksadana.

Saat ini di Indonesia sudah semakin meningkat kesadaran masyarakat Islam untuk melaksanakan aturan agama dalam menjalani kehidupannya, termasuk aturan dalam sistem ekonomi Syariah dan bermuamalah sesuai dengan syariat. Islam sebagai landasan kehidupan seorang Muslim ajarannya selalu relevan dengan zaman begitupula yang berkaitan dengan muamalah atau transaksi finansial. Islam telah mengatur ketentuannya sesuai al-Quran dan Sunnah. Seperti transaksi yang ramai belakangan ini tentang pasar modal, islam juga telah membahasnya sesuai syariat.

Dalam salah satu instrument pasar modal yang diminati banyak orang adalah obligasi. Dalam ekonomi Syariah obligasi disebut juga dengan sukuk yakni jamak dari sak yang berarti instrument legal, amal, cek. Sukuk dapat pula diartikan dengan efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan.

Sedangkan menurut Fatwa DSN Nomor 32/DSNMUI/IX/2002 obligasi syarȋah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syarȋah yang dikeluarkan emiten kepada obligasi syarȋah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syarȋah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Adapun menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yakni lembaga yang dibentuk untuk menciptakan satu standar yang berlaku secara global bagi seluruh industri keuangan berbasis syariah yang ada di seluruh dunia, mendefinisikan sukȗk sebagai sertifikat dengan nilai yang sama dengan bagian atau seluruhnya dari kepemilikan harta berwujud, untuk mendapatkan hasil dan jasa di dalam kepemilikan aset dari proyek tertentu atau aktivitas investasi khusus, sertifikasi ini berlaku setelah menerima nilai sukȗk, di saat jatuh tempo dengan menerima dana seutuhnya sesuai dengan tujuan sukȗk tersebut.

Sukuk Atau Obligasi Syariah Pada Zaman Rasulullah

Sukuk atau obligasi Syariah sangat berkaitan dengan transaksi mudharabah atau bagi hasil. Salah satu riwayat yang masyhur digunakan atas landasan mudharabah adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: bahwa bapaknya al-Abbas telah mempraktikkan mudharabah ketika ia memberi uang kepada temannya di mana dia mensyaratkan agar mitranya tidak mempergunakannya dengan jalan mengarungi lautan, menuruni lembah atau membelikan sesuatu yang hidup. Jika dia melakukan salah satunya, maka ia akan menjadi tanggungannya. Peristiwa ini dilaporkan kepada Nabi, dan beliau pun menyetujuinya.

Sedangkan pada riwayat yang lain, yang diriwayatkan dua putra sahabat Umar bin khatab, yaitu: Abdullah dan Ubaidillah, mereka menemui Abu Musa al-Asy'ari di Basra pada saat pulang dari peperangan Nahawand di Persia. Abu Musa al-Asy'ari memberikan kepada kedua orang tersebut agar mereka memberikannya kepada bapaknya, Umar, di Madinah. Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka membelikan sesuatu dari uang tersebut. Setelah sampai di Madinah mereka menjual barang dan mendapatkan beberapa keuntungan. Kemudian mereka memberikan uang modal saja kepada bapaknya, Umar. Umar menolak uang itu dan mengharap agar disertakan dengan keuntungannya. Mereka menolak dan menjelaskan bahwa jika uang ini hilang, mereka akan menanggungnya. Akhir riwayat, Umar menerima keputusan itu dan menyetujui bagi hasil yang telah didapatkannya".

Diatas adalah dua riwayat yang dijadikan rujukan bahwa transaksi bagi hasil atau mudharabah diperbolehkan yang mana ini jadi landasan obligasi syariah atau sukuk diperbolehkan karena para ulama menjadikan peristiwa tersebut sebagai landasan keabsahan muqaradhah/mudharabah.

Sukuk Atau Obligasi Syariah Menurut Ulama Salaf

Sedangkan menurut pandangan mazhab Hanafi, sebagaimana disampaikan oleh muridnya, Abu Yusuf, dalam memberikan komentar tentang jual beli barang yang belum dimiliki, beliau berpendapat bahwa tidak ada halangan bagi sakk (jual beli properti riil) sebelum dimiliki penjual. Hal itu menurutnya, tidak perlu diterangkan secara detail karena menjadi suatu kebiasaan mereka dalam aktivitas pengalihan harta. Imam Malik juga membolehkan yang demikian untuk dilakukan. Sedangkan mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa sakk tidak berbeda dengan hawalah. Dimaksudkan dengan hawalah berhubungan dengan penyelesaian hutang yang yang dilakukan dalam bentuk dan jumlah serta ukuran yang sama. Sedangkan penyelesaian hutang yang dilakukan bukan atas dasar pertolongan termasuk dalam kategori riba.

Sukuk Atau Obligasi Syariah Menurut Pandangan Ulama Kontemporer

Adapun beberapa pandangan tentang obligasi Syariah dari ulama-ulama kontemporer seperti pendapat Gharib al Jamal Syekh Ali al-Khafif salah seorang ulama dalam bidang fikih kontemporer menyatakan bahwa obligasi adalah bentuk lain dari akad Mudharabah, dan bagaimana diketahui bahwa akad mudharabah termasuk yang diperbolehkan oleh Fiqih Islami. Syekh ali khafif cenderung memperbolehkan transaksi obligasi Syariah karena obligasi Syariah masuk ke dalam akad mudharabah yakni bagi hasil yang mana sudah adanya kesepakatan atas keuntungan atau nisbah yang telah disepakati dua belah pihak maka dari itu transaksi ini diperbolehkan

Lalu Syekh Al-Azhar Gad al-Haq Ali Gad al-Haq pada 14/3/1979 berpendapat perihal obligasi pembangunan yang diterbitkan oleh pemerintah Mesir, “Obligasi pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan rasio komisi yang tetap merupakan sejenis pinjaman berbunga tertentu siapapun pemberi pinjamannya dan ia merupakan salah satu bentuk riba yang diharamkan dalam al- Qur’an, Sunnah, dan Ijma.’ Syekh Gad al-Haq cenderung melarang transkasi obligasi yang mana mengandung riba.

Sedangkan menurut ulama kontemporer Mesir lainnya Syekh Mahmud Shaltut membolehkan obligasi dalam keadaan untuk memenuhi suatu kebutuhan. Di mana tidak ada jalan lain lagi untuk memenuhi suatu kebutuhan itu, kecuali hanya dengan mengadakan Obligasi. Mahmud Shaltut juga memberikan persyaratan, bahwa untuk kebutuhan yang sangat mendesak di sini sampai ke taraf darurat dan maslahah, maka juga harus adanya pertimbangan ahli-ahli hukum, ahli-ahli ekonomi, dan ahli- ahli syariat. Dalam pendapatnya Mahmud Shaltut memperbolehkan transaksi obligasi dengan memberi syarat dalam keadaan mendesak maka transaksi ini diperbolehkan. Dalam hal ini Mahmud Shaltut mengambil dalil dari kaidah fikih yang berbunyi “Kebutuhan itu dapat menempati posisi dharurat baik bersifat umum maupun bersifat khusus”.

Fatwa DSN MUI tentang obligasi syariah

Indonesia sebagai negara mayoritas muslim di dunia memliki Majelis Ulama Indonesia atau MUI yang merupakan otoritas keagamaan Islam tertinggi di Indonesia. Juga mengeluarkan fatwa terkait obligasi Syariah dalam Fatwa MUI Nomor: 32/DSN-MUI/IX/2002 Tentang OBLIGASI SYARI’AH yang berisi Ketentuan Umum yakni Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga, dan Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip Syariah. Adapunketentuan Khusus yakni; 1. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain: Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna, Ijarah. 2. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan Syariah. 3. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal. 4. Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan. 5. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.

Dalam fatwa MUI ini memperbolehkan transaksi obligasi Syariah jika sesuai dengan ketentuan dan prinsip Syariah yakni menghindari praktek yang dapat merugikan salah satu pihak seperti riba, gharar, tadlis dan sebagai macamnya. Begitupula barang atau harta yang menjadi objek transaksi tidak boleh terdapat unsur haram Dan dalam pengaplikasiannya obligasi Syariah harus menggunakan akad yang diperbolehkan seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna dan ijarah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image