Bonsai yang Siap Tumbuh: Perbankan Syariah Bisa Jadi Pemimpin Ekonomi Baru?
Ekonomi Syariah | 2025-01-09 12:06:14Bank syariah ibarat pohon bonsai yang elok dan penuh potensi. Keindahan dan kekokohannya tidak diragukan, tetapi ia tampak kecil karena pot yang membatasi akarnya. Dalam kiasan ini, bank syariah dibonsai oleh struktur ekonomi global yang dominan, dikuasai oleh sistem kapitalisme yang menormalisasi riba, ketidakadilan, dan ketimpangan. Namun, seperti bonsai yang siap dipindahkan ke tanah yang lebih luas, bank syariah hanya menunggu waktu untuk bertumbuh menjadi raksasa yang menaungi ekonomi dunia dengan keadilan, keberlanjutan, dan keberkahan.
Bayangkan sebuah sungai yang mengalir tenang, membawa kehidupan dan kesuburan di sekitarnya. Sungai itu adalah sistem keuangan Islam, yang prinsip-prinsipnya mengalirkan keadilan, keberlanjutan, dan keberkahan kepada masyarakat. Berbeda dengan derasnya sungai kapitalisme yang sering menghanyutkan yang lemah dan hanya memelihara yang kuat, bank syariah adalah aliran yang mendamaikan, menyatukan keadilan ekonomi dengan nilai-nilai ilahiah.
Potensi Bank Syariah: Sebuah Paradigma Berbeda
Bank syariah tidak hanya menawarkan transaksi keuangan, tetapi juga filosofi yang mengakar pada prinsip maqashid syariah—menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sistem ini mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan kebermanfaatan sosial. Jika bank konvensional adalah pasar yang penuh kalkulasi dingin, bank syariah adalah ladang yang subur dengan prinsip berbagi hasil (profit and loss sharing), alih-alih dari sistem bunga yang membebani.
Rasulullah SAW pernah bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya." (HR. Ahmad). Prinsip ini menjadi inti dari operasional bank syariah, yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga pada manfaat bagi masyarakat luas.
Menggugat Kapitalisme: Mengapa Kita Butuh Paradigma Baru
Sistem kapitalisme modern ibarat mesin besar yang terus menggiling, sering kali meninggalkan mereka yang lemah dan tak berdaya. Ketimpangan global yang semakin melebar adalah bukti bahwa sistem ini tidak berkelanjutan. Di sinilah bank syariah hadir sebagai alternatif, menawarkan keadilan yang berbasis pada prinsip syariah dan kepentingan sosial.
Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian dan pendiri Grameen Bank, membuktikan bahwa keuangan berbasis keadilan dapat mengubah hidup jutaan orang. Meski Grameen Bank tidak sepenuhnya berbasis syariah, semangatnya sejalan dengan prinsip maqashid syariah: memberdayakan masyarakat miskin tanpa membebani mereka dengan bunga yang mencekik. Bank syariah memiliki potensi untuk mengadopsi pendekatan ini, bahkan dengan kerangka yang lebih luas dan sempurna.
Sistem keuangan global saat ini adalah piramida besar yang dibangun di atas dasar riba. Riba adalah mesin yang menggerakkan roda kapitalisme, menumbuhkan kekayaan pada segelintir orang, sambil meninggalkan yang lainnya dalam jurang ketimpangan. Sistem ini, seperti gurita, memiliki tentakel yang mencengkeram ekonomi dunia, bahkan menjadikan bank syariah seperti perahu kecil yang melawan arus besar.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Ayat ini menjadi pemandu bagi kita bahwa sistem berbasis riba bukan hanya tidak adil, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai ilahiah. Bank syariah harus membebaskan diri dari rantai ini dengan menemukan jalan alternatif yang adil, manusiawi, dan sesuai dengan syariah.
Salah satu alasan utama bank syariah saat ini masih terjebak dalam pertumbuhan yang stagnan adalah karena infrastruktur global, seperti sistem pembayaran internasional, peringkat kredit, dan standar akuntansi, dirancang untuk mendukung model berbasis bunga. Akibatnya, bank syariah sering kali harus berkompromi dengan prinsipnya demi tetap relevan di pasar global.
Namun, kompromi ini membawa risiko besar: kehilangan identitas. Jika bank syariah hanya menjadi "bank konvensional yang dimodifikasi," bagaimana ia bisa membawa perubahan yang nyata?
Pelajaran dari Imam Malik: Kembali ke Akar
Imam Malik, salah satu pendiri mazhab fikih, pernah berkata, “Yang memperbaiki generasi terdahulu adalah yang akan memperbaiki generasi berikutnya.” Prinsip ini mengingatkan kita untuk kembali ke akar ajaran Islam. Bank syariah tidak boleh berkompromi dengan prinsip syariah hanya untuk mengejar keuntungan jangka pendek. Sebaliknya, ia harus memperjuangkan model ekonomi yang benar-benar berbeda: model yang menempatkan keberkahan di atas profit, dan keadilan di atas efisiensi.
Kisah Utsman bin Affan RA, seorang pengusaha sukses di era Nabi Muhammad SAW, adalah contoh sempurna dari ekonomi berbasis keberkahan. Utsman membeli sumur milik Yahudi di Madinah dan menjadikannya sumber air gratis bagi kaum muslimin. Keputusannya tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga menjadi investasi amal jariyah yang terus mengalirkan keberkahan hingga kini.
Bank syariah memiliki potensi untuk menjadi "sumur Utsman" di era modern, menyediakan sumber daya keuangan yang tidak menindas, tetapi memberdayakan. Dengan produk seperti pembiayaan mikro, akad mudharabah, dan wakaf produktif, bank syariah dapat mengatasi masalah ketimpangan dan memberdayakan segmen masyarakat yang sering diabaikan oleh sistem konvensional.
Menghadapi Tantangan Global
Dalam ekonomi global yang penuh dengan ketidakadilan struktural, bank syariah sering dianggap sebagai pemain kecil yang tak mampu bersaing. Namun, sejarah mengajarkan bahwa pemain kecil dengan visi besar ternyata bisa dan mampu mengubah dunia. Lihatlah kisah Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh. Ia menciptakan model pembiayaan mikro yang mengangkat jutaan orang dari kemiskinan, sebuah prinsip yang sejalan dengan semangat syariah.
Bank syariah dapat mengadopsi pendekatan serupa, menjangkau komunitas yang terpinggirkan, menyediakan solusi keuangan berbasis keadilan, dan membuktikan bahwa sistem ini tidak hanya idealis, tetapi juga efektif dalam menciptakan perubahan.
Metafora Harapan: Momen Kebangkitan
Bonsai, meskipun kecil, memiliki genetik pohon besar. Dalam dirinya tersimpan potensi untuk tumbuh tinggi dan memberikan keteduhan luas. Yang dibutuhkan adalah memindahkannya ke tanah yang subur, memberinya ruang dan nutrisi untuk berkembang. Begitu pula dengan bank syariah. Ia memiliki semua fondasi untuk menjadi pemimpin ekonomi baru: etika, keberlanjutan, dan keberpihakan pada masyarakat.
Namun, transformasi ini membutuhkan keberanian. Para pelaku industri bank syariah harus berani mengambil langkah besar, memperjuangkan regulasi yang lebih adil, mengedukasi masyarakat tentang manfaat sistem syariah, dan melawan narasi global yang mencoba membonsai potensinya.
Saat dunia dilanda krisis ekonomi, saat sistem kapitalisme mulai menunjukkan keretakannya, bank syariah adalah harapan baru. Sebagai bonsai yang siap tumbuh, bank syariah tidak hanya membawa keberkahan, tetapi juga menawarkan jalan keluar dari ketidakadilan ekonomi yang sistemik.
“Dan jika engkau menanam satu benih kebaikan, maka engkau tidak hanya menumbuhkan pohon, tetapi juga menciptakan naungan bagi generasi yang akan datang.” Mari jadikan bank syariah sebagai pohon besar yang memberikan naungan keadilan ekonomi bagi seluruh umat manusia.
Bank syariah bukan sekadar institusi keuangan. Ia adalah perwujudan dari doa-doa kita untuk sistem yang lebih adil, berkelanjutan, dan penuh keberkahan. Dalam setiap transaksi yang dilakukan sesuai syariah, ada niat mulia untuk mengembalikan nilai keadilan ke dalam ekonomi dunia.
Seperti pohon yang tumbuh dari benih kecil, bank syariah memiliki potensi untuk menjadi raksasa yang menaungi dunia dengan keadilan dan keberkahan. Mari bersama-sama membesarkan paradigma ini, karena di sanalah terletak masa depan yang lebih baik bagi umat manusia. (Diana Hudan - Pegiat Ekonomi Syariah).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.