Paradoks Pendidikan Kritis: Menggugat Merdeka Belajar dan Berfikir
Pendidikan dan Literasi | 2023-05-02 15:39:36
Pendidikan merupakan senjata pengetahuan bagi setiap manusia, jelas bahwa alat untuk mewujudkan kesadaran kritis melalui pendidikan, kita dapat mengembangkan berbagai potensi diri, keterampilan, kedewasaan, kecerdasan, kepekaan, pengendalian diri berikut pengabdian kepada masyarakat dengan pengetahuan yang kita miliki melalui pendidikan baik formal maupun non formal.
Dalam proses pendidikan guru/dosen selalu menjadi orang yang mengajarkan, mentransfer, mengakomodir, mentransformasikan pengetahuannya kepada murid ataupun mahasiswa. Sebagai pendidik mereka tentu wajib untuk membentuk peserta didik menjadi proaktif, kreatif, inovatif dan memiliki semangat pembaharuan demi cita-cita bangsa dan negara. Mengingat salah satu tujuan bangsa kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, begitu kira-kira. Salah satu bentuk keseriusan pendidikan untuk mewujudkan insan-insan akademis yang bermutu adalah dengan apa yang kemudian dicetuskan Kemendikbud yaitu Kampus Merdeka. Alih-alih memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk merdeka dalam belajar, dengan membebaskan untuk belajar selama tiga semester diluar jurusannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bahwa konsep kampus merdeka adalah transformasi dari merdeka belajar yang ini dipercaya dapat meningkatkan kualitas pelajar/mahasiswa dalam menempu pendidikannya di Perguruan Tinggi. Dengan membebaskan para pelajar selama tiga semester diharapkan mampu menambah wawasan, mengasah skill, menjadi pelajar yang unggul, dan siap menjadi pelopor perubahan serta mampu menjadi pemimpin yang tangguh dalam menghadapi tantangan zaman. Namun, benarkah konsep kampus merdeka ataupun merdeka belajar benar-benar sudah terimplementasikan dalam pendidikan kita di perguruan tinggi khususnya ?
Menurut Moh. Yamin bahwa pendidikan adalah media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membawa bangsa ini pada era aufklarung (pencerahan). Namun faktanya masih banyak masalah dalam pendidikan kita hari ini, sebagai contoh sarana dan prasarana yang tidak memadai, bahan belajar yang masih minim, dan keterbatasan pendidik yang terampil dibidangnya. Sejalan dengan hal itu, ada hal yang perlu dilihat dan dipertanyakan berkenaan sudahkah kita merdeka dalam belajar ? tentu saja kita semua akan sontak mengatakan, belum. Konsep pendidikan yang hari ini di terapkan di berbagai institusi pendidikan justru menerapkan apa yang disebut Paulo Friere sebagai budaya bisu. Pelajar hanya diam dan menerima apa adanya yang telah disampaikan, tak bisa membantah, mengoreksi, apalagi menawarkan pemikiran lain. Pendidikan model seperti itulah yang mematikan kesadaran kritis, membentuk ketakutan, kerancuan , penindasan tiada ampun berikut menghilangkan hak yang dimiliki pelajar untuk lebih kritis. Pendidikan hari ini telah membungkam mulut, fikiran serta gerakan yang dilakukan para pelajar dengan membentuk regulasi sebagai konsekuensi dari setiap perlawanan untuk merdeka. Contoh kasus yang paling kongkret ketika kita melihat masih banyak menemui dan melihat pendidik yang mengancam mahasiswanya atau muridnya jika melawan, atau tidak mendengarkan apa yang diucapkan sekalipun keliru, tentu berimbas pada nilai para pelajar. Bahkan yang lebih parahnya, banyak oknum pendidik yang menggunakan relasi kuasa atas pelajar untuk melakukan tindakan seksual harrasment atau pelecehan seksual, ini sudah menjadi rahasia umum dalam lanskap pendidikan kita. Misalnya kasus-kasus yang sudah terjadi di salah satu kampus ternama di Sulawesi Tenggara, Kendari. Salah satu oknum pendidik yang bergelar Prof diduga sering melecehkan mahasiswinya. Hal ini mempertegas bahwa sejatinya kebebasan berekspresi, berpendapat berikut pendidikan yang layak sesuai UUD dan apa yang telah di konsepkan Kemendikbud masih sangat jauh dari kata merdeka belajar dan berpikir, iklim demokrasi yang kaku selalu ditampilkan dibilik-bilik ruang pendidikan. Padahal seperti yang diketahui bahwa makna pendidikan jelas untuk menanamkan kesadaran kritis kepada para pelajar agar mampu melihat serta menjawab berbagai persoalan realitas yang ada, hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan menurut Paulo yakni untuk mewujudkan kesadaran kritis serta menghapus segala bentuk penindasan yang terjadi (dehumanisasi) demi terwujudnya pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan manusia (humanisasi).
Harus diakui bahwa beberapa metode pembelajaran diberbagai intitusi sebagai langkah awal untuk mematikan demokrasi, yang secara prinsip memberikan kebebasan berekpresi serta menyampaikan pendapat. Namun merepresif para pelajar agar tunduk,patuh,taat, dan siap mengamini setiap kata yang keluar dari mulut para pendidik. Belum lagi ketidaktanggungjawaban para pendidik dalam memberikan referensi, gelegak ini justru semakin membuktikan bahwa merdeka belajar dan merdeka berfikir masih di angan-angan terhadap konsep pendidikan kita hari ini, jelas bahwa otoritarianisme pendidikan juga ada dan sangat nyata. Hal tersebut sangat kontras dengan apa yang disebutkan oleh H. M Arifin, pendidikan sejatinya merupakan usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.
Ruang-ruang pendidikan yang seharusnya di isi dengan dialektika agar mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan, kini hanya sebagai tempat koleksi basa-basi, berikut deretan absensi dengan kutukan nilai yang selalu menghantui. Jadi, pendidikan hari ini telah membentuk kita sebagai pelajar/akademisi (mengangguk), ataukah sedang membentuk kepribadian kita sebagai politisi (menunduk). Pendidikan yang seharusnya sejalan tujuannya yang mulia yakni menghempaskan kebodohan dan berbagai penindasan, justru menjadi sarang keterbelengguan fikiran, tindakan , berikut ucapan. Pendidikan hanya sebagai alat komoditi yang dijajakan , maka tak heran model pendidikan tersebut selalu menjadi bahan kritikan yang tidak sejalan dengan cita-cita bangsa.
Oleh karenanya, penting kiranya menghadirkan suasana pendidikan yang mencerahkan di era ini, perkembangan teknologi dan informasi memaksa untuk mendobrak kurikulum lama dalam proses belajar mengajar, untuk menghindari terjadinya pelecehan seksual dapat dimanfaatkan pembelajaran secara daring, selain itu dapat memberikan ruang gerak kepada mahasiswa untuk tetap produktif dengan memanfaatkan waktu sisa belajar secara daring. Walaupun masih terjadi pro dan kontra tentang metode pembelajaran seperti ini, pada hakikatnya di era sekarang memungkinkan untuk memanfaatkan media baru dalam hal ini media sosial untuk menyampaikan informasi, karena media sosial telah menggeser pola interaksi dan komsumsi informasi masyarakat sebagai gaya hidup baru ke serba digital. Selain itu, ada banyak manfaat dari pemanfaatan pembelajaran dengan sistem digital, diantaranya dapat menghemat waktu dan biaya, pendekatan yang lebih sesuai, pembelajaran yang menyenangkan, mengurangi sentuhan fisik, dan tentu ramah lingkungan.
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan” Tan Malaka
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
