Investasi Bodong, dan Kualitas Literasi Digital Kita
Pendidikan dan Literasi | 2023-05-01 13:12:41Oleh : Romi Febriyanto Saputro, Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen
Satgas Waspada Investasi (SWI) pada Februari 2023 kembali menemukan delapan entitas yang melakukan penawaran investasi tanpa izin. Pada Februari 2023, SWI telah menghentikan delapan entitas yang melakukan penawaran investasi tanpa izin. Tongam menuturkan, empat entitas melakukan penawaran investasi tanpa izin dan empat titas lainnya melakukan kegiatan tanpa izin lainnya. SWI selalu berusaha mencegah jatuhnya korban masyarakat dari investasi dan pinjol ilegal. Hal itu dilakukan dengan terus mencari informasi menggunakan crawling data yang dilakukan melalui big data center aplikasi waspada investasi (Republika, 8 April 2023)
Satuan Tugas Waspada Investasi mencatat kerugian akibat investasi bodong mencapai Rp 117,5 triliun dalam 10 tahun terakhir. Total kerugian akibat investasi bodong selama 10 tahun terakhir mencapai Rp 117,5 triliun bedasarkan laporan dari kepolisian atau dari tahun 2011 hingga akhir tahun 2021. Adapun modus investasi bodong atau ilegal yang selama ini meresahkan masyarakat, bermodus penipuan, mulai dari pinjaman daring ilegal, penipuan jual beli aset kripto ilegal, perdagangan mata uang asing bodong, multilevel marketing ilegal, sampai dengan gadai ilegal. Data Satgas Waspada Investasi menyebut kerugian paling tinggi terjadi pada 2012 sebesar Rp 7,92 triliun, di tahun 2020 sebesar Rp 5,9 triliun. Sedangkan pada 2022, per 17 Februari tercatat kerugian akibat investasi bodong sejumlah Rp 149 miliar
Korban investasi bodong bukanlah manusia kaleng-kaleng. Mereka hampir dapat dipastikan berasal dari kelompok strata ekonomi menengah ke atas dan tentu saja mereka termasuk kaum yang melek internet. Mengapa mereka mudah tertipu ? Mengapa pula modus penipuan investasi bodong selalu mampu menghadirkan korban baru ? Problematikanya ada pada literasi digital yang terpenggal. Minat yang tinggi untuk menyelami dunia maya tidak diimbangi dengan kompetensi literasi digital.
Menurut Survei Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2021, sebagian besar masyarakat Indonesia menghabiskan aktivitas daring pada aplikasi pesan singkat dengan presentase sebesar 54,7 persen. Aktivitas berselancar di dunia maya terbanyak kedua dihabiskan pada platform media sosial dengan presentase 49,8 persen. Pada urutan ketiga, masyarakat gemar menghabiskan waktu daring untuk mencari informasi dengan presentase 47,5 persen. Namun, sejalan dengan temuan tersebut, diketahui pula bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia berada dalam kategori sedang. Hal ini terlihat dari indeks literasi digital Indonesia yang berada di level 3,49 dari skala 0 – 5.
Kompetensi literasi digital diperlukan untuk membaca, memahami, dan mengambil kesimpulan dengan benar tentang informasi yang diperoleh. Masyarakat masih punya anggapan bahwa informasi yang disajikan oleh media online dan media sosial adalah benar seratus persen. Padahal ledakan dan banjir informasi ada kalanya mencampuradukan berita benar dan berita bohong demi menarik perhatian pembaca atau penonton. Bahkan hari ini banyak judul berita media online yang tidak sesuai dengan isi berita yang ada di bawahnya hanya demi “klikbait” belaka. Isi berita yang sama dapat dicover dengan aneka judul yang beragam. Ironisnya, berita yang seratus persen bohong pun masih memiliki banyak pengikut.
Menurut Masyarakat anti fitnah Indonesia (Mafindo), masyarakat Indonesia lebih mempercayai informasi bohong atau hoaks yang beredar di media sosial. Hal ini berdasarkan hasil survei kepercayaan masyarakat Indonesia atas informasi hoaks atau berita palsu saat ini cukup tinggi mencapai 60 persen. Rata-rata hoaks yang beredar di masyarakat terkait isu politik, sara, kesehatan, berita duka, kecelakaan dan lowongan pekerjaan. Jumlah warga yang percaya dengan berita palsu setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Bersamaan dengan itu, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 70 persen dari jumlah penduduk 200 juta lebih yang tersebar di semua provinsi. Sementara itu hanya beberapa persen warga Indonesia saja yang mampu mengenali hoaks (Merdeka, 28 Desember 2021).
Nicholas Carr (2011) dalam buku The Shallows mengatakan bahwa Internet memang memberikan kemudahan dan kesenangan, tetapi juga mengorbankan kemampuan berpikir secara mendalam. Membaca buku cetak membuat kita dapat memfokuskan perhatian, mendorong aktivitas berpikir kritis dan kreatif. Sebaliknya, internet memaksa kita menelan informasi secara instan, cepat dan massal sehingga membuat pikiran kita mudah teralihkan. Kita terbiasa membaca serba cepat dan serba kilat menyaring informasi, tetapi kita juga kehilangan kapasitas untuk berkonsentrasi, merenung, dan berpikir kritis.
Bhisma Murti (2015) menjelaskan bahwa berpikir kritis mencakup ketrampilan menafsirkan dan menilai pengamatan, informasi, dan argumentasi. Berpikir kritis mencakup penentuan tentang makna dan kepentingan dari apa yang dilihat atau dinyatakan, penilaian argumen, pertimbangan apakah kesimpulan ditarik berdasarkan bukti-bukti pendukung yang memadai. Membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, dan berdiskusi perlu dilakukan dengan kritis untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Analisis yang kritis dapat meningkatkan pemahaman tentang suatu masalah. yang analitis, diskriminatif, dan rasional, membantu memilih alternatif solusi yang berguna dan menyingkirkan solusi yang tak berguna. Seorang yang berpikir kritis akan mengkaji ulang apakah keyakinan dan pengetahuan yang dimiliki atau dikemukakan orang lain logis atau tidak. Demikian juga seorang yang berpikir kritis tidak akan menelan begitu saja kesimpulan-kesimpulan atau hipotesis yang dikemukakan dirinya sendiri atau orang lain.
Berpikir kritis akan mencegah lahirnya ribuan aplikasi milik pemerintah namun jarang dimanfaatkan oleh masyarakat. Kelatahan inilah yang dikeluhkan Menteri Keuangan Sri Mulyani karena memboroskan anggaran negara. Mengutip detik.com, 12 Juli 2022, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, saat ini pemerintah punya puluhan ribu aplikasi di Kementerian/Lembaga (K/L). Namun dari ribuan aplikasi tersebut tidak semuanya digunakan dengan secara benar atau multifungsi. Pemerintah punya lebih dari 400.000 aplikasi, 24.000 diantaranya milik Kementerian/Lembaga Pusat. Ironisnya, setiap Kementerian/Lembaga itu punya 2.700 database sendiri yang tidak menyatu.
Inovasi dalam melayani masyarakat tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk aplikasi yang terkadang belum tentu diperlukan oleh masyarakat. Layanan yang sudah berjalan dengan baik tanpa aplikasi tak perlu dipaksa untuk menggunakan aplikasi. Mengapa ? Karena tak semua warga negeri ini memiliki telepon pintar yang memadai untuk menyimpan ribuan aplikasi yang dibikin pemerintah. Alih-alih mengunduh aplikasi pemerintah yang berjumlah ribuan, untuk pembelajaran daring dulu saja masih banyak keluarga yang tidak punya telepon pintar.
Literasi digital negeri ini masih banyak menyisakan pekerjaan rumah karena terpenggal oleh mabuk teknologi, tumpul dalam berpikir kritis dan kebiasaan mengasah pemikiran dengan membaca buku masih rendah. Perlu komitmen kuat pemerintah untuk menyediakan sarana-prasarana literasi yang memadai. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perpustakaan terbesar di dunia.
Melansir situs resmi Perpustakaan Nasional RI ada sebanyak 164.610 perpustakaan di Indonesia. Ironisnya, kualitas perpustakaan masih belum memenuhi standar nasional perpustakaan. Menurut Lembaga Akreditasi Perpustakaan Nasional RI, jumlah perpustakaan yang sudah terakreditasi di Indonesia baru mencapai angka 11.776 unit yang terdiri dari 723 Perpustakaan Perguruan Tinggi, 291 Perpustakaan Khusus, 9.802 Perpustakaan Sekolah, 24 Perpustakaan Umum Provinsi, 206 Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota, 4 Perpustakaan Kecamatan, dan 726 Perpustakaan Desa/Kelurahan. Prosentase perpustakaan yang sudah terakreditasi baru mencapai angka 0,072 persen.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.