Kematian Itu Merupakan Awal Catatan Bab Satu dari Kehidupan Baru
Agama | 2023-04-29 10:24:36Penulis awali tulisan ini dengan sebuah alegori sepasang ombak kecil laki-laki dan perempuan yang saling berkejaran di lautan lepas. Mereka naik turun di laut lepas dengan suka ria dan riang gembira. Tiba-tiba sang ombak laki-laki menyadari kalau ia akan menghantam pantai. Dari lautan yang luas, sekarang ia bergerak menuju pantai, dan ia akan lenyap, hilang tak berbekas.
“Ya Tuhan, apa yang akan terjadi kepadaku?” katanya dengan wajah muram dan putus asa. Lalu datanglah sang ombak perempuan dan berkata kepada ombak laki-laki. “Mengapa kau nampak begitu bersedih?”
Ombak laki-laki itu menjawab, “Kau tidak mengerti. Kau akan menghantam pantai, dan kau akan lenyap.” Ombak perempuan menjawab, “Kaulah yang tidak mengerti. Kau bukanlah sebuah ombak, kau adalah bagian dari laut. Lambat laun kau akan kembali menyatu dengan air laut.”
Dalam merambah samudera kehidupan ini, kita sering laksana ombak laki-laki yang akan menghantam batu karang di pinggir pantai. Kita sering berpikir untuk apa hidup jika pada akhirnya kita akan mati, kembali menyatu dengan tanah.
Sejatinya, kita tidak berpikir seperti ombak laki-laki. Kita mesti bersikap seperti ombak perempuan, kita ini bagian dari alam. Lambat laut kita akan kembali menjadi bagian yang menyatu dengan alam, kembali menghadap kepada Sang Pencipta, Pengurus, dan Penguasa Alam, Allahu Rabbul’alamin.
Sering dikatakan, hidup di alam buana ini hanyalah langkah-langkah perjalanan mencari bekal kehidupan untuk pulang. Sering pula dikatakan bahwa hidup di alam buana ini hanyalah satu titik persinggahan, rest area, titik rehat sebelum menuju kehidupan berikutnya. Sayangnya, kita sering lali bahwa kehidupan alam abadi tengah menanti. Kita pun sering berangan-angan panjang, kematian kita masihlah panjang. Padahal sejatinya kita berpikir bahwa jarak antara mati dan hidup tidaklah sebesar dan selama yang kita pikirkan.
Rombongan ratusan juta pemudik untuk pulang kampung pada perayaan Idulfitri kemarin selayaknya menjadi bahan renungan, sehebat apapun keberhasilan kita di tempat pengembaraan, semegah dan sehebat apapun tempat tinggal kita di pengembaraan, hati kecil kita masih tetap merindukan pulang ke kampung asal kita. Meskipun sederhana, kampung halaman mampu menjadi penawar kepenatan dari kesibukan bekerja di pengembaraan.
Tidaklah salah jika John Howard Payne (9 Juni 1971 – 10 April 1852), seorang aktor, penyair, penulis drama, dan penulis asal Amerika mengungkap kerinduan akan kampung halaman dan rumahnya sendiri dalam sebuah karya puisinya, home sweet home.
Mid pleasures and palaces though we may roam // Be it ever so humble, there's no place like home // A charm from the sky seems to hallow us there // Which, seek through the world, is ne'er met with elsewhere // Home, home, sweet, sweet home! // There's no place like home, oh, there's no place like home! (di tengah-tengah kemewahan dan kemegahan istana-istana, kemanapun kita mengembara, sukalipun amat sederhana, tidak ada tempat yang lebih indah daripada rumah kita sendiri // home sweet home).
Kelak, kita pun akan mudik, kembali ke kampung halaman, yakni alam tanpa batas. Sayangnya kita sering lupa akan kampung asal kita, bahkan ketika melayat yang wafatpun, kita jarang mengambil ibrah, kelak kita pun akan meninggal, jasad kita akan menyatu dengan tanah, sementara akal, ruh, dan hati kita menghadap kepada-Nya.
Selayaknya kita bersyukur, kita masih diberi waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian. Jatah kehidupan yang masih Allah berikan kepada kita harus dimanfaatkan sebagai pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik. Sudah seharusnya kita tidak menjadikan kehidupan ini sebagai ajang poya-poya dan hura-hura. Apapun yang kita lakukan dalam kehidupan ini haruslah bermakna dan memberi nilai lebih terhadap bekal kehidupan kita kelak di alam tanpa batas.
Ajaran agama, khususnya Islam telah membolehkan kita untuk mengejar kehidupan di dunia ini seraya penuh keseimbangan. Mengejar dunia, namun tak melupakan akhirat, menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang kebaikan yang akan dipanen kelak.
"Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qasas : 77)
Sejatinya kita memahami kematian bukan sebagai akhir dari kehidupan. Kematian merupakan awal catatan yang digoreskan pada bab satu dari kehidupan baru. Selepas raga kita dikubur, menyatu kembali dengan tanah, Allah menempatkan kita di alam barzakh dan setiap saat memberikan gambaran kehidupan yang akan kita jalani di akhirat kelak. Setiap pagi dan sore diperlihatkan kenikmatan sorga dan kengeriaan panasnya api neraka.
Sungguh suatu perjalanan yang akan merugi jika kita pada saat ini hanya mengejar kehidupan dunia seraya melupakan catatan kehidupan yang akan kita goreskan pada bab satu awal kehidupan setelah kematian. Sebaliknya sungguh berbahagia orang-orang yang mampu menorehkan catatan kebaikan pada bab satu awal kehidupan setelah kematian, sudah pasti ia akan bahagia di alam penantian sebelum melangkah ke kehidupan di alam tanpa batas.
Patut kita renungkan quotes dari Clive Staples Lewis (1898-1963), seorang penulis dan sastrawan asal Inggris. “Jika Anda menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai bekal menuju kehidupan pada dunia mendatang, Anda akan memperoleh kehidupan ini satu paket (kehidupan untuk hari ini, dan bekal untuk kehidupan di alam tanpa batas). Akan tetapi jika Anda mengejar kehidupan di dunia ini hanya untuk kehidupan hari ini saja, hanya mengejar kesenangan duniawi, Anda akan kehilangan kedua-duanya.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.