Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dewi Aprilia Nawang Sari

Seperti Apa Kecanggihan Alat Pengintai Seukuran Jari Manusia?

Teknologi | Thursday, 27 Apr 2023, 23:32 WIB

Perkembangan drone sebagai teknologi canggih UAV (Unmanned Aerial Vehicles) makin hari kian muncul di permukaan. Informasi dari Centre for Telecommunications and Information Engineering (CTIE) Monash University menyebutkan bahwa drone pertama kali berkembang di Amerika yang merupakan karya dari seorang insinyur Israel bernama Abraham Karem pada 22 Agustus 1894. Pesawat tanpa awak ini mendulang banyak perbincangan, terlebih pada bidang militer. Pasalnya, awal mula pembuatan drone diinisiasi sebagai pengintai musuh dari sektor udara pada suatu pertempuran.

Sejarah mencatat hadirnya drone di dunia militer dimulai tahun 1849, yakni saat Austria menyerang kota Venice dengan 200 balon tanpa pilot yang terisi bom dan dilengkapi oleh perangkat waktu. Kemudian, ilmuwan Nikola Tesla (1856-1943) memperkenalkan konsep kontrol balon nirkabel yang disusul suatu pertempuran udara kendaraan udara nirawak pada tahun 1915. Revolusi pada teknologi memungkinkan drone mempunyai sistem up level yang dapat memuat data/informasi lebih luas. Kegiatan pengintaian atau perolehan informasi pada pertempuran modern menjadi faktor yang sangat penting bagi pasukan untuk perpanjangan indera dalam melakukan pergerakan.

Indonesia sudah menggunakan aset UAV untuk keperluan militer, mulai dari TNI AL yang memiliki ScanEagle, TNI AU memiliki bermacam-macam UAV seperti Aerostar dan CH-4B. TNI AD sendiri telah mempertimbangkan untuk mengakuisisi nano drone yang nantinya akan digunakan oleh pusat perhubungan angkatan darat sejak tahun 2020. Nano drone tersebut adalah Black Hornet 3 dari Teledyne FLIR, Amerika Serikat. Pengembangan Black Hornet diprakarsai oleh Prox Dynamics pada April 2008. Drone tersebut menjalani beberapa uji terbang dan segala jenis uji coba sebelum memasuki fase produksi serial pada awal 2012. Flir meluncurkan nano-UAV Black Hornet 3 generasi berikutnya pada Juni 2018.

Black Hornet 3, sebuah drone dengan dimensi body yang sangat kecil dan memiliki kebisingan yang minim, sehingga drone ini sangat sulit terdeteksi oleh lawan. Black Hornet memiliki panjang 16,8 cm, bobot 33 gram, dan memiliki diameter baling-baling 12,3 cm. Black Hornet 3 dilengkapi fitur esensial seperti Electro Optical Camera dan FLIR untuk memenuhi kebutuhan pengintaian atau ISR (Intelligence Surveillance and Reconnaissance). Drone ini dapat beroperasional pada siang atau malam hari, serta memiliki kemampuan sharing data ke BMS (Battle Management System). Ukurannya yang sangat kecil menjadikan Black Hornet 3 tidak terdeteksi sehingga mampu menjalankan misi pengintaian dan memberikan gambaran situasional dan keamanan bagi pasukan untuk kemudian digunakan dalam penyusunan strategi yang sesuai.

Black Hornet menawarkan dukungan intelijen, pengawasan, dan pengintaian kepada angkatan bersenjata dalam operasi militer. UAV memberikan akses ke lokasi terpencil dan memberikan gambaran situasional di medan perang. Drone kecil itu dilengkapi dengan tiga kamera pengintai yang tersembunyi. Micro UAV Black Hornet ditenagai oleh baterai isi ulang yang sangat kecil. Baterai dirancang untuk memutar rotor horizontal dan vertikal yang dipasang pada drone. Black Hornet dikendalikan oleh operator dari darat menggunakan perangkat mirip joystick. Teknologi di dalam UAV memungkinkan operator mengendalikan drone dari jarak maksimum 1.000 m. Black Hornet dapat terbang dengan kecepatan 10 m/s dan memiliki daya tahan maksimum 25 menit.

Selain Black Hornet 3, masih banyak jenis drone pengintai lain yang dimiliki militer Indonesia. Salah satunya ialah drone Bug FX Nano UAS Quadcopter 1A. Berdasarkan training yang dibuka oleh Kepala Dinas Materiel Senjata dan Elektronika Angkatan Laut (Kadissenlekal) Laksamana Pertama TNI, Teguh Prasetyo, drone Bug FX Nano UAS Quadcopter 1A itu digunakan oleh pasukan Korps Marinir dan Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI AL. Terdapat 15 personel yang mengikuti pelatihan ini, terdiri dari Pasmar I dan II, Satkopaska I, II, dan III. Eksistensi drone ini belum populer dan jarang dibicarakan. Oleh sebab itu, diperlukan pengetahuan dasar yang tepat sasaran bagi pasukan Korps Marinir dan Kopaska untuk menjalankan operasi drone dengan maksimal. Kegiatan pelatihan drone Bug FX Nano UAS Quadcopter 1A dilaksanakan selama sepuluh hari ke depan sampai dengan 10 Maret.

Pesatnya perkembangan drone yang semakin pintar dalam menghadapi konfrontasi militer, membuatnya menjadi isu atau perbincangan akan dampak buruk yang akan ditimbulkan kedepannya. Langkah utama untuk memahami bahwa drone dapat menggeser perspektif manusia adalah dengan meyakini bahwa drone tidak memiliki pikirannya sendiri, melainkan setiap gerakannya merupakan perintah operatornya (manusia/pencipta drone). Hal tersebut memicu pemeriksaan lebih jauh tentang proses terciptanya kosakata visual yang dinamis. Manusia akan ditunjukkan pada apa yang sudah dilewati dan direkam sistem drone. Dari kemampuan pintarnya, drone membuat manusia harus berpikir kompleks akan suatu hal, bukan hanya sekadar merepresentasi, memberi pandangan hidup akan realitas yang tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image