Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Setyawan

Konsepsi Pendidikan oleh 3 Filsuf Terkenal Athena Kuno Bagian 1: Socrates

Sejarah | Monday, 24 Apr 2023, 10:24 WIB
Ilustrasi Penyampaian Informasi Era Yunani Kuno

Secara kasar pendidikan di zaman Yunani Kuno dapat dipilah menjadi dua periode, yaitu periode Homerik Tua dan periode Transisi atau Kemunduran (Haricahyono, 1995:8). Pada periode pertama pendidikan ditekankan untuk membentuk warganegara-warganegara yang tangguh dan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kejayaan negara dan bangsanya. Untuk periode kedua pendidikan ditekankan untuk pengembangan kesejahteraan, disisi lain teteap berorientasi pada pembentukan warganegara yang tangguh dan berani. Penerapan pendidikan sesuai pernyataan diatas dijalankan di polis Sparta juga tidak terkecuali polis Athena.

Menginjak di Athena pada abad ke-5 sebelum masehi, muncul sekelompok pendidik yang menyebut dirinya Sofist. Ajaran para sofist ini sangat berbeda dari para filsuf sebelumnya. Mereka lebih tertarik pada hal-hal yang konkret seperti makna hidup manusia, moral, norma, dan politik (Abidin, 2011:97). Kelompok sofis ini memberikan kemajuan yang pesat terhadap pendidikan di Yunani waktu itu. Kelompok sofist ini berisi filsuf-filsuf berasal dari Athena. Memang, kelompok sofist ini bolehlah dianggap sebagai pengacara pertama yang muncul dalam sejarah peradaban manusia (Haricahyono, 1995:11). Karena kaum sofist ini menitikberatkan perhatiannya terhadap kemampuan berbicara didepan umum. Namun ajaran kaum sofist ini tidak seluruhnya dapat diterima oleh masyarakat seperti Socrates.

Socrates

Ilustrasi Wajah Socrates (469-399 SM)

Pengajaran yang dilakukan Socrates dimana saja, di jalan-jalan, di taman-taman diberikannya ajaran kepada rakyat dengan jalan percakapan (dialog) (Djumhur, 1974:27). Dapat diasumsikan bahwa konsep pembelajarannya bersifat dialektis. Dialektis menurut Socrates ini bertujuan memunculkan ide-ide atau kebenaran yang dimiliki setiap manusia. Dalam hal ini Socrates membantu memunculkan pemikiran muridnya dengan cara memberikan pertanyaan yang sederhana namun bisa membuat muridnya mengeluarkan pikiran-pikiran mereka secara rasional. Socrates ingin menjadi perantara yang membantu setiap manusia berfikir menemukan kebenaran menurut mereka. Dalam modern ini Socrates seperti seorang konsultan ketika seseorang dalam sebuah masalah. Konsultan ini dapat kita temui jika di sekolah ada yang namanya bimbingan konseling. Sehingga penerapan masa kini dapat memajukan pribadi manusia dalam menjalankan kehidupannya.

Socrates mengarahkan kajian-kajian filsafat yang semula sangat abstrak dan jauh dari praksis kehidupan sehari-hari, menjadi lebih praktis dan konkret (Abidin, 2011:98). Dalam artian filsafat Socrates ditujukan pada penyelidikan tentang manusia, etika, dan pengalaman hidup sehari-hari, baik dalam konteks individu atau psikologis seseorang, sosial, maupun politik. Menurut Socrates kebenaran bukanlah sesuatu yang subjektif dan relatif, melainkan kebenaran dapat didapatkan dengan cara objektif. Caranya dengan menganalisis pendapat-pendapat atau pernyataan-pernyataan yang dikemukakan orang atau negarawan. Peran Socrates dapat dianggap sebagai perantara dan pembantu. Socrates tidak menyampaikan pengetahuan, namun ia menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang akan membantu murid-muridnya untuk menemukan suatu ide-ide yang lebih bermanfaat.

Menurut buku Zainal Abidin filsafat Socrates banyak membahas masalah-masalah etika. Socrates beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau kehormatan, melainkan kesehatan jiwa. Dalam artian jiwa manusia harus sehat untuk menjalankan hidup yang sejahtera dan bahagia. Menurutnya kebahagiaan bukanlah yang kita sebut sekarang kesenangan, melainkan kesempurnaan. Sehingga orang yang bijak adalah orang yang mampu hidup bahagia (Abidin, 2011:101).

Menurut buku Samuel Smith tujuan pendidikan yang benar, kata Socrates, ialah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tingi. Dengan melandaskan konsep tujuan pendidikan Socrates ini akan menghasilkan manusia yang mengerti akan cinta pada umat manusia, keadilan, keberanian, pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan, hormat terhadap kebenaran, sikap tak berlebih-lebihan, kebaikan hati, kerendahan hati, toleransi, kejujuran dan semua kebajikan dalam kehidupan manusia. Tetapi kebajikan-kebajikan tersebut tidak lupa didasarkan pada pengetahuan.

Socrates merupakan peletak batu pertama dari ilmu kesusilaan (Djumhur, 1974:28). Kesusilaan menurut penulis merupakan peraturan sosial yang berasal dari hati yang dapat membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk dimana disetiap manusia memilikinya. Dengan adanya hal tersebut, setiap manusia bisa mengetahui apa sebenarnya yang harus mereka lakukan dengan mendasarkan alam bawah sadar mereka.

Sumber Rujukan:

Smith, S. (1986). Gagasan-Gagasan Besar Tokoh-Tokoh dalam Bidang Pendidikan.

Jakarta: Bumi Aksara.

Djumhur, I. (1974). Sejarah Pendidikan. Bandung: Ilmu Bandung.

Abidin, Z. (2011). Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Haricahyono, C. (1995). Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP

Semarang Press.

Penulis: Dimas Setyawan

Guru Sejarah SMA Al Hikmah Boarding School Batu

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image