Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jihan Nanda Putri

Mengenal Childfree yang Tuai Pro dan Kontra Masyarakat Indonesia

Gaya Hidup | Monday, 17 Apr 2023, 22:59 WIB
Jihan Nanda P. - Mahasiswa FEB Universitas Airlangga 

Istilah Childfree belakangan ini menjadi trending topik di jagat maya selepas salah satu selebriti asal Indonesia mengaku menjadi penganut konsep tersebut. Istilah ini terkesan baru saja populer. Namun sebenarnya, childfree ini telah ada dan dipraktikkan jauh sebelum abad ke-20 hingga pada akhirnya, dideskripsikan sebagai tren pada tahun 2014 di majalah daring Psychology Today. Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai childfree, patutnya kita harus paham terlebih dahulu, apa sih, childfree itu?

Pengertian childfree dalam Oxford dan Cambridge Dictionary memiliki kesamaan, yaitu suatu istilah yang digunakan untuk menekankan kondisi tidak memiliki anak karena pilihan. Istilah ini menjadi hal lumrah di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat. Berdasarkan laporan dari National Survey Of Growth, tak kurang dari 15 % wanita dan 24% pria memutuskan untuk tidak memiliki anak. Pakar ekonomi David Foot dari University of Toronto berpendapat, tingkat pendidikan seorang wanita menjadi faktor paling penting dalam menentukan apakah dia memutuskan untuk memiliki anak. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, makin sedikit keinginan untuk mempunyai anak. Secara keseluruhan, banyak penelitian yang telah menyimpulkan bahwa para pasangan childfree ini lebih berpendidikan dan cenderung mengedepankan karir mereka untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan penghidupan yang lebih layak.

Pasangan yang memilih childfree ini biasanya muncul dengan berbagai pertimbangan, seperti alasan ekonomi, sosial, kesehatan, hingga psikologi. Menurut penelitian dan laporan dari Journal of Psychology in Africa, terdapat tiga faktor besar yang mendorong seseorang untuk menganut konsep childfree, yaitu:

Pengalaman soal tugas dan kewajiban menjadi Ibu

Alasan seseorang memilih childfree dapat dipengaruhi dari pengalaman sewaktu kecil saat melihat Ibu mereka. Sosok Ibu kerap kali didefinisikan dan dikaitkan dengan tugas-tugas dengan tanggung jawab yang besar dan repetitif, sehingga terkadang dapat membuat sebagian orang merasa tidak siap dan terbebani.

Belum menemukan pasangan yang tepat untuk melalui masalah finansial

Beberapa orang memilih tidak memiliki anak karena belum menemukan pasangan yang tepat untuk membesarkan anak bersama. Dalam mengasuh anak, pada dasarnya dibutuhkan kerja sama dengan pasangan untuk mengatur sumber keuangan. Kita semua tahu, bahwa mengasuh anak membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Tujuan karir dan akademik

Beberapa responden dari jurnal ini mengungkapkan bahwa dengan tidak memiliki anak akan lebih sesuai dengan tujuan mereka di bidang karir ataupun akademik yang ingin dicapai.

Berdasarkan jurnal Analisis Fenomena Childfree di Indonesia Vol. 2 No. 2, terdapat beberapa alasan orang memilih childfree yang dapat dikategorikan menjadi lima macam, yaitu pribadi (emosi dan batin), psikologis dan medis, ekonomi (materi), filosofis (prinsip), dan lingkungan hidup.

Pribadi

Orang-orang yang memilih childfree dengan alasan ini biasanya memiliki suatu pengalaman, baik yang mereka rasakan sendiri maupun melihat dari pengalaman orang lain.

Psikologis dan medis

Terdapat beberapa kondisi psikologis yang menjadikan seseorang memilih childfree, seperti memiliki rasa trauma, cemas akan masa depan anaknya, dan memiliki rasa atau pikiran bimbang saat nanti menjadi orang tua, apakah mereka akan siap untuk menjadi orang tua? Apakah mereka dapat menjadi orang tua yang baik? Selain itu, terdapat juga faktor medis yang merupakan bentuk gangguan fisik yang menjadi salah satu penyebab seseorang memilih childfree.

Ekonomi

Ekonomi merupakan salah satu faktor yang membuat orang-orang memilih childfree dan dinilai sebagai alasan paling realistis daripada alasan yang lain. Dalam mengasuh, merawat, dan memberikan kelayakan hidup untuk sang anak, terdapat tanggung jawab dan kewajiban yang besar pada orang tua. Kondisi ini nantinya juga menentukan apakah seorang anak tercukupi dalam berbagai hal seperti pada aspek pendidikan dan kesehatannya.

Filosofis

Orang-orang yang memilih childfree memiliki alasan filosofis bahwa dunia yang ditinggali oleh manusia sekarang sudah tidak layak huni dan tidak cocok untuk anak-anak. Orang-orang Childfree yang menyukai anak-anak akan lebih memilih menjadi bagian dari komunitas atau menjadi volunteer untuk membantu anak-anak yang kekurangan.

Lingkungan hidup

Sebagian orang yang memilih childfree beranggapan bahwa dunia sekarang ini tidak baik untuk pertumbuhan anak karena populasi manusia juga sudah semakin meningkat. Selain itu, banyak diantara mereka berpendapat bahwa akan ada beberapa perbedaan pada kehadiran seorang anak seiring berjalannya waktu. Misal, anak yang masih balita biasanya sangat disukai karena tingkah lucunya, tetapi jika sudah beranjak dewasa, mulai nakal, dan juga perilakunya buruk, maka beberapa orang menjadi tidak suka kepada anak-anak.

Bila ditinjau lebih lanjut lagi, sebenarnya konsep childfree merupakan suatu istilah yang lazim terjadi, apalagi di luar negeri seperti di negara-negara maju. Istilah ini menjadi perbincangan hangat dan menuai pro-kontra di Indonesia tak lain karena adanya benturan budaya yang saling bertolak belakang, yang mana di Indonesia terdapat konsep “Banyak anak banyak rezeki” yang sudah jelas berlawanan dengan istilah childfree ini. Psikolog klinis Amerika Serikat, Shannon Curry juga sependapat, bahwa ada stigma yang terlanjur melekat pada masyarakat mengenai tujuan utama menikah, yaitu memiliki anak.

Pada dasarnya, keputusan apakah akan memiliki anak atau tidak, kembali ke pribadi masing-masing. Apapun keputusannya, pasti memiliki resiko yang sudah dipertimbangkan secara matang oleh pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk penganut childfree ini. Setiap manusia berhak dan bebas melakukan sesuatu serta bertanggung jawab akan hidupnya. Di Indonesia sendiri juga terdapat undang-undang yang mengatur dan menjamin kebebasan individu warga negaranya. Jadi, bukankah lebih baik bila kita saling menghargai prinsip yang dipegang? Selama hal tersebut tidak merugikan orang-orang di sekitarnya, mengapa harus jadi permasalahan?

Sumber : Canva

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image