Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kiki Nurjanah

Tionghoa dan Politik Indonesia

Politik | 2023-04-15 11:05:21

Para politisi etnis Tionghoa berupaya mengambil sikap dalam kancah politik Indonesia. Mereka dinilai akan tetap memiliki optimisme dan semangat untuk berkontribusi dalam politik di Indonesia terlepas masalah yang pernah dialami etnis Tionghoa.

Hal itu disampaikan oleh ketua Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herlijanto, dalam sebuah seminar luring berjudul Tionghoa dan Politik Indonesia: Pandangan dan Harapan, Jakarta pada Jumat 14 April 2023.

Hadir dalam seminar tersebut I Wayan Suparmin, S.H., M.H, ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) cabang Jakarta dan Yayasan Sosial Candranaya.

Seminar dimulai dengan kilas balik proses demokrasi di Indonesia yang dalam hampir 25 tahun terakhir ini telah memberi ruang yang lebih besar bagi etnis Tionghoa dan berbagai kelompok masyarakat lain di Indonesia untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial politik.

“Meski Tionghoa adalah salah satu dari 15 kelompok etnik terbesar di negeri ini, mereka menjadi target dari berbagai peraturan diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah otoritarian Orde Baru,” papar Johanes.

“Mereka mengalami berbagai pengekangan, baik dalam ekspresi identitas maupun budaya, dan didorong untuk mengambil jarak dari partisipasi politik,” lanjutnya.

Ia mengatakan bahwa tak sedikit politisi Tionghoa bahkan berhasil meraih jabatan-jabatan politik yang penting. Salah satunya adalah Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang bukan hanya memiliki karir yang terhitung mulus, tetapi juga dianggap sebagai simbol dari penerimaan masyarakat Indonesia terhadap politisi dengan latar belakang etnik Tionghoa.

“Namun di tengah optimisme terhadap makin meningkatnya penerimaan tersebut, resistensi terhadap kepemimpinan BTP justru meningkat, khususnya pada pertengahan hingga akhir 2016,” ujar dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan itu. Yang penting untuk dicatat, etnisitas BTP sebagai Tionghoa turut pula diangkat dalam gelombang penolakan terhadap beliau.

“Muncul kembalinya isu identitas dalam gelombang resistensi terhadap BTP menjelang dan di sepanjang pilkada tahun 2017 tentu membawa dampak tertentu bagi masyarakat Tionghoa, termasuk para politisi dan pemimpin komunitas Tionghoa,” lanjut Johanes.

Dalam pengamatan Johanes, meski sebagian dari para politis dan tokoh tersebut memiliki kekecewaan dan kekhawatiran terhadap kembalinya isu etnisitas di seputar pilkada 2017 yang lalu, mereka tetap memiliki sikap optimis dan bersemangat untuk terus berkontribusi bagi negeri ini melalui partisipasi politik.

“Ini terlihat dari tak sedikit orang Tionghoa yang turut berpartisipasi dalam pemilihan umum tahun 2019 sebagai calon anggota legislatif, baik pada tataran pusat maupun daerah,” jelas Johanes.

Ia menganalisis bahwa optimisme dan semangat di atas antara lain disebabkan karena mereka masih memiliki kepercayaan dan harapan terhadap semangat toleransi dan kebhinekaan dalam masyarakat Indonesia. Sebagai pendukung dari pernyataannya, Johanes merujuk pada pernyataan seorang politisi Wanita yang berpendapat bahwa kebhinekaan Indonesia harus dipertahankan melalui perjuangan.

“Politisi wanita di atas merasa terpanggil untuk berjuang bagi nilai-nilai kebhinekaan bangsa Indonesia,” tutur Johanes.

Selain optimis dan bersemangat untuk mempertahankan Bhineka Tunggal Ika, para politisi Tionghoa dinilai memiliki optimisme terhadap demokrasi dan sistem politik Indonesia juga.

“Mereka menaruh harapan terhadap peran partai politik dalam meningkatkan kwalitas demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM),” pungkas Johanes.

Johanes juga terpukai dengan fakta bahwa di tengah kekecewaan yang mungkin terjadi akibat kembalinya isu identitas dalam politik di tahun 2017 lalu, nasionalisme keindonesiaan dari para politisi dan tokoh komunitas Tionghoa bukan saja tak luntur, tetapi bahkan semakin tinggi. “Para politisi dan tokoh Tionghoa beranggapan bahwa orang-orang Tionghoa perlu lebih meningkatkan kesadaran berbangsa dan kesadaran sebagai warga negara,” tuturnya.

Meski demikian, Johanes menganggap bahwa masih terdapat tantangan yang perlu dihadapi baik oleh para politisi Tionghoa maupun masyarakat Tionghoa secara keseluruhan.

“Pertama, masih terdapat kurangnya trust terhadap mereka. Di kalangan elit maupun masyarakat umum masih terdapat kecurigaan terhadap loyalitas kebangsaaan para politisi Tionghoa. Mereka masih sering dicurigai memiliki kesetiaan pada Beijing,” tuturnya.

Johanes merujuk pada sebuah tulisan yang diterbitkan oleh lembaga penelitian di Singapura pada 2017. Berdasarkan survey berskala nasional mereka di 2017, 47 persen responden masih memiliki kecurigaan di atas, sedangkan 64,4 persen masih kurang nyaman bila Tionghoa menjadi pemimpin politik.

“Di lain pihak, sikap Tiongkok dalam satu dasawarsa terakhir, yang menunjukan minat merangkul Tionghoa seberang lautan untuk kepentingan Tiongkok juga menjadi tantangan yang penting untuk disikapi,” tutur Johanes. Tionghoa perlu mewaspadai sikap Tiongkok di atas karena berpotensi memunculkan kembali kecurigaan terkait loyalitas di kalangan non-Tionghoa,” tutur Johanes mengakhiri paparannya.

Senada dengan Johanes, I Wayan juga menekankan kebebasan dan kesuksesan politik yang diperoleh oleh Etnis Tionghoa di era reformasi ini. Namun ia juga menghimbau agar etnis Tionghoa tetap bersikap bijak dan waspada karena masih ada riak dan tantangan apalagi menjelang tahun politik 2024. “Mari kita menjaga diri agar tidak terlalu bereforia berlebihan,” tutur Wayan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image