Dialektika Gender dan Narasi Nasionalisme di Balik Kemajuan Cina
Edukasi | 2025-09-25 17:38:13Nasionalisme digital Tiongkok tumbuh dari ingatan kolektif tentang penindasan nasional akibat kolonialisme dan invasi asing di abad ke-19. Tiongkok telah menjelma menjadi kekuatan global dengan pengaruh internasional yang luas, tetapi sentimen ini tetap dipelihara oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) sebagai modal politik. Pertumbuhan ekonomi sejak reformasi Deng Xiaoping membawa kemakmuran, tetapi juga menghasilkan kesenjangan sosial dan korupsi. Dalam kondisi ini, propaganda nasionalis menjadi perekat yang memperkuat legitimasi rezim sekaligus membangkitkan kebanggaan rakyat terhadap kebangkitan Tiongkok.
Fenomena yang paling jelas terlihat dari strategi ini adalah lahirnya digital nationalism. Media sosial seperti Weibo, TikTok, dan Zhihu menjadi ruang bagi warganet untuk mengekspresikan rasa nasionalismenya. Meskipun platform tersebut dikontrol ketat lewat sensor negara, tetap muncul wacana-wacana kritis dan pluralistik. Di sinilah paradoks terlihat di mana nasionalisme digital bisa menguatkan PKT, tetapi juga berpotensi berbalik menyerangnya bila pemerintah gagal memenuhi tuntutan radikal dari suara-suara nasionalis itu sendiri.
Namun, studi yang ada masih lebih banyak fokus pada relasi nasionalisme digital dengan politik negara, sementara persinggungannya dengan politik gender jarang diperhatikan. Padahal, dimensi gender dalam konteks ini sangat penting. Di banyak belahan dunia, kebangkitan nasionalisme digital sering disertai dengan bangkitnya suara-suara misoginis, yang mengaitkan feminisme dengan ancaman terhadap tatanan sosial. Fenomena serupa juga muncul di Tiongkok, di mana feminisme kerap dipandang sebagai konsep impor dari Barat (Peng, 2022).
Sejarah gender di Tiongkok menunjukkan dinamika yang kompleks. Dari feminisme awal abad ke-20, ke kampanye emansipasi perempuan era Mao, hingga pasca-reformasi yang justru menandai kebangkitan kembali patriarki. Restrukturisasi pasar tenaga kerja pasca-1978 membuat perempuan dianggap kurang memiliki keterampilan teknis yang dibutuhkan industri. Pandangan ini melanggengkan subordinasi perempuan di ruang kerja sekaligus melemahkan posisi mereka di ruang sosial yang lebih luas. Akibatnya, feminisme sering kali dianggap sebagai kelebihan yang melampaui kapasitas ekonomi Tiongkok.
Krisis maskulinitas juga turut muncul dalam periode pasca-reformasi. Banyak laki-laki kehilangan pekerjaan akibat restrukturisasi BUMN, lalu terbebani oleh norma pernikahan yang menuntut mereka memiliki rumah dan menjadi penyedia finansial utama. Lonjakan harga properti semakin menambah tekanan ini. Dalam situasi demikian, sebagian laki-laki melampiaskan kecemasannya pada feminisme, yang dipandang sebagai ancaman terhadap dominasi mereka. Dari sini, suara-suara misoginis tumbuh dan bersaing dengan gerakan feminis yang sebenarnya tetap ada meski kerap dibungkam oleh negara.
Dalam konteks ini, muncul fenomena women-focused Key Opinion Leaders (KOLs) seperti Ayawawa dan Mimeng (Peng, 2022). Mereka memanfaatkan media sosial untuk menjual ideologi pseudo-feminis, yang sebenarnya tetap berakar pada nilai-nilai patriarki. Misalnya, dengan menekankan bahwa perempuan bisa berdaya melalui konsumsi atau melalui keseimbangan yin-yang dalam hubungan rumah tangga. Fenomena KOL ini memperlihatkan bagaimana kapitalisme digital memanfaatkan retorika feminisme, namun pada akhirnya hanya memperkuat status quo.
Keberadaan KOL perempuan ini menjadi bahan serangan favorit kaum misoginis. Mereka menyamakan feminis sejati dengan feminis anjing desa, sebuah istilah peyoratif yang populer di ruang digital Tiongkok. Dengan cara ini, batas antara feminisme palsu dan feminisme otentik sengaja dikaburkan. Hasilnya, feminisme secara keseluruhan dicap sebagai konspirasi untuk memberi hak istimewa lebih kepada perempuan, sembari melemahkan posisi laki-laki. Diskursus ini memperlihatkan bagaimana nasionalisme digital bersilang dengan politik gender.
Dimensi nasionalis semakin memperumit debat gender di Tiongkok. Nasionalisme selalu punya karakter maskulin, menempatkan perempuan hanya sebagai simbol bangsa, bukan agen aktif. Dalam ruang digital, feminisme kerap diposisikan sebagai ancaman asing, seolah menjadi alat Barat untuk melemahkan laki-laki Tiongkok. Narasi ini terlihat, misalnya, ketika perempuan Tiongkok yang menikah dengan pria asing dianggap mengkhianati bangsa, sementara laki-laki Tiongkok yang menikah dengan perempuan asing justru dipuji sebagai kebanggaan nasional. Di titik ini, tubuh perempuan dijadikan medan simbolik bagi perebutan makna nasionalisme (Peng, 2022).
Alhasil, pertemuan antara nasionalisme digital dan politik gender di Tiongkok menciptakan wacana yang sangat kontradiktif. Di satu sisi, perempuan menggunakan ruang digital untuk membela feminisme dan menegaskan kesenjangan gender yang masih nyata. Namun di sisi lain, laki-laki dengan dukungan narasi nasionalisme maskulin mendistorsi feminisme sebagai ancaman asing. Hasilnya adalah polarisasi tajam antara laki-laki dan perempuan dalam ruang digital, yang bukan hanya mencerminkan ketegangan internal masyarakat Tiongkok, tetapi juga memperlihatkan bagaimana politik global, kapitalisme digital, dan nasionalisme saling berkelindan dalam membentuk debat gender kontemporer.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
