Thrifting, Fast Fashion, dan Budaya Konsumerisme
Gaya Hidup | 2023-04-11 16:45:47Thrifting, Fast Fashion, dan Budaya Konsumerisme
Oleh: Anidah
Thrifting tengah menjadi sorotan pemerintah saat ini. Tak kurang 7.363 karung pakaian bekas impor senilai Rp. 80 miliar, hasil razia polisi dimusnahkan oleh Menteri Perdagangan dan Menteri Koperasi dan UKM pada Selasa 28/3/2023 lalu. Tren membeli pakaian bekas impor atau yang disebut thrifting dianggap mengancam industri tekstil dalam negeri. Di sisi lain thrifting justru jadi solusi ramah lingkungan karena memperpanjang usia pakaian dibanding membeli yang baru. Namun faktanya, thrifting juga ditunggangi industri fast fashion untuk memasarkan produk yang tak terserap pasar. Benarkah demikian?
Thrifting Benarkah Sekedar Belanja Pakaian Bekas?
Thrifting berasal dari Bahasa Inggris yaitu “thrift” yang berarti hemat. Pengertian ini mengarah pada belanja produk bekas yang memiliki harga lebih murah, sehingga dianggap hemat. Pada awal kemunculannya, tren ini berjalan melalui skema donasi. Thrifting menjadi cara baru untuk memanfaatkan baju bekas layak pakai yang didonasikan pemiliknya kemudian diperjualbelikan dengan harga yang murah. Keuntungan penjualan kemudian disalurkan untuk kegiatan amal. Peminatnya pun kian bertambah dan menjadi tren di kalangan konsumen yang peduli isu lingkungan.
Saat ini faktanya produk thrifting yang diperjualbelikan, tak melulu berupa pakaian bekas namun telah bercampur dengan produk sisa dari industri fast fashion yang tak terserap pasar. Fast fashion dikenal sebagai istilah dalam industri tekstil yang fokus pada produksi pakaian dengan mengutamakan kebaruan model dalam waktu singkat serta kuantitas sebanyak mungkin. Produsen lebih berfokus untuk mengikuti perkembangan tren mode tanpa memperhatikan kualitas maupun dampaknya.
Fast fashion juga identik dengan harga yang murah, dan mereplikasi desain pakaian dari perancang terkenal yang diperagakan pada acara pagelaran busana ternama. Produsen fast fashion segera menduplikasinya begitu rancangan terbaru di-launching, mereka memproduksinya dalam waktu yang cepat sehingga bisa sampai ke konsumen saat tren tersebut masih hangat dibicarakan. Ketika tak berselang lama akan muncul rancangan baru, maka produk sebelumnya akan ditinggalkan, dan produk dengan tren terbaru segera membanjiri pasar. Akibatnya banyak produk sisa tak terserap pasar dan menjadi limbah.
Kosep seperti demikian, memicu hasrat konsumerisme yang dampaknya sangat buruk terhadap lingkungan. Konsumen akan dibanjiri produk mode tren terbaru, dengan harga yang murah. Perubahan tren yang cepat mendorong mereka untuk selalu membeli produk baru agar tetap dianggap up to date. Mereka kemudian akan membuang atau menyumbangkan pakaian bekasnya karena akan kembali membeli yang baru. Tak heran pasokan baju bekas impor meningkat tajam di seluruh dunia, dan thrifting dianggap sebagai exit strategi agar produk bekas pakai maupun sisa dari over produksi bisa dinominalkan.
Pangsa Pasar Fast Fashion yang Menggiurkan
Sebelumnya industri pakaian berjalan lambat (slow fashion). Perjalanan membuat sepotong pakaian ditempuh dalam waktu dan upaya yang panjang. Berawal dari pencarian dan pemrosesan bahan baku yang didominasi serat alam (kapas/wol) dan kulit binatang, karena belum ditemukan bahan sintetik seperti nylon atau polyester. Proses penyiapan bahan baku tersebut memakan waktu dan upaya yang tidak sebentar, hingga kemudian siap untuk dijadikan produk pakaian dengan proses jahit manual. Mode pakaian pun tak berubah dalam hitungan tahun, didukung kualitas yang baik hingga masih bisa digunakan dalam jangka panjang.
Semua itu berubah sejak ditemukannya mesin-mesin penunjang produksi pada masa revolusi industri. Proses produksi barang menjadi lebih cepat dan mudah, termasuk produk pakaian, membuat bisnis pakaian berjalan dengan sangat cepat (fast fashion). Hingga pada akhir tahun 1990an dan awal 2000an produk pakaian murah mencapai puncaknya. Didukung dengan sistem belanja online yang memungkinkan jangkauan makin luas dan massif. Pembukaan toko retail pakaian global seperti H&M, Zara, dan lainnya di negara-negara berkembang, menjadi bukti masifnya kehadiran produk fast fashion secara global. Kedua merk tersebut telah dikenal sebagai pelaku industri fast fashion terbesar di dunia.
The Business Research Company dalam laporannya yang berjudul Fast Fashion Global Market Opportunities & Strategies yang dirilis pada Januari 2023, menyebutkan industri ini bernilai tak kurang dari USD91 miliar pada tahun 2021, dan diprediksi akan naik menjadi USD173 miliar pada tahun 2026, hingga USD240 miliar pada 2031 (www.thebusinessresearchcompany.com). Sungguh sebuah angka yang luar biasa menggiurkan. Kenaikan tersebut didukung pertumbuhan investasi asing pada industri fast fashion, pertumbuhan pasar di negara berkembang, dan dukungan perkembangan teknologi dan media. Indonesia menjadi salah satu dari 6 negara dengan pasar fast fashion terbesar di Asia Pasifik. Semakin besar pasar industri fast fashion, semakin bertambah juga pasokan limbah baju bekas yang akan dialihkan kepada pasar thrifting. Demikianlah tak akan ada habisnya, hingga bumi tak mampu lagi bernafas.
Thrifting hanya mewakili jumlah dari pakaian bekas yang masih memiliki nilai ekonomis, padahal tak sedikit dari pakaian bekas yang dibuang juga berakhir di gurun pasir karena tak layak pakai. Tumpukan limbah pakaian bekas itu menggunung dan berjejer di beberapa lokasi dunia yang menjadi tempat pembuangan akhir dan mencemari lingkungan. Dunia menjadi sesak akibat industri mode yang tak pernah terpuaskan.
Meski dampak buruk fast fashion telah menjadi perhatian banyak kalangan, namun hingga kini tak ada yang mampu memberikan solusi nyata untuk membendungnya. Pencemaran sumber air, penggunaan bahan kimia pewarna berbahaya, upah murah pekerja, hanyalah sebagian kecil dampak buruk yang ditimbulkannya. Meski demikian sebanyak apapun upaya telah dilakukan, tetap saja seperti rantai setan yang tidak bisa diputus dengan mudah. Rakusnya industri mode dan tingginya permintaan pasar dari konsumen yang kecanduan mode membuat bisnis ini tetap langgeng. Padahal justru di situlah letak permasalahannya.
Buy less, choose well, and make it last.
Pakaian adalah satu dari kebutuhan dasar manusia, justru karena itulah manusia memutuskan membelinya, yaitu karena butuh. Butuh membeli karena misalnya perubahan ukuran tubuh dari anak-anak ke dewasa, atau untuk menyesuaikan dengan kebutuhan 4 musim, atau karena memang sudah usang dan harus diganti. Tak masalah apakah membeli yang baru atau thrifting. Sifat pakaian sebenarnya berumur panjang dan untuk dipakai berulang, selera konsumenlah yang pendek. Selera tak jarang diintervensi oleh produsen melalui serangkaian teknik marketing, hingga akhirnya membangkitkan Hasrat konsumerisme. Kini pakaian dibeli karena tren, masalah butuh atau tidak urusan belakangan. Ketika tren berganti, pakaian pun harus diganti.
Dalam alam kapitalisme saat ini, betapa sulit berhadapan dengan raksasa industri global yang bebal. Sudah menjadi tabiatnya mereka akan senantiasa mendahulukan kepentingan ekonomi di banding peduli pada dampak buruk yang ditimbulkan. Bagi mereka produksi adalah jantung ekonomi, keserakahan kapitalisme sangat bergantung pada pertumbuhan produksi yang terus menerus, meski dengan cara merusak alam. Jika mereka bebal untuk berubah, maka saatnya konsumen yang harus mengambil langkah berani.
Buy less, choose well, and make it last. Adalah sebuah pengingat dari seorang perancang busana Vivienne Westwood, yang menggambarkan betapa pentingnya peran konsumen dalam mengendalikan industri fast fashion. Bahwa ketika mempertimbangkan membeli sebuah produk busana, penting juga memperhatikan cerita di baliknya. Mempertimbangkan dari mana produk itu berasal, siapa produsennya, bagaimana prosesnya, sejauh apa Brand tersebut berkomitmen pada kelestarian lingkungan, menjamin upah layak pekerjanya, adalah sama pentingnya dengan pembelian itu sendiri. Disinilah konsumen mengambil peran penting, yaitu pengendalian konsumsi.
Sebagai seorang Muslim, Islam telah jauh hari memperingatkan agar menjauhi sifat boros. Dalam Quran surat al-Isra ayat 27, Allah swt berfirman yang artinya;
"Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya".
Sifat boros dianggap sebagai sifat syaitan, makhluk pembangkang dan ingkar terhadap Tuhannya. Sungguh peringatan yang sangat keras.
Pada tingkat individu Islam mengajarkan pola hidup sederhana. Pada tingkat yang lebih tinggi, Islam mewajibkan negara untuk menerapkan kebijakan yang berwawasan lingkungan, tidak silau pada kepentingan ekonomi semata. Negara harus memastikan sumber daya ekologi yang terbatas ini wajib dijaga demi keberlanjutan generasi berikutnya. Tak ragu memberikan sanksi keras dan tegas kepada para korporasi bebal yang merusak lingkungan. Tanpa mode kehidupan masih bisa berjalan, namun tanpa daya dukung ekologi yang cukup kehidupan bisa terancam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.