Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Safira Nur Faizza

Budaya Konsumtif Gen-Z: Gengsi atau Kebutuhan?

Gaya Hidup | 2024-12-23 12:16:48
Gambar Gadis Berbelanja

Belakangan ini, generasi muda, khususnya Gen-Z, sering menjadi bahan pembicaraan. Bukan perihal kreativitas mereka yang sering bikin banyak orang takjub, tapi juga soal gaya hidup konsumtif yang seringkali bikin geleng-geleng kepala. Menurut Yusliani dan Sari (2024), "Gen-Z dikenal sebagai generasi yang sangat boros dan menghabiskan banyak uang untuk kesenangan pribadi."

Namun, banyak juga yang membela, katanya gaya konsumtif Gen-Z itu sebenarnya wajar sebab kebutuhan zaman sekarang memang lebih banyak. Nah, menarik, bukan? Fenomena ini banyak diperbincangkan oleh para pengguna media sosial. Tapi sebenarnya, budaya konsumtif Gen-Z ini berasal dari gengsi atau memang kebutuhan, sih?

Oke, sebelum kita melangkah lebih jauh, coba kita pahami dulu seperti apa sih budaya konsumtif ini. Tambunan (2001) menjelaskan bahwa perilaku konsumtif merupakan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan maksimal. Jadi, lebih karena keinginan daripada kebutuhan. Contohnya? Banyak banget tau! Mulai dari beli baju bermerk supaya kelihatan modis di media sosial, sampai nongkrong di cafe hits tiap hari biar nggak ketinggalan zaman.

Ngomongin soal Gen-Z, generasi ini nggak mungkin bisa lepas dari media sosial. Mereka hidup di era digital, di mana kecanggihan teknologi selalu berada dalam genggaman mereka. Media sosial siap jadi tempat mencari hiburan, belajar, bahkan membangun jati diri. Namun, di balik gemerlap itu semua, media sosial juga memiliki sisi gelap yang sangat merugikan. Salah satunya, menjadi penyokong budaya konsumtif.

Coba deh! Kamu lihat Instagram atau TikTok. Ada berapa konten yang isinya hanya pamer kekayaan? Mulai dari video unboxing produk branded, pembelian makanan dengan jumlah fantastis, hingga rekomendasi barang yang katanya "wajib punya" Konten-konten seperti ini nggak cuma menarik perhatian, tapi juga bikin orang tergoda untuk membeli— walaupun nggak penting-penting amat. Apalagi kalau konten itu punya influencer terkenal! Rekomendasi mereka sering kali dianggap lebih "valid" daripada iklan biasa.

Tapi, masalahnya di sini adalah Gen-Z sering kali nggak sadar kalau mereka terjebak dalam siklus konsumsi yang nggak sehat. Ketika mereka melihat influencer mempromosikan sesuatu, mereka harus ikut-ikutan membeli hal itu walaupun nggak lagi dibutuhkan. Ini nih yang biasanya disebut sebagai FOMO (Fear Of Missing Out), rasa takut ketinggalan tren yang lagi populer.

Kemudian, alasan lain kenapa Gen-Z sering disebut konsumtif yakni gengsi. Gengsi bukan lagi perihal status di dunia nyata, tetapi juga dunia Maya. Postingan foto dengan outfit keren, gadget terbaru, atau liburan mewah bikin seseorang merasa dihargai. Jumlah likes dan komentar jadi semacam validasi sosial yang wajib diraih oleh mereka.

Tapi, gengsi ini nggak cuma soal kekayaan. Terkadang, gengsi juga muncul dari keinginan untuk kelihatan "nyambung" dengan tren yang lagi viral. Contohnya, saat ada tren makanan kekinian di TikTok, banyak Gen-Z yang rela antre panjang atau bahkan membayar harga yang mahal demi mencobanya. Padahal, mungkin mereka nggak benar-benar suka makanan itu.

Dorongan gengsi ini sering kali membawa dampak negatif. Banyak Gen-Z yang berakhir menghabiskan uang lebih dari kemampuan mereka. Beberapa bahkan ada yang sampai berhutang demi memenuhi gaya hidup yang tampak mewah. Dan ini bukan cuma masalah finansial, lho! Gengsi juga bisa bikin seseorang merasa tertekan, terutama kalau mereka nggak lagi mampu mengikuti tren yang terus melanda.

Di sisi lain, ada juga yang beragumen bahwa konsumtifnya Gen-Z itu karena kebutuhan mereka. Zaman sekarang ini, kebutuhan orang memang lebih banyak ketimbang zaman dulu. Teknologi misalnya, di era digital ini ponsel pintar atau laptop sudah menjadi kebutuhan dasar, terutama untuk belajar dan bekerja. Jadi, wajar kalau banyak Gen-Z yang merogoh kocek fantastis untuk membeli gadget yang canggih, toh ini juga supaya kemampuan yang dimiliki dapat lebih maksimal.

Selain itu, gaya hidup sehat juga mulai menjadi prioritas. Banyak Gen-Z yang lebih sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mental dan fisik. Karena itu, mereka nggak ragu untuk membeli produk perawatan diri, langganan gym, atau menyisihkan uang untung membeli makanan sehat. Ini semua bukan pasal gengsi, tetapi lebih ke investasi untuk masa depan mereka.

Ada juga faktor lingkungan yang kini menjadi masalah utama di muka bumi. Generasi Z memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah lingkungan dan sosial (Putri & Yanzi, 2020). Mereka cenderung memilih produk yang ramah lingkungan atau mendukung keberlanjutan, meskipun harus merogoh kocek lebih banyak. Jadi, bukan berarti mereka konsumtif, tetapi mereka ingin mendukung perubahan yang positif.

Nah, di sinilah letak kompleksitasnya. Kadang, sulit membedakan mana yang gengsi dan mana yang kebutuhan. Misalnya, saat seseorang membeli ponsel terbaru. Di satu sisi, mereka mungkin membutuhkan ponsel tersebut untuk mendukung pekerjaan atau sekolah. Namun di sisi lain, mereka juga bisa saja hanya ingin terlihat keren di depan teman sebayanya.

Tapi yang jelas, ada satu hal yang perlu diingat: gengsi dan kebutuhan merupakan dua hal yang saling eksklusif. Seseorang bisa saja membeli sesuatu karena gabungan dari kedua alasan tersebut. Dan itu wajar! Selama keputusan konsumtif mereka tidak membawa dampak negatif dalam kehidupan.

Kemudian, budaya konsumtif tentunya membawa dampak positif dan negatif. Di sisi positif, gaya hidup konsumtif ini bisa mendorong kebutuhan ekonomi, terutama dalam bidang digital dan kreatif. Mereka jadi target pasar yang sangat potensial bagi berbagai merek, pada akhirnya perputaran ekonomi ini akan menciptakan lapangan kerja dan inovasi baru.

Tapi, ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam sisi negatif. Salah satunya masalah finansial, gaya hidup konsumtif sering kali membuat seseorang kesulitan untuk mengatur keuangan, terutama jika mereka sering membeli barang berdasarkan naluriah. Dalam jangka panjang hal ini bisa berdampak pada stabilitas keuaangan mereka.

Selain itu, budaya konsumtif juga membawa dampak psikologis. Tekanan untuk mengikuti tren dan tampil modis di media sosial biasanya memicu rasa cemas bahkan depresi. Belum lagi dampak lingkungan dari pola konsumsi tak berkelanjutan, seperti meningkatnya limbah dari penggunaan produk fast fashion.

Jadi, apakah budaya konsumtif Gen-Z lebih didorong oleh gengsi? Atau malah kebutuhan yang harus dipenuhi? Jawabannya nggak bisa sesederhana itu. Dalam banyak kasus, konsumsi mereka adalah kombinasi dari keduanya. Gengsi memang memiliki peranan yang besar, terutama untuk memberi makan media sosial. Namun, di sisi lain kebutuhan juga tak bisa diabaikan, terutama dalam konteks gaya hidup modern.

Yang terpenting adalah bagaimana Gen-Z bisa lebih bijak mengambil sebuah keputusan. Dengan memahami perbedaan antara kebutuhan dan keinginan, mereka bisa menghindari dampak negatif dari gaya hidup konsumtif. Dan pada akhirnya, gaya hidup ini nggak sepenuhnya menjadi hal yang buruk selama dilakukan dengan kesadaran dan tanggung jawab.
Jadi, buat kamu para Gen-Z, coba deh renungkan lagi. Apakah barang yang kamu beli itu benar-benar kamu butuhkan, atau hanya karena ingin kelihatan keren?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image