Piagam Madinah Pilar Politik Modern
Politik | 2023-04-10 04:11:50Terdapat tesis dari seorang pemikir barat, Olivier Roy, dalam karyanya berjudul The Failure of Political Islam, edisi terjemahan Indonesia adalah Gagalnya Islam Politik yang diterbitkan oleh Penerbit Serambi, isinya menjelaskan Islam tidak kompatibel dengan sistem demokrasi.
Menurut Olivier Roy konsepsi politik Islam pada kehidupan modern tidak menemukan relevansi, terlebih dalam praksis politik kenegaraan. Pemikir orientalis dari Prancis itu menyimpulkan Islam tidak memiliki model politik yang jelas. Tesis dari Olivier Roy ini dibangun ketika ia meneliti gerakan Islam politik dibeberapa negara yang mengalami kegagalan (Roy, 1994).
Tidak sedikit kalangan mengkritik tesis Olivier Roy yang dinilai tendensius, sarat kepentingan dunia barat menundukan dunia timur, terlebih fenomena Islam politik terkadang berbeda antara satu negara dengan negara lain, jadi sebenarnya sangat sulit untuk digeneralisasi, karena memiliki karakteristik berbeda, khas, unik, dan adaptif mengikuti situasi lingkungannya.
Pada kenyataanya justru realitas politik itu berubah sangat cepat, ketika dihadapkan pada realitas baru, artinya tesis Olivier Roy mudah mengalami pelapukan ketika fenomena politik kontemporer tidak sesuai dengan yang digambarkan, apalagi situasi kontemporer menunjukan Islam sangat relevan dengan dinamika politik modern dibeberapa negara.
Islam Politik Kontemporer
Keberhasilan AK Partinya Erdogan membawa Turki menjadi negara demokrasi maju, merupakan bukti kelompok Islam berhasil mengelola kekuasaan secara profesional, sedangkan di Indonesia partai-partai Islam turut menjadi mitra koalisi pemerintah, bentuk empirik sinergitas kekuatan Islam dengan kelompok nasionalis, yang berkomitmen membangun demokrasi terkonsolidasi di negara Islam terbesar di dunia, kemudian kesuksesan kelompok Islam politik di Malaysia menjadi partai penguasa, yaitu Partai Amanah Negara, memiliki pemikiran Islam subtansi, menjadi mitra koalisi Anwar Ibrahim pada Pakatan Harapan (Koalisi Harapan).
Keberhasilan Islam politik dibeberapa negara itu, membuktikan Islam memiliki konsepsi politik, senantiasa menginspirasi pemeluknya ketika terjun dipanggung politik nasional dan internasional, sehingga bagi seorang politisi muslim berpolitik tidak bisa lepas dari manifestasi atas keimanan kepada Tuhan-Nya, jargon politik sebagai ibadah semestinya menjadi identitas melekat para politisi muslim.
Salah satu konsep dan praksis politik Islam sangat relevan serta memberikan inspirasi, yaitu Masyarakat Madani dan Piagam Madinah.
Masyarakat Madani Dan Piagam Madinah
Konsep masyarakat madani diambil dari pengalaman empirik masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di Kota Madinah. Menurut Nurcholis Madjid (1996) madani diambil dari kata madaniyah artinya peradaban, suatu istilah menunjukan model masyarakat yang membangun peradaban tinggi berdasarkan ketaqwaan dan keimanan.
Kekuatan masyarakat madani secara historis terletak pada eksistensi Piagam Madinah, sebuah dokumen politik fenomenal dibuat Nabi Muhammad SAW, setelah berhijrah dari Makkah menuju Madinah. Di dalam Piagam Madinah diantaranya berisi penegasan semua kelompok masyarakat (Islam, Yahudi, dan Kristen) merupakan satu entitas warga negara, memiliki hak serta kewajiban setara. Menurut Robert N Bellah, masyarakat di Madinah telah menerapkan beberapa prinsip hidup utama, yaitu : kesetaraan, toleransi, dan etika musyawarah (Al Chaidar dan Sahrasad, 2000).
Senada dengan Robert N Bellah, pemikir pergerakan Islam Indonesia, Tjokroaminoto (1951), menulis dalam bukunya berjudul Islam dan Sosialisme, menjelaskan “Nabi Muhammad SAW memberikan kepada kaum Yahudi segala hak dan kebebasan menjalankan agamanya, beliau sangat paham hak-hak penduduk Madinah, tidak ada paksaan memeluk ajaran Islam”.
Prinsip kesetaraan Piagam Madinah dapat dilihat dari kata umat yang digunakan, bukan dengan istilah bani yang merujuk pada pertalian darah (keturunan), artinya aspek terpenting relasi sosial di Kota Madinah, tidak ditentukan oleh pertalian darah, tetapi menggunakan prinsip bersifat universal (ummatun wahidah), seluruh pihak yang terlibat dalam konsensus Piagam Madinah dianggap sebagai satu umat, tidak perduli latar belakang agama serta ras mereka, semua mendapat perlindungan yang setara ketika mendapatkan ancaman kekerasan dari luar Madinah (Miswari, 2009).
Prinsip kesetaraan Piagam Madinah ini konsisten dijalankan Nabi Muhammad SAW, ketika itu terjadi perseteruan antara seorang muslim dengan suku Yahudi, orang muslim itu memiliki keyakinan bisa lolos dari tanggungjawab atas kesalahan telah diperbuat, dengan menyalahkan seorang Yahudi. Kemudian turun wahyu kepada nabi mengungkapkan kesalahan seorang muslim tersebut (Ramadan, 2007).
Prinsip musyawarah juga menjadi pilar penting konstruksi sosial masyarakat Madinah, Nabi Muhammad SAW sering melibatkan para sahabat dalam mengambil keputusan penting, beliau meminta mereka memberikan masukan, mendorong mengutarakan pendapat dalam berbagai forum bertukar pemikiran. Tindakan Nabi tersebut menciptakan tradisi kritis dikalangan sahabat, mereka diajak berpikir secara mendalam mensikapi berbagai persoalan hidup, serta terlatih menyampaikan argumentasi secara kuat (Ramadan, 2007).
Berikutnya tradisi intelektual terbangun di Madinah, pasca Perang Badar para tawanan perang (Quraisy) menebus kebebasan setiap orang dari mereka dengan mengajarkan membaca dan menulis kepada sepuluh pemuda Madinah, dalam tradisi kesukuan bangsa Arab tebusan tawanan perang lajimnya menggunakan tebusan harta, hal ini menjadi bukti Islam mengajurkan umatnya mencintai ilmu pengetahuan (Ramadan, 2007).
Kemudian Nabi Muhammad SAW merintis lembaga pendidikan pertama bagi umat Islam di Madinah, terbentuklah institusi pendidikan disebut al-Suffah sedangkan komunitasnya disebut Ashab al-Suffah, lembaga pendidikan al-Suffah mengkaji isi kandungan Al-Qur’an dan Hadis. Lembaga al-Suffah menghasilkan para ulama diseganai seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan lain-lain (Muslih, 2020).
Penutup
Masyarakat Madani dan Piagam Madinah adalah fakta sejarah tidak terbantahkan, bahwa terdapat konsepsi Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, sangat relevan dengan kehidupan politik modern, nilai-nilai subtansi Islam seperti kesetaraan, toleransi, penghargaan atas pendapat, dan pengembangan tradisi keilmuan. Merupakan nilai yang sudah melekat pada kehidupan masa Nabi Muhammad SAW, serta bersesuaian dengan era modern saat ini, Islam harus hadir memberikan solusi atas berbagai permasalahan kontemporer yang terjadi.
Referensi Artikel
1. Chaidar, Al dan Hersi Sahrasad. 2000. Negara Madinah Refleksi Tentang Agama dan Pluralisme (Jakarta, Madani Press).
2. Muslih, M. Kholid (editor). 2020. Tradisi Intelektual Islam : Melacak Sejarah Peradaban Ilmu Pada Masa Kejayaan (Ponorogo, Direktorat Islamisasi Ilmu Universitas Darussalam Gontor).
3. Madjid, Nurcholish. 1996. Menuju Masyarakat Madani (Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur’an, No. 2/VII/1996, Jakarta LSAF-PPM).
4. Miswari, Zuhairi. 2009. Madinah Kota Suci, Piagam Madinah, Dan Teladan Nabi Muhammad SAW. (Jakarta, Kompas).
5. Ramadhan, Tariq. 2017. Muhammad Rasul Zaman Kita (Jakarta, Serambi).
6. Roy, Olivier. 1994. The Failure of Political Islam (Harvard, Harvard University Press).
7. Tjokroaminoto. 1951. Islam dan Sosialisme (Djakarta, Bulan Bintang).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.