Hijrah Nabi Muhammad SAW dan Tantangan Persatuan Umat Islam
Politik | 2025-07-13 07:55:47
Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah (dahulu bernama Yatsrib) pada tahun 622 Masehi adalah peristiwa monumental dalam sejarah Islam. Peristiwa ini menandai awal kalender Hijriyah dan menjadi titik balik bagi perkembangan dakwah Islam. Berikut penjelasan lengkapnya:
Latar Belakang Hijrah
1. Penindasan di Mekkah
- Selama 13 tahun berdakwah di Mekkah, Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya (kaum Muslimin) menghadapi penyiksaan, boikot, dan tekanan dari suku Quraisy yang menentang ajaran Islam.
- Pemboikotan ekonomi dan sosial membuat kaum Muslimin (terutama yang lemah) menderita kelaparan dan kesulitan.
2. Pencarian Tempat Baru
- Nabi Muhammad SAW mencari lokasi yang aman untuk melanjutkan dakwah. Beberapa sahabat telah lebih dulu hijrah ke Habsyah (Ethiopia), tetapi kondisi politik di sana tidak memungkinkan untuk membangun masyarakat Islam.
- Pada tahun 620 M, sekelompok orang dari Yatsrib (Madinah) yang datang ke Mekkah menyatakan masuk Islam dan mengundang Nabi untuk pindah ke kota mereka.
3. Bai'at Aqabah
- Tahun 621 M: 12 orang dari Madinah berbaiat (bersumpah setia) kepada Nabi Muhammad SAW di Bukit Aqabah, Mekkah (Bai'at Aqabah Pertama).
- Tahun 622 M : 73 orang Madinah kembali berbaiat dan berjanji melindungi Nabi (Bai'at Aqabah Kedua). Peristiwa ini menjadi dasar persiapan hijrah.
Kronologi Hijrah
1. Perintah Allah SWT
- Nabi Muhammad SAW mendapat wahyu dari Allah SWT untuk berhijrah setelah rencana pembunuhannya oleh suku Quraisy.
2. Rencana Pembunuhan Nabi
- Suku Quraisy merencanakan membunuh Nabi Muhammad SAW di rumahnya. Mereka menunjuk perwakilan dari setiap kabilah agar tanggung jawab pembunuhan tidak jatuh pada satu suku saja.
- Atas petunjuk Allah, Nabi Muhammad SAW menyuruh Ali bin Abi Thalib tidur di tempat tidurnya untuk mengelabui musuh.
3. Perjalanan Rahasia ke Gua Tsur
- Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq keluar dari Mekkah secara diam-diam pada malam hari.
- Mereka bersembunyi di Gua Tsur selama 3 hari untuk menghindari pengejaran. Laba-laba yang membuat sarang dan burung yang bersarang di mulut gua menjadi pertolongan Allah untuk menyelamatkan mereka.
4. Menuju Madinah
- Setelah aman, mereka melanjutkan perjalanan ke Madinah dengan menunggang unta, dipandu oleh Abdullah bin Uraiqith (seorang non-Muslim yang dipercaya).
- Di tengah perjalanan, mereka dikejar oleh Suraqah bin Malik, tetapi gagal karena kudanya terperosok pasir. Suraqah kemudian meminta perlindungan dan dijanjikan Nabi akan mendapat harta Kisra (Kekaisaran Persia) di masa depan.
5. Kedatangan di Quba
- Pada tanggal 8 Rabiul Awal 1 H (atau 12 September 622 M), Nabi tiba di Quba (pinggiran Madinah).
- Beliau membangun Masjid Quba, masjid pertama dalam sejarah Islam.
6. Masuk ke Madinah
- Tanggal 12 Rabiul Awal 1 H (16 September 622 M), Nabi Muhammad SAW memasuki Madinah disambut meriah oleh penduduknya (kaum Anshar).
- Beliau menghentikan untanya di depan rumah Abu Ayyub Al-Ansari, yang menjadi tempat tinggal sementara hingga pembangunan rumah dan Masjid Nabawi selesai.
Dampak dan Signifikansi Hijrah
1. Pembangunan Masyarakat Baru
- Nabi Muhammad SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin (pendatang dari Mekkah) dan Anshar (penduduk Madinah).
- Dibuat Piagam Madinah: konstitusi pertama di dunia yang mengatur hubungan antarumat Islam, Yahudi, dan suku-suku Arab di Madinah.
2. Awal Kalender Islam
- Khalifah Umar bin Khattab menetapkan tahun Hijriyah sebagai kalender Islam pada 638 M, dengan tahun 1 H dimulai dari peristiwa Hijrah.
3. Transformasi Peradaban
- Madinah menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, dan penyebaran Islam.
- Dari sini, Islam berkembang pesat ke seluruh Jazirah Arab dan dunia.
4. Simbol Pengorbanan dan Keteguhan
- Hijrah mengajarkan nilai "kesabaran, tawakal, dan pengorbanan demi agama".
Q.S. At-Taubah: 40:
"Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya... sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua..."
Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi *revolusi spiritual* yang mengubah peradaban manusia. Peristiwa ini terus dikenang sebagai fondasi tegaknya masyarakat Islam yang berlandaskan keadilan dan persaudaraan.
Jika umat Islam di seluruh dunia benar-benar bersatu dalam satu entitas politik-ekonomi yang kohesif (seperti sebuah federasi atau aliansi sangat erat), potensi kekuatannya akan sangat signifikan. Berikut gambaran berdasarkan data terkini:
1. Kekuatan Ekonomi:
- GDP Gabungan:
Negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim (OKI/OIC) memiliki PDB gabungan sekitar USD 24 Triliun (2023), setara dengan ~24% PDB global.
- Sumber Daya Alam:
- Minyak & Gas:
Menguasai 55-60% cadangan minyak dunia dan 40-45% cadangan gas alam (terutama di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Utara).
- Emas & Mineral:
Produsen utama emas (Kazakhstan, Uzbekistan, Indonesia), tembaga, dan nikel.
- Pasar Konsumen:
Populasi ~1.9 miliar (25% populasi dunia) dengan kelas menengah tumbuh pesat.
- Keuangan Syariah:
Menguasai 70% aset keuangan syariah global (USD 3 Triliun), berpotensi jadi pusat keuangan alternatif.
2. Kekuatan Militer:
- Personel Aktif:
Gabungan angkatan bersenjata negara OKI ~ 7.5 juta personel (terbesar di dunia).
- Nuklir:
Memiliki negara pemilik senjata nuklir (Pakistan) dan negara pengayaan uranium (Iran, Saudi Arabia dalam proyek).
- Teknologi & Industri:
Turki, Pakistan, Iran, dan UAE memiliki industri pertahanan maju (mis: drone Turki Bayraktar, rudal Iran).
- Lokasi Strategis:
Mengontrol titik geopolitik kritis (Selat Hormuz, Terusan Suez, Selat Malaka).
3. Potensi Lain:
- Demografi:
60% populasi di bawah usia 25 tahun → tenaga kerja produktif dan pasar masa depan.
- Agrikultur:
Lumbung pangan global (Indonesia, Pakistan, Mesir, Nigeria).
- Teknologi & Inovasi:
Pusat teknologi berkembang di UAE (Dubai), Arab Saudi (NEOM), Malaysia, Turki (drone, AI).
- Soft Power:
Pusat agama dunia (Mekkah-Madinah, Potensi Jerusalem), warisan budaya, dan pengaruh melalui organisasi seperti OKI.
Tantangan Utama:
- Fragmentasi Politik:
Perbedaan kepentingan nasional, konflik internal (Sunni-Syiah, Arab-nonArab), dan ketegangan regional.
- Ketergantungan Eksternal: Banyak negara bergantung pada impor pangan dan teknologi.
- Kesenjangan Ekonomi: Disparitas besar antara negara kaya (Qatar, UAE) dan miskin (Yaman, Afghanistan).
- Infrastruktur Integrasi: Kurangnya jaringan logistik, perdagangan, dan sistem finansial terintegrasi.
HARAPAN BERSAMA
Secara teoretis, persatuan penuh akan menciptakan 'kekuatan adidaya baru' dengan pengaruh global di bidang energi, keuangan, dan geopolitik. Namun, tantangan politik, ideologis, dan struktural membuat penyatuan penuh sulit terwujud. Upaya nyata saat ini lebih terfokus pada kerja sama melalui OKI dan inisiatif ekonomi seperti ASEAN, GCC, atau proyek investasi lintas negara (misal : Saudi-Investasi di Pakistan/Indonesia).
"Persatuan bukan sekadar mimpi, tapi memerlukan kepemimpinan visioner, penyelesaian konflik, dan pembangunan institusi bersama."
Sunni dan Syiah, bersatu ?
Semangat hijrah untuk menyatukan Sunni dan Syiah demi kejayaan Islam adalah "cita-cita mulia yang sangat relevan di zaman penuh tantangan ini". Persatuan umat Islam memang kunci kekuatan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan satu bangunan, saling menguatkan." (HR. Bukhari-Muslim).
Potensi Titik Temu Sunni-Syiah :
1. Aqidah Inti
Kedua mazhab sepakat pada 'Tauhid, Kenabian Muhammad SAW, Hari Kiamat', dan otentisitas Al-Qur’an.
2. Kecintaan pada Ahlul Bait
Sunni menghormati keluarga Nabi (seperti Ali, Hasan, Husein RA), sementara Syiah menjadikannya poros spiritual. Ini bisa jadi jembatan dialog.
3. Tujuan Bersama
Membela Palestina, melawan Islamofobia, dan membangun peradaban Islam yang adil.
Langkah Konkret Menuju Ukhuwah :
- Dialog Ilmiah
Pertemuan ulama lintas mazhab (seperti Amman Message 2004) untuk klarifikasi miskonsepsi dan cari kesamaan fikih.
- Kerja Sama Sosial
Kolaborasi dalam bencana alam, pendidikan anak yatim, atau melawan radikalisme ekstrem.
- Edukasi Umat
Kampanye bahwa perbedaan mazhab adalah rahmat, bukan alat permusuhan. Sampaikan bahwa kritik terhadap kebijakan suatu negara 'bukan serangan pada mazhab'.
Tantangan yang Perlu Diwaspadai :
- Ekstremisme Segala Pihak
Kelompok yang menyematkan "kafir" pada sesama muslim harus diluruskan.
- Politik Identitas
Jangan biarkan kepentingan politik mengorbankan persaudaraan islamiyah.
"Dan berpegangteguhlah pada tali Allah, dan janganlah bercerai-berai." (QS. Ali Imran: 103).
Poin utama :
Jika persatuan Sunni-Syiah terwujud, umat Islam akan menjadi "kekuatan peradaban" yang tak tertandingi. Ini membutuhkan kesabaran, dialog jujur, dan fokus pada esensi Islam: rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). "Mari jadikan semangat hijrah sebagai momentum menyatukan hati, bukan hanya mengganti label."
Semoga Allah SWT mempertemukan kita dalam cahaya-Nya:
*رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَان
وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُو
"Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman sebelum kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman." (QS. Al-Hasyr: 10).
Catatan.
Konflik antara Iran dan Israel memang dapat "berpotensi" menjadi pemicu sentimen persatuan di kalangan umat Islam, meskipun efeknya kompleks dan tidak selalu langsung. Berikut beberapa mekanisme dan faktor yang dapat mendorong persatuan tersebut, beserta tantangannya:
Faktor Pemicu Persatuan:
1. Musuh yang Sama (Israel):
Israel dianggap sebagai "musuh bersama" oleh mayoritas dunia Islam karena pendudukan Palestina, penistaan Masjid Al-Aqsa, dan kebijakan apartheidnya. Serangan Israel terhadap Gaza atau Yerusalem sering memicu gelombang solidaritas global, termasuk dari negara Sunni dan Syiah.
2. Narasi Perlawanan (Resistance Axis):
Iran memposisikan diri sebagai pemimpin "Poros Perlawanan" (Hezbollah, Houthi, Hamas, dll.) melawan Israel dan AS. Narasi ini menarik simpati sebagian umat Islam yang merasa negara mereka tidak melakukan cukup upaya untuk membela Palestina.
3. Solidaritas Keagamaan:
Isu seperti pembelaan Al-Aqsa (kiblat ketiga umat Islam) atau penderitaan rakyat Palestina mampu melampaui perbedaan mazhab (Sunni-Syiah) dan etnis, memunculkan ikatan emosional berdasarkan identitas keagamaan.
4. Kesadaran Kolektif atas Ketidakadilan:
Agresi Israel yang berulang (seperti pemboman Gaza) sering dilihat sebagai bentuk penindasan terhadap sesama Muslim. Hal ini dapat menyatukan umat Islam dalam mengecam ketidakadilan, terlepas dari perbedaan internal.
Tantangan & Faktor Pemisah:
1. Polarisasi Sunni-Syiah:
Iran adalah negara Syiah, sementara mayoritas umat Islam adalah Sunni. Dukungan Iran terhadap kelompok Syiah di Suriah, Irak, atau Yaman telah menciptakan ketegangan dengan negara-negara Sunni (seperti Arab Saudi). Bagi sebagian Sunni, Iran dianggap sebagai ancaman, bukan sekutu.
2. Kepentingan Nasional vs. Solidaritas Islam:
Banyak negara Muslim (terutama di Teluk) menjalin hubungan pragmatis dengan Israel demi keamanan atau ekonomi (misalnya: Normalisasi Abraham Accords). Konflik Iran-Israel justru bisa memperuncing perpecahan antara negara yang pro-Iran dan pro-AS.
3. Kritik Terhadap Iran:
Sebagian umat Islam menolak campur tangan Iran di negara Arab, menganggapnya sebagai ekspansionisme terselubung. Dukungan Iran terhadap milisi non-negara juga dianggap merusak stabilitas regional.
4. Prioritas Domestik:
Umat Islam di berbagai negara menghadapi masalah sendiri (ekonomi, korupsi, konflik internal). Isu Palestina/Iran-Israel mungkin tidak menjadi prioritas utama.
Kesimpulan:
- Dalam Jangka Pendek:
Konflik Iran-Israel 'dapat memicu gelombang solidaritas simbolis' (demonstrasi, doa bersama, sumbangan untuk Palestina) yang melintasi batas negara dan mazhab, terutama jika Israel melakukan serangan besar.
- Dalam Jangka Panjang:
Persatuan yang berkelanjutan 'sulit tercapai' karena:
- Perpecahan geopolitik (Sunni vs. Syiah, pro-Iran vs. pro-AS).
- Kepentingan nasional yang sering bertentangan dengan solidaritas keagamaan.
- Ketidakpercayaan terhadap agenda politik Iran di kalangan Sunni.
Catatan Penting:
- Persatuan umat Islam tidak bisa hanya dibangun di atas "reaksi terhadap konflik eksternal". Ia memerlukan fondasi lebih dalam: keadilan ekonomi, dialog antarmazhab, dan kepemimpinan inklusif.
- "Perdamaian" di Timur Tengah membutuhkan solusi adil bagi Palestina dan de-eskalasi oleh semua pihak (termasuk Iran dan Israel).
"Persatuan sejati lahir dari kesadaran bersama akan martabat kemanusiaan, bukan hanya dari musuh bersama."
"Wallahu a'lam bishawab"
(وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
