Bumerang Flexing
Rembuk | 2023-04-08 22:37:46Oleh: H. Dadang A. Sapardan, M.Pd
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Beberapa waktu belakangan ini marak pada berbagai kanal informasi terkait dengan perilaku flexing yang merefleksikan kehidupan hedon. Berbagai pola kehidupan hedon diungkapkan oleh berbagai pihak dengan berbagai maksud. Pola kehidupan hedon yang sangat masiv terutama menyangkut perilaku para pejabat bersama keluarganya. Ratusan tayangan flexing sebagai refleksi hedonisme diungkapkan, menyeret para pejabat. Bahkan, arahnya lebih banyak menguliti kehidupan peribadi mereka. Pejabat yang seharusnya memiliki sikap empati terhadap dinamika kehidupan masyarakat yang masih terpuruk, malah memperlihatkan sikap yang kurang terpuji. Berbagai gambaran flexing merupakan pengangkatan kembali tempat penyimpanan digital yang menjadi jejak digital. Jejak yang memang tidak bisa dihapus tetapi bisa diungkap kembali dengan berbagai motif.
Dinamika kehidupan yang dilalui memang di luar kekuasaan manusia sebagai pelakunya. Jejak langkah berkehidupan yang akan dihadapi, tidak bisa ditentukan secara pasti oleh manusia yang mengalaminya. Dalam perjalanan kehidupannya, manusia hanyalah dapat membuat prediksi dan ekspektasi sebagai harapan kehidupan masa depannya.
Saat ini berbagai kemudahan dan kecepatan berkomunikasi dalam dunia maya dengan menggunakan berbagai kanal media sosial, sudah menjadi bagian kehidupan keseharian manusia. Begitu mudahnya manusia behubungan secara langsung dengan manusia lain, tanpa keterbatasan ruang dan waktu. Begitu mudahnya manusia berekspresi untuk menampilkan jati dirinya melalui berbagai kanal media sosial. Siapapun bisa berekspresi, di manapun dan kapanpun, dan dalam kondisi apapun.
Efek positif dari adanya kemudahan dan kecepatan ini, kapanpun dan siapapun bisa dengan serta-merta berekspresi dalam bentuk curahan ide, pemikiran, dan perasaan melalui berbagai kanal media sosial yang diikutinya. Karena itu, bisa jadi curahan ide, pemikiran, dan perasaan tersebut dengan cepat menjadi konsumsi masyarakat luas yang sama-sama menjadi pengguna media sosial. Bentuk ekspresi tersebut pada akhirnya menjadi sebuah jejak digital yang tidak bisa terhapus, mana kala timbul keinginan untuk menghapusnya. Bahkan bisa menjadi sebuah jejak kehidupan yang dapat dengan mudah di-eksplore oleh siapapun.
Bukanlah sesuatu yang bermasalah ketika curahan ide, pemikiran, dan perasaan tersebut merupakan ungkapan yang bernuansa positif. Permalahan yang ditemui dan harus dihadapi sebagai konsekwensi logisnya adalah ungkapan bernuansa kurang baik yang tidak menutup kemungkinan menyinggung bahkan menohok perasaan berbagai pihak. Salah satu yang tergolong demikian adalah ekspresi dengan nuansa flexing yang sebanding dengan pengungkapan pola kehidupan hedonisme—pandangan yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam kehidupan.
Pada saat penayangannya, curahan ekspresi demikian bisa menjadi senjata pemuas yang digunakan oleh pembuatnya guna menumpahkan kekesalan terhadap orang lain, bahkan mengekspresikan kebanggaan akan kondisi kehidupan yang dialaminya. Melalu pengekspresian pengungkapan tersebut beban berat bisa terkurangi karena sudah terlempar melalui kanal media sosial yang dimilikinya. Namun, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin bahwa ekspresi pada kanal media sosial tersebut akan berefek kurang baik bagi kehidupannya. Hal itu bisa dimungkinkan karena ekspresi yang ditampilkannya didasari keinginan untuk secepat mungkin tertayang dalam kanal media sosial.
Menyandarkan diri pada tingkat kedewasaan berpikir dan keluasan pengetahuan merupakan syarat yang harus dimiliki oleh setiap pengguna media sosial. Hal itu perlu dilakukan sebab saat ini disinyalir bahwa tidak sedikit berbagai tayangan ekspresi pada berbagai kanal media sosial ditampilkan dengan begitu saja tanpa dibarengi tingkat kedewasan dan keluasan pengetahuan. Berbagai tayangan sebagai ekspresi diri menjadi jejak digital yang sulit dihapus dan sewaktu-waktu dapat diungkap oleh siapapun.
Akhir-akhir ini berbagai kejadian yang menimpa seseorang telah menjadi pintu masuk bagi siapapun untuk meng-eksplore dinamika kehidupan digital yang pernah dijejakkannya. Terlepas dari adanya motif apapun, berbagai jejak digital yang diwarnai dengan nuansa flexing dengan mudah ditemukan dan diungkap oleh berbagai pihak.
Saat awal penayangannya, ekspresi dengan nuansa flexing merupakan bentuk upaya memamerkan jati dirinya. Penayangannya diharapkan menjadi pengokoh penyetatusan diri dalam ranah kehidupan kelas tinggi. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, berbagai tayangan flexing tersebut menjadi bumerang bagi diri serta orang lain. Tayangan flexing menjadi bahan framing bagi pihak tertentu untuk lebih menyudutkan setiap penayangnya.
Sebagai pengekang terhadap kebebasan berekspresi dalam media sosial adalah melakukan pengontrolan yang ketat, sehingga tidak menjadi bumerang yang akan merugikan diri sendiri, bahkan orang lain di kemudian hari. ***
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.