Ketika Jengish Khan Gagal Menaklukkan Dirinya Sendiri
Agama | 2023-04-06 08:11:09Jengish Khan adalah seorang panglima gagah asal Mongolia. Ia sangat berwibawa di hadapan para prajuritnya, disegani dan ditakuti lawan. Pengetahuan dan strategi perangnya sangat handal. Banyak kota dapat ditaklukkan pasukan perang yang ia pimpin. Pedangnya telah memakan ratusan nyawa dan mampu menaklukkan ribuan musuh.
Dibalik kegagahan dan kewibawaannnya di medan laga ia memiliki teman setia, yakni seekor burung rajawali yang selalu bertengger di pundaknya. Ke arah manapun ia pergi, sang rajawali selalu setia mengikutinya. Jarang sekali ia pergi ke medan laga tanpa mengikutsertakan sang burung kesayangannya.
Dalam suatu kesempatan, usai pertempuran dahsyat, Jengish Khan sengaja mnejauhkan diri dari para prajuritnya. Ia beristirahat di tempat sepi seraya menikmati gemerciknya suara air yang berasal dari air terjun kecil yang ada di lembah tempatnya beristirahat.
Setelah sekian lama ia beristirahat rasa haus menyapa tenggorokkannya. Kemudian ia bangkit sambil membawa kendi yang terbuat dari tanah liat menuju sebuah air terjun yang tak jauh dari tempatnya beristirahat. Ia sudah membayangkan betapa sejuknya meminum air bening dari air terjun tersebut.
Ia pun segera turun untuk mengisi kendinya dengan air. Namun belum juga kendi tersebut terisi, tiba-tiba burung rajawali kesayangannya menyambar tangannya yang tengah memegang kendi sampai kendi tersebut terjatuh, untungnya tidak pecah. Ia tak marah karena seperti biasanya sang rajawali suka bercanda dengannya. Kemudian ia pun mengambil kembali kendinya, namun belum juga terisi air, sang rajawali kembali menyambarnya. Kali ini, kendi tersebut jatuhnya agak jauh.
“Hey, kamu jangan bercanda. Kalau ketiga kalinya kau masih mencandaiku, akan kutebas lehermu dengan pedang tajamku!” Sahut Jengish Khan mulai kesal.
Kemudian ia mengambil kendinya. Namun, belum juga terisi air, sang rajawali kembali menyambarnya dari arah belakang. Kendi pun jatuh menimpa batu sampai pecah berantakan. Ia pun benar-benar marah, dicabutnya pedang dan ditebaskan ke arah burung rajawali yang terbang rendah di hadapannya. Tebasan pedangnya tepat mengenai leher sang rajawali. Seketika, burung tersebut terkapar, dan mati.
Setelah melihat burung kesayangannya terkapar sambil masih marah-marah dan menggerutu, ia naik ke atas bukit asal air terjun untuk minum seraya ingin melihat-lihat situasi di sekitarnya. Ketika sampai di atas bukit, ia sangat terkejut. Tepat di saluran sumber air terjun tersebut tedapat beberapa bangkai binatang yang sudah membusuk. Ia baru tersadar, ternyata sang rajawali yang beberapa kali menyambar kendinya tersebut memberi informasi tentang kebersihan air yang akan diminumnya. Ia sangat menyesal telah membunuh burung kesayangannya.
Rasa hausnya mendadak hilang. Ia segera turun dari bukit dan mengambil rajawali, burung kesayangannya yang sudah tak bernyawa. Ia membuka baju kebesarannya digunakan untuk membungkus bangkai burung kesayangannya, kemudian dikuburkan secara militer.
Usai penguburan burung rajawali, rasa penyesalan dan rasa bersalah terus menghantui dirinya. Ia merasa berdosa telah membunuh burung kesayangannya yang setia dan berjasa terhadapnya.
Ia bergumam, “Orang-orang menganggapku sebagai seorang panglima gagah yang tangguh, berwibawa, dapat menaklukkan ribuan lawan dan ratusan kota, namun di hadapan diriku, ternyata aku manusia lemah, tak mampu menaklukkan diri sendiri.”
Dari secuil kisah tersebut, kita dapat mengambil pelajaran, menaklukkan diri sendiri ternyata lebih sulit daripada menaklukan musuh atau orang lain. Setiap orang diberi kemampuan untuk menangkis setiap serangan lawan, baik yang menggunakan tangan kosong atau senjata tajam, namun belum tentu semua orang mampu menangkis serangan amarah darin dirinya sendiri. Ada orang yang mampu meredam nafsu seseorang yang tengah marah, namun belum tentu ia mampu mengendalikan dirinya ketika amarahnya memuncak.
Kehadiran ibadah puasa Ramadhan merupakan latihan untuk mengendalikan diri, emosi, gejolak nafsu, amarah, dan rasa marah yang sering menyertai kehidupan keseharian kita. Salah satu hikmah dari ibadah puasa yang kita laksanakan adalah pengendalian gejolak nafsu jahat yang bersemayam dalam jiwa. Nafsu jahat ini jika sudah bergejolak akan berkeliaran dalam jiwa laksana hewan buas yang siap menerkam hewan buruannya, tak mengenal lagi beragam aturan, baik dan buruk sudah tak ada di hadapannya.
Rasulullah saw selalu mengajarkan, ketika kita tengah berpuasa, gejolak nafsu, emosi jiwa, rasa marah mendorong kita untuk bertindak atau mengeluarkan kata-kata kotor, segeralah bisikkan ke dalam jiwa kita, “Aku sedang berpuasa.” Dengan penekanan “Aku sedang berpuasa” diharapkan kita dapat mengendalikan diri.
Karenanya, salah satu keberhasilan dari ibadah puasa adalah lahirnya kemampuan mengendalikan diri dari gejolak nafsu dan emosi jiwa. “ Orang yang kuat bukanlah orang yang menang dalam suatu pertarungan, akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya ketika marah.” (H. R. Muttafaq ‘alaih) .
Dengan kata lain, kesabaran dalam mengendalikan diri dari perbuatan jelek merupakan buah dari ibadah puasa. Jadi kunci utama dari keberhasilan ibadah puasa adalah lahirnya jiwa-jiwa yang sabar dalam menghadapi beragam situasi dan kondisi.
Kita dapat mengukur kesabaran dalam pengendalian diri dengan cara sederhana, salah satunya ketika kita berbuka dan sahur. Apakah ketika berbuka puasa kita mampu mengendalikan diri untuk tidak makan minum secara berlebihan? Ketika perut sudah penuh dengan makanan dan rasa kantuk datang, apakah kita mampu mengendalikan diri untuk tidak mengikuti bisikan hawa nafsu yang mengajaknya untuk berdiam diri, malas-malasan, dan terlelap tidur, atau tetap berangkat melaksanakan shalat Isya dan tarawih berjamaah?
Demikian pula ketika kita masih merasa ngantuk pada waktu sahur, dan panggilan adzan shubuh sudah tiba, apakah kita mengikuti hawa nafsu yang mengajak kita untuk terlelap kembali tidur, atau bergegas menyibakkan selimut, mengambil wudhu, dan pergi shalat shubuh berjamaah?
Jika kita mampu melawan rasa kantuk dan rasa malas untuk beribadah selama bulan puasa, berarti bibit-bibit kesabaran dan keberhasilan pengendalian diri sudah tumbuh pada jiwa kita. Namun, jika kita belum mampuh melawan rasa kantuk dan rasa malas untuk beribadah, besar kemungkinan kita belum berhasil menaklukkan diri sendiri.
Banyak orang yang mencari ilmu dan beragam strategi dakwah dengan tujuan menaklukkan orang lain, sayangnya ia melupakan strategi untuk menaklukkan diri sendiri. Al Qur’an sendiri, Q. S. At Tahrim : 6, menggariskan kita harus menyelematkan atau mengubah diri sendiri terlebih dahulu sebelum merubah keluarga dan orang lain. Oleh karena itu, kita harus menjadikan ibadah puasa sebagai titik tolak merubah kualitas diri, akhlak, dan pengabdian kita kepada Allah, sebelum kita mengubah perilaku orang lain.
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan sebuah kata-kata bijak yang ditulis pada tahun 1100 M di sebuah dinding makam di Westminster Abbey Inggris.
“Ketika aku masih muda, dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah, maka cita-citaku kupersempit, aku putuskan hanya ingin merubah negeriku. Namun, ini pun nampaknya tak berhasil juga.”
Kemudian dalam baris berikutnya tertulis kalimat, “Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku dan orang-orang yang paling dekat denganku. Tapi nyatanya, mereka pun tak mau diubah. Aku mendapatkan kegagalan, tak mampu mengubah perilaku mereka.”
Sedangkan pada baris-baris terakhir tertulis kalimat, “Saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari, andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku, maka dengan menjadikan diriku sebagai teladan, mungkin aku akan mampu mengubah kelaurgaku, mengubah negeriku, dan siapa tahu aku bahkan akan bisa mengubah dunia.”
Untuk mengubah segala hal, kunci utamanya adalah mengubah diri sendiri, dan ibadah puasa adalah wahana untuk merenungi diri, mengerami segala kekurangan dan kelemahan diri agar menetas menjadi jiwa-jiwa baru yang mampu menjadi teladan bagi orang lain, dan mampu mengubah diri sendiri yang bermuara pada perubahan lingkungan sekitar kita ke arah yang lebih baik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.