Pulang Kampung ke Kota
Sejarah | 2023-04-05 11:52:02oleh Ara Annisa Almi
Kedatangan bulan Ramadhan selalu ditunggu bagi umat Islam di seluruh dunia, tidak terkecuali bagi masyarakat Minangkabau yang masih kental dengan tradisi. Kerap dikenal dengan balimau merupakan sebuah tradisi yang awet hingga kini di negerinya Buya Hamka, contohnya dapat kita temukan satu atau dua hari menjelang memasuki bulan puasa. Biasanya akan sangat ramai masyarakat menuju sungai ataupun tempat permandian terbuka lainnya. Balimau merupakan kegiatan mensucikan diri di Sumatera Barat yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Mulai dari anak muda hingga orang-orang tua antusias dengan tradisi ini walaupun terdapat ulama-ulama yang menentang pelaksanaan balimau.
Tak ubahnya, perkembangan zaman juga berimbas pada bagaimana masyarakat Minangkabau yang tidak hanya melakukan balimau dengan tujuan positif, namun juga untuk tujuan negatif sehingga mengundang maksiat. Banyak remaja yang pergi balimau untuk rekreasi bersama teman-temannya, bahkan bersama pasangan yang belum muhrim. Ketua Bundo Kanduang kota Padang, Fauziah Zainin pernah mengatakan sebetulnya balimau dimaksud dalam adat Minangkabau itu adalah balimau di rumah sendiri, untuk anak daro (pengantin baru). Dari segi adat saja, ini sudah menyalahi ketentuan Sumbang Dua Belas Adat Minangkabau.
Sebagai hukum tak tertulis, Ketentuan Sumbang Dua Belas Adat Minangkabau memberikan penghormatan kepada kaum hawa dengan harapan kaum hawa dapat terpelihara dan terjaga dengan baik. Diatur bagaimana berperilaku, beretika, ataupun bersikapnya di tengah-tengah masyarakat. Jika saja gadis Minang melakukan Sumbang Dua Belas, maka dia dianggap tidak beretika. Sumbang Bagau (Bergaul) menegaskan bahwa gadis Minang tidak diperbolehkan berteman dengan sekelompok laki-laki yang tidak ada perempuan di dalamnya, apalagi jika laki-laki tersebut bukan muhrimnya. Hal ini dilarang keras dalam agama Islam dan adat Minangkabau.
Kehidupan kota sudah mempengaruhi bagaimana budaya berkembang kemudian dimanifestasikan sehingga melahirkan perubahan pola hidup masyarakat yang lebih modern. Di Indonesia, pergaulan antara lelaki dan perempuan dipandang hal yang lumrah dewasa ini. Adat Minangkabau menjadi refleksi dari makna pulang kampung ke kota yang saya pakai sebagai tajuk dari artikel ini sekaligus memantik analogi makna pulang kampung yang sebenarnya atau mudik, yang mana adat minang sudah berbaur dengan modernisasi perkotaan. Walaupun demikian, sebagian besar masyarakat Minangkabau masih sepadu dengan prinsip adat.
Ibadah puasa hendaknya berkontribusi dalam membangun integritas moral dengan pondasi jiwa yang kukuh iman. Dimulai dari awalan niat dan ditutup dengan rasa hari menyaksikan sanak kerabat yang pulang dari aktivitasnya (sepulang kantor, kampus, dan lain sebagainya) bersemayam menjadi identitas bulan yang satu ini. Bagaimana tidak? Minangkabau dan Merantau adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, selaras dengan pepatah adat yang berbunyi, “karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang dahulu di rumah paguno balun,” yang artinya "jika di kampung belum dapat berbuat banyak untuk banyak orang, maka sebaiknya merantaulah dahulu."
Kabid Sejarah, Adat dan Nilai-Nilai Tradisi (Jaranitra) Dinas Kebudayaan, Drs. Januarisdi, M.LIS membenarkan bahwasanya merantau dan menuntut ilmu di negeri orang merupakan ciri khas orang Minangkabau sejak dahulunya. Asal usul istilah "merantau" itu sendiri berasal dari bahasa Minangkabau yaitu "rantau". Rantau pada awalnya bermakna: wilayah wilayah yang berada di luar wilayah inti Minangkabau (tempat awal mula peradaban Minangkabau). Berdasarkan penelitian jurnal yang ditulis oleh Moses Glorino Rumambo Pandin dan Misnal Munir, disimpulkan bahwa para pendatang Minangkabau telah hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat lokal di mana mereka menetap.
Tidak hanya tradisi Balimau, hal yang sangat berkaitan erat dengan bulan puasa tentu saja mudik bagi mereka yang merantau. Melansir data dari Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi yang menyampaikan bahwa sebanyak 123 juta orang akan melakukan perjalanan mudik pada lebaran tahun 2023 ini. Wali Kota Padang Hendri Septa menyebutkan sesuai perkiraan pemerintah provinsi Sumatera Barat, diperkirakan sebanyak 2 juta perantau yang akan pulang ke Sumatera Barat, yang mana angka ini naik signifikan dibandingkan tahun lalu yang hanya sekitar 1.2 juta. Dengan antusisme yang besar, pemerintah Kota Padang pun tampaknya mempersiapkan suatu acara Festival Muaro Padang. Dalam mempersiapkan Festival Muaro Padang, telah dilakukan rehabilitasi, pembersihan dan perawatan taman pedesterian Batang Arau.
Dua poin yang erat kaitannya dengan Bulan Puasa bagi orang Minangkabau di daerahnya, yaitu Balimau dan Mudik. Tradisi ini begitu mengakar di masyarakat, dengan maksud berkumpul bersama keluarga dan saling sungkem (meminta maaf). Sebagai mahasiswa yang menghabiskan waktu di kampus, saya mengaminkan duo fenomena ini masih terpatri bagi masyarakat Minangkabau, bahkan saya merasakan bagaimana harunya mahasiswa perantauan menyadari mereka bisa menikmati momen berpuasa juga bertebaran di kampung masing-masing. Meskipun pada pelaksanaannya, terdapat kewajiban yang juga harus dipenuhi sebagai mahasiswa sebelum melepas penat di rumah masing-masing. Kebersamaan yang indah akrab menemani jalannya momen berpuasa di tanah Minang, menghabiskan waktu bersama, ibadah bersama dan berbuka bersama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.