Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tri Wahyuningjati

Tumpulnya Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia

Info Terkini | 2021-12-21 15:15:37

Beberapa bulan kebelangan ini masyarakat disuguhi berita ‘dagelan’ pada hukum di negeri tercinta. Namun, dagelan ini tidak membuat kita tertawa, melainkan miris hati menyaksikan dagelan ini.

Kondisi hukum ini dapat dikatakan sebagai hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Terlalu formal jika kita menyebutnya sebagai Komisi Penyiaran Indonesia, berbanding terbalik dengan perbuatan yang dilakukan, atau bisa saja kita sebut dengan Komisi Pencabul Indonesia. Lucu juga kasus ‘dagelan’ negeri ini yang tidak ada akhirnya. Kasus yang terjadi adalah perundungan dan pelecehan yang dilakukan oleh beberapa karyawan di KPI Pusat kepada salah satu karyawan selama beberapa tahun hingga korban merasa trauma dan membawa kasus ini ke jalur hukum. Namun, kenyataan yang terjadi adalah korban dipaksa dan mendapat tekanan dari pihak yang bersangkutan untuk mencabut laporannya dan menyelesaikan kasus ini secara damai, bahkan korban juga terancam akan dilaporkan balik oleh pihak pelaku dengan UU ITE karena korban menyebarkan identitas pelaku. Rusak sudah reputasi KPI di mata masyarakat, karena beberapa oknum yang melakukan tindakan asusila.

Antara sedih, marah, kecewa perasaan ini campur aduk melihat ‘penegakan hukum’ yang begitu jauh dari rasa keadilan bagi orang-orang yang benar. Yang selalu berpihak kepada orang-orang ‘berharta’ dan di sekitar orang-orang yang berkuasa. Erna (2011:20) menegaskan, “Kita yakin tentu masih banyak hamba hukum yang lurus. Kita berharap ke depan hamba hukum yang lurus, dibantu birokrat yang lurus, dibantu pembela hukum yang lurus, dan doa kita semua mampu memberikan setitik cahaya ‘keadilan’ di tengah ‘hukum rimba’ penegakan hukum Indonesia”.

Mau Dibawa Kemana Hukum Negeri Ini ?

Hukum di Indonesia bisa di ibaratkan bagaikan angin yang lewat, bisa di tiup ke kiri ataupun ke kanan asalkan ada sogokan uang yang merah-merah minimal sepuluh lembar dan tergantung kepada keteguhan hati seseorang.

Padahal keadilan hukum yang kita harapkan adalah keadilan yang hukummannya harus ditegakkan oleh penegak hukum demi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Sebab, saat ini sering dijumpai penegak hukum lebih mengutamakan kepastian hukum dari pada keadilan padahal sudah jelas-jelas salah masih saja di bela, sehingga untuk menangkap seorang koruptor di perlukan 101 akal jitu.

Itupun setelah tertangkap bukannya takut dan merenung akan kesalahan yang diperbuat, malah melambai-lambaikan tangan di layar kamera seolah-olah Puteri Indonesia yang sedang tampil. Tidak terjadi sesuatu atau tidak ada penyesalan yang telah dilakukan sambil berpikir senang,ria karena mendapat waktu istirahat dan rejeki nomplok dan berkata "Hore...hore waktunya istirahat dan bobo inilah Indonesia hukumannya enak bisa di bawa kemana-mana sambil jalan-jalan hehehe. Memang sialan para koruptor membuat hukuman seperti tunggangan kuda lumping.

Pasal 4:

(1) Peradilan dilakukan: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

(3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar.

Pasal tersebut merupakan ketentuan ideal yang ingin diwujudkan dalam Negara Hukum Republik Indonesia. Idea seperti yang tercantum dalam ketentuan UU di atas sebenarnya adalah merupakan perwujudan dari kehendak manusia untuk hidup bermasyarakat dengan tertib, teratur, damai dan tidak saling merugikan. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari campur tangan pihak luar, diharapkan memberikan suatu kepastian bahwa hakim akan menegakkan hukum sebagaimana bunyinya hukum itu. Intinya adalah idea tentang kepastian hukum.

Sayang sekali bahwa idea yang mulia itu harus berhadapan dengan watak dasar manusia sendiri yang memiliki kecendrungan untuk hidup bebas, memiliki kecendrungan mendahulukan kepentingannya sendiri, watak dasar manusia yang lemah dalam menghadapi godaan nafsu badaniyah dan duniawiyah. Karenanya, kita sering menyaksikan terjadinya perbedaan yang terkadang cukup tajam antara norma hukum dan kenyataan pelaksanaannya.

Rahardjo (2010:17) mengemukakan, praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan.Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyangjung kaum elit.

Dimana Keadilan Hukum Indonesia yang Harus Dicari ?

Sebagai negara hukum keadilan dan penegakan hukum di Indonesia sangatlah dijunjung tinggi. Penegakan hukum yang adil sudah dipatenkan oleh pemerintah dalam tatanan pemerintahan yang sedemikian rupa adanya. Pancasila sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan ideologi yang berisi 5 prinsip yang saling meliputi satu sama lain. Salah satu bunyi dari Pancasila adalah “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang merupakan sila ke-5. Hal ini sangat jelas bahwa seluruh rakyat indonesia berhak mendapat keadilan tanpa terkecuali. Tidak pandang bulu, entah itu pejabat, rakyat kecil, orang kaya atau miskin. Tujuan hukum adalah memberikan keadilan kepada setiap orang.

Namun dalam realitanya hal ini sudah tidak terjadi lagi di Indonesia. Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Saat ini hukum di Indonesia yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan Negara dilanggar.

Orang biasa yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan dijebloskan kepenjara. Sedangkan seorang pejabat Negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik Negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Karena hukuman itu cenderung hanya berlaku bagi orang miskin dan tidak berlaku bagi orang kaya, sehingga tidak sedikit orang yang menilai bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang.

Komedi Kasus Hukum Indonesia

Sayang sekali, kurangnya penegasan hukum di Indonesia menyebabkan yang kurang mampu akan kalah dengan yang berduit. Kasus yang bisa dijadikan rujukan sebagai contoh ketidakadilan hukum di Indonesia yaitu kasus korupsi bansos yang menjerat eks Menteri Sosial, Juliari Batubara yang melakukan korupsi dengan menerima suap sebesar Rp 17 miliar. Uang tersebut digunakan Juliari untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Namun, vonis yang diberikan Hakim kepada Juliari hanya selama 12 tahun, hal tersebut tentunya belum mencerminkan keadilan hukum kepada khalayak umum. Pemberian vonis hakim tersebut mengundang perhatian masyarakat lantaran hal yang membuat hakim meringankan vonis adalah hal-hal yang sangat mencerminkan ketidakadilan, seperti hanya karena hinaan masyarakat yang dianggap membuat Juliari menderita, padahal yang dilakukan Juliari lebih merugikan rakyat.

Sedangkan, dua orang ibu-ibu di Blitar, Jawa Timur, tertangkap karena mencuri susu di dua toko berbeda.Alasannya mencuri susu karena suaminya mengalami sakit sehingga tidak bisa berjalan. Demi mencukupi kebutuhan keluarga, ia terpaksa mencuri. Keduanya yang tengah mendekam di tahanan dijerat pasal 363 KUHP dengan ancaman hukuman penjara 7 tahun. Bila dibandingkan vonis koruptor, ia menilai hukum hanya tajam bagi masyarakat kelas bawah.

Beberapa tahun kebelakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum seakan-akan bukan lagi dasar bagi negara Indonesia. Terdapat pengakuan informal di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli, maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan secara menyeluruh dan adil.

Tri Wahyuningjati menyimpulkan jika, “Berpikir dunia akan adil adalah harapanmu yang paling bodoh. Orang-orang akan tetap menyebalkan, orang-orang akan tetap bersikap kasar, orang-orang akan tetap bersikap punya segalanya. Kecuali, kamu punya ‘sesuatu’, keelokan rupa, kekuasaan, kekuatan, hak bersuara lebih besar. Di luar dari itu akan tetap dibungkam, suaramu tidak akan terdengar, dan orang akan tetap memandang dengan matanya yang hampir keluar. Tidak tidak, dunia tidak akan pernah adil. Semakin kamu mencoba mencari keadilan, semakin kamu direndam dalam tuntutan berkalimat, (“Kamu salah! Kamu tidak pantas ada di sini, ini bukan tempatmu!”).”

Maka dari itu marilah kita bangun hukum yang sebenar-benarnya, seadil-adilnya, dan sebijak-bijaknya. Supaya tidak ada rakyat yang mengatakan hukum tajak ke bawah dan tumpul ke atas. Sehingga dapat tercipta hubungan yang harmonis antara kalangan para pejabat dengan rakyat yang membuat hukum menjadi kuat, teguh, dan kokoh sehingga tidak ada hukum yang jalan-jalan kesana kemari.

Daftar Pustaka

Widowati, Christiani,“Hukum sebagai Norma Sosial Memiliki Sifat Mewajibkan,” ADIL: Jurnal Hukum,Vol. 4 No. 1 (Desember,2021)

Raharjo, Agus “Hukum dan Dilema Pencitraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktek,” Jurnal Hukum Pro Justitia Volume 24 No.1 (Desember, 2021)

https://uns.ac.id/id/uns-update/keadilan-hukum-harus-ditegakkan.html, diakses pada 14 Desember 2021, pukul 14.50

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/1054/977

https://yoursay.suara.com/kolom/2021/10/09/212535/keadilan-hukum-di-indonesia-yang-sulit-dicari

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image