Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nurul Aisy

Refleksi: Datang Bulan Baru, Apa yang Harus Makin Diingat?

Agama | Saturday, 01 Apr 2023, 02:35 WIB

Malam ini ketika saya membuka whatsapp, banyak muncul status video dengan tajuk "March Dump". Tentu isinya adalah berbagai macam bentuk suka cita, yang dirangkaikan dalam rangka tahadduts binni'mah (menyebutkan nikmat), dan ini dibolehkan dalam Islam. Saya melihat ke kalender, benar sudah 1 April. Tapi justru yang muncul di benak saya sebaliknya, bukanlah hari-hari bahagia yang telah berlalu, namun didominasi dengan apa yang akan saya hadapi kedepan.

27 hari lagi saya akan kembali ke Cianjur, begitu juga teman-teman mahasantriwati STIQ ZAD Cianjur yang lain. Tiket telah terbeli, barang bawaan yang harus diperbarui sudah dicicil, dan travel sudah di- booking. Melanjutkan kembali perkuliahan secara tatap muka. Barangkali 27 hari hanyalah beberapa waktu singkat, yang nantinya tidak akan terasa. Disisi lain, Cianjur si kota sejuk itu, belakangan masih diguncang gempa dengan skala richter yang tidak kecil, dan di permukaan yang dangkal. Kepulangan kesana, tentu menyisakan sedikit rasa khawatir. Namun proses thalabul 'ilmi (menuntut ilmu) harus tetap berjalan, dengan semaksimal mungkin.

Berada di kondisi yang rawan, bagi saya memiliki dampak yang baik. Teringat adagium, yang maknanya untuk berkembang, hendaknya meninggalkan zona nyaman. Push Your Self to The Limit. Tutur seorang 'alim kondang, Al-Imam Asy-Syafi'i, bahwa hijrah akan mendatangkan banyak kebaikan baru.

مَا فِي المُقَامِ لِذِيْ عَقْلٍ وَذِيْ أَدَبٍ مِنْ رَاحَةٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِب

سَافِرْ تَجِدْ عِوَضاً عَمَّنْ تُفَارِقُهُ وَانْصَبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ

إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ المَاءَ يُفْسِدُهُ إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ

وَالأُسْدُ لَوْلَا فِرَاقُ الأَرْضِ مَا افْتَرَسَتْ وَالسَّهْمُ لَوْلَا فِرَاقُ القَوْسِ لَمْ يُصِبْ

وَالشَّمْسُ لَوْ وَقَفَتْ فِي الفُلْكِ دَائِمَةً لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ

وَالتُرْبُ كَالتُرْبِ مُلْقًى فِي أَمَاكِنِهِ وَالعُوْدُ فِي أَرْضِهِ نَوْعٌ مِنْ الحَطَبِ

فَإِنْ تَغَرَّبَ هَذَا عَزَّ مَطْلُبُهُ وَإِنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ عَزَّ كَالذَّهَبِ

Merantaulah

Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman

Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang)

Merantaulah

Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa..

Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.

Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..

tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

ilustrasi kematian

Meski tidak mengharapkan datang gempa kembali, saya jadi teringat kejadian awal-awal gempa mendatangkan kerusakan diatas bumi Cianjur. Ujian yang tidak mudah, dimana bisa terjadi puluhan kali gempa hanya dalam satu hari. Berada di zona rawan menurut saya mendorong untuk meningkatkan rasa takut kepada Allah, dengan banyak mengingat mati. Teringat sebuah kelas Sharing Psikologi Islam bersama Petakehidupan.id, dimana kala itu pembahasan yang diangkat adalah memperbanyak ingat mati. Para Salafushshalih, sedikitnya mengingat kematian sebanyak 20 kali dalam sehari. Mengingatkan pada hari pembalasan, yang berujung pada khauf, harap dan takut apakah amal layak untuk dibawa menghadap kepada-Nya. Saya jadi berefleksi, apa kabar manusia modern yang hari-harinya lebih dekat dengan gadget daripada Al-Qur'an, matanya sulit terbebas dari aurat yang bertebaran di media sosial. Tidak hanya lisan, pun jarinya juga mampu 'pedas' berbicara, dan telinga tidak luput dari laghwu (kesia-siaan). Jangankan mengingat mati, akhirat seringkali luput dari ingatan, bahkan dipisahkan dan dipinggirkan dari kehidupan; sekularisme.

Tidak mengherankan jika Generasi Salafusshalih jauh kualitasnya, dan tidak bisa diperbandingkan dengan manusia saat ini. Tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam suatu ketika menjawab pertanyaan, mengenai siapa manusia yang paling cerdas dan mulia:

"Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat.''

Itulah mengapa, dalam sebuah kitab Ibnul Jauzi, yang diterjemahkan dengan Kecerdasan dalam Pandangan Islam, disebutkan bahwa Abu Darda Radhiyallahu 'Anhu berkata, bahwa orang yang berakal adalah yang imannya membentengi antara dirinya dan Rabbnya, dan ia berjalan di dunia dengan ketakwaan dan pengendalian diri. Orang bertaqwa adalah yang senantiasa yakin akan datangnya hari pembalasan, yang menjadikannya senantiasa menyadari bahwa kehidupan dunia hanyalah fana.

Meskipun kita hanyalah serpihan debu (bahkan atom atau yang lebih kecil) dari kualitas Generasi Salafusshalih, semoga dapat meneladani budaya banyak mengingat kematian ini. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama golongan hamba-hamba yang dicintai-Nya. Āmiin yā Rabbal 'Alamīn.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image