Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siska Rachmawati

Self-Blame: Seni Menyakiti Diri

Eduaksi | 2021-12-20 23:34:25
https://pairin.com/wp-content/uploads/2020/10/dreamstime_xxl_110364066.jpg" />
Sumber: https://pairin.com/wp-content/uploads/2020/10/dreamstime_xxl_110364066.jpg

“Aku dibully karena aku tidak cantik.”

“Dia selingkuh pasti karena aku yang kurang perhatian.”

“Seharusnya aku berusaha lebih keras lagi pasti hasilnya akan berbeda.”

“Aku salah .”

Apakah kamu merasa tidak asing dengan kalimat di atas? Pernah mendengarnya secara langsung? Atau justru kamu pelakunya? Sering menyalahkan diri sendiri lantas merasa tidak berguna. Mungkin kamu perlu mengetahui istilah self-blame.

Self-blame atau menyalahkan diri sendiri merupakan suatu bentuk pelecehan emosional terhadap diri sendiri yang berbahaya karena dapat memperkuat kekurangan yang kita rasakan hingga menutup diri untuk melangkah maju ke depan (Formica, 2013).

Perilaku self-blame merupakan suatu kondisi di mana seseorang selalu menyalahkan dirinya sendiri atas segala hal yang terjadi, atas kejadian di masa lalu yang masih menghantui, masalah yang sedang dihadapi, atau bahkan penyesalan atas peluang yang tidak berhasil dimaksimalkan.

"Setiap manusia berhak untuk dicintai dan dimaafkan, termasuk dirimu sendiri."

Kesempurnaan dan Ilusi Ideal

Kita sering kali membentuk ilusi ideal atas seluruh kegiatan yang sedang dan akan dilakukan hingga membentuk ilusi kesempurnaan atas dunia yang kita miliki (Formica, 2013). Saat kenyataannya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, terlihat adanya ketidaksempurnaan, kekecewaan langsung menyelubungi hati dan pikiran. Berangsur dengan menyalahkan diri sendiri karena gagal mencapai ilusi idealnya. Padahal mungkin ilusi ideal yang kita ciptakan memang belum sesuai dengan kapasitas yang kita miliki saat ini dan mungkin suatu saat akan tercapai, banyak hal yang tidak bisa disempurnakan, dan banyak hal yang tidak dapat dikendalikan karena sudah berada di luar kuasa kita sebagai manusia.

Mengambil Peran Superhero

Seperti yang kita ketahui bahwa bertanggung jawab itu merupakan perilaku yang baik, tetapi harus diingat bahwa kita tidak harus bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi karena banyak hal yang sebenarnya bukanlah tanggung jawab kita (Schwartz, 2013). Setiap individu mempunyai peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Manusia bukanlah superhero yang dapat “menyelamatkan” semua orang, bukanlah superhero pemberi kesenangan yang dapat membahagiakan dan menyenangkan semua orang, dan bukanlah makhluk yang dapat mengendalikan seluruh peristiwa di dunia ini karena tugas kita hanya mengusahakannya dengan sebaik mungkin.

Menyalahkan Diri Karena Menyakiti

Bahkan dalam kondisi ini, kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri karena telah menyakiti dirimu dengan melakukan self-blame. Ada orang yang hidup di keluarga yang menuntut kesempurnaan, ada juga orang yang tumbuh dengan caci makian, dan ada orang yang harus menyalahkan dirinya agar permasalahan dapat dihentikan. Setiap orang mempunyai ceritanya masing-masing. Kita mungkin tidak mempunyai kuasa untuk mengubah masa lalu, tetapi kita punya kekuatan untuk menentukan masa depan yang ingin kita miliki.

Melepaskan Belenggu Self-Blame

Ketika self-blame menjadi suatu perilaku yang hadir tanpa kita sadari dan sudah menjadi kebiasaan, tentunya bukanlah hal yang mudah untuk menghentikannya. Namun, bukan berarti hal yang mustahil untuk dilakukan. Lalu, bagaimana cara supaya kita bisa menghindari self-blame? (Streep, 2018).

1. Mulailah dengan berusaha memetakan bagian mana saja yang menjadi tanggung jawab kita, bagian yang tidak dapat sepenuhnya kita kontrol, dan bagian yang sepenuhnya tidak dapat kita kontrol. Ini dapat membantu kita membedakan "mengambil tanggung jawab" dengan "menyalahkan diri sendiri".

2. Buatlah catatan mengenai diri kita, mulai dari hal yang kita suka dan tidak suka juga kelebihan dan kekurangan yang kita punya. Ini dapat membantu kita untuk mengenal lebih dalam diri sendiri dan menyadari bahwa hidup kita tidak hanya dikelilingi dengan kekurangan, tetapi kita juga mempunyai kelebihan. Cukup maksimalkan kelebihan yang kita punya dan evaluasi kekurangannya.

3. Kembangkan self-compassion atau sikap mengasihi diri sendiri.

4. Ubah perspektif kita terhadap diri sendiri dengan lebih baik karena apa yang kita yakini biasanya akan berbanding lurus dengan apa yang kita pikirkan dan kita lakukan.

Merangkul Ketidaksempurnaan dan Kesalahan dengan Berdamai

Yang harus kita ingat bahwa self-blame tidak sama dengan mengakui kesalahan yang kita lakukan (Sreenivasan & Weinberger, 2018). Jadi, bukan berarti dengan melepaskan self-blame kita jadi melepaskan seluruh tanggung jawab yang kita miliki. Dengan melepaskan self-blame bukan berarti kita juga menjadi lupa untuk mengevaluasi diri dan akhirnya menyalahkan orang lain. Karena sejatinya, berdamai dengan diri sendiri akan membantu kita untuk mendapatkan versi terbaik dalam diri. Oleh karena itu, saat ada hal buruk yang terjadi, ketika ketidaksempurnaan menghampiri, yang perlu kita lakukan adalah menerima dan mengevaluasi situasi bukannya buru-buru menghardik diri seolah kita tak berhak untuk menginterupsi. Jadi, apakah kamu sudah meminta maaf dan memaafkan diri sendiri?

Referensi

Formica, M. J. (2013). Self-Blame: The Ultimate Emotional Abuse | Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/enlightened-living/201304/self-blame-the-ultimate-emotional-abuse

Schwartz, A. N. (2013). Are You Self-Blaming and Self-Critical? - Depression Resources, Education About Depression and Unipolar Depression. https://www.mentalhelp.net/blogs/are-you-self-blaming-and-self-critical/

Sreenivasan, S., & Weinberger, L. E. (2018). Self-Blame: How Do You Respond When Things Go Wrong? | Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/emotional-nourishment/201801/self-blame-how-do-you-respond-when-things-go-wrong

Streep, P. (2018). Tackling Self-Blame and Self-Criticism: 5 Strategies to Try | Psychology Today.

https://www.psychologytoday.com/us/blog/tech-support/201801/tackling-self-blame-and-self-criticism-5-strategies-try

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image