Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Elisya Zabrina Putri Meyka

Ketika Sosial Media Jadi Arena Perselingkuhan: Dampak Psikologis yang Terabaikan

Eduaksi | 2025-12-14 20:14:50
Ilustrasi Perselingkuhan. Photo by Vera Arsic from Pexels: https://www.pexels.com/photo/woman-and-man-sitting-on-brown-wooden-bench-984949/

Era digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk dalam ranah hubungan interpersonal. Sosial media, yang awalnya dirancang sebagai sarana komunikasi dan silaturahmi, kini sering kali dimanfaatkan sebagai arena perselingkuhan. Fenomena ini bukan hanya merusak kepercayaan dalam hubungan, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang sering kali terabaikan oleh masyarakat dan bahkan oleh korban itu sendiri.

Perselingkuhan di era digital memiliki wajah yang berbeda dibandingkan dengan masa lalu. Dulu, perselingkuhan lebih banyak terjadi secara fisik, seperti pertemuan tatap muka atau komunikasi melalui telepon. Namun, kini, cukup dengan pesan teks, DM, atau interaksi di media sosial, seseorang bisa menjalin hubungan yang melampaui batas norma sosial. Keintiman digital ini sering kali sulit dideteksi, karena tidak meninggalkan bukti fisik yang jelas. Hal ini membuat korban terkadang merasa ragu, bahkan menyalahkan diri sendiri atas ketidakpercayaan yang muncul.

Dampak psikologis dari perselingkuhan digital sangat kompleks. Korban sering mengalami gejala-gejala seperti kecemasan, depresi, hilang kepercayaan diri, dan bahkan gangguan tidur. Rasa malu dan stigma sosial juga membuat banyak orang enggan mencari bantuan profesional. Mereka memilih menyimpan luka dalam diam, yang justru memperburuk kondisi mental. Tidak jarang, korban mengalami isolasi sosial karena merasa tidak lagi layak dicintai atau diterima oleh lingkungan.

Selain itu, sosial media juga menjadi tempat bagi pelaku untuk mengekspresikan hubungan terlarang secara tidak langsung. Postingan, like, komentar, atau bahkan story yang sengaja ditampilkan di depan pasangan bisa menjadi bentuk “permainan” emosional yang sangat merugikan secara psikologis. Korban sering kali merasa tidak berdaya, karena sulit membuktikan niat jahat di balik tindakan-tindakan tersebut. Bahkan, ada yang mengalami cyberbullying atau hujatan dari pihak-pihak yang tidak memahami situasi, menambah beban mental yang sudah ada.

Perselingkuhan digital juga memengaruhi cara orang memandang hubungan dan kepercayaan. Dalam lingkungan yang serba terbuka dan serba terlihat, setiap orang merasa harus selalu “menang” atau “menjadi yang terbaik”. Hal ini memicu perbandingan diri yang tidak sehat, yang bisa memicu rasa cemburu, kecurigaan, dan ketidakpuasan dalam hubungan. Akibatnya, komunikasi menjadi lebih reaktif, dan konflik kecil bisa berubah menjadi masalah besar yang sulit diselesaikan.

Faktor lain yang turut memperparah dampak psikologis adalah minimnya pemahaman masyarakat tentang trauma perselingkuhan digital. Banyak yang masih menganggap perselingkuhan sebagai masalah moral semata, bukan sebagai bentuk kekerasan emosional yang berdampak jangka panjang. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa korban perselingkuhan digital memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan pendekatan yang holistik. Edukasi tentang dampak psikologis perselingkuhan digital perlu diperluas, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Layanan konseling dan dukungan psikologis juga harus lebih mudah diakses, agar korban tidak merasa sendirian dalam menghadapi trauma yang mereka alami. Selain itu, penting bagi setiap individu untuk membangun kesadaran akan batasan dan etika dalam menggunakan sosial media, serta memperkuat komunikasi dan kepercayaan dalam hubungan.

Perselingkuhan digital bukan hanya soal kehilangan kepercayaan, tapi juga soal kesehatan mental yang rentan dan butuh perhatian serius. Di tengah kemajuan teknologi, justru kita harus lebih peka terhadap dampak emosional yang terjadi di balik layar. Hanya dengan pemahaman dan dukungan yang memadai, kita bisa membantu korban pulih dan mencegah trauma serupa terulang di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image