Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mohamad Fadhilah Zein

Salah Kaprah Manhaj Salaf, Salafi itu Bukan Wahabi

Agama | Sunday, 26 Mar 2023, 17:25 WIB
Muhammad Rasikh, Lc, seorang da'i Salafi yang ternyata dahulu pernah nyantri di Ponpes Tebu Ireng dan masih memiliki ikatan dengan keluarga Tarekat Naqshabandiyah di Kalimantan Tengah. Foto: Istimewa

Ketegangan sosial keagamaan sering terjadi antara kelompok Salafi dan di luar mereka. Kelompok ini diidentikan sebagai orang-orang yang gemar membid'ahkan atau mengkafirkan sesama Muslim. Untuk mendalami masalah ini, saya mewawancarai seorang da'i Salafi yang ternyata dahulunya pernah nyantri di Pondok Pesantren Tebu Ireng dan masih memiliki darah keturunan dengan keluarga Tarekat Naqsabandiyah di Kalimantan Tengah. Selepas mondok di Tebu Ireng, dia melanjutkan pendidikan di LIPIA dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Berikut adalah wawancara dengan Muhammad Rasikh, Lc di kediamannya di Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Banyak yang menolak manhaj Salafi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Memang kita mendapatkan gerakan Salafi di Indonesia banyak yang prokontra. Yang kontra lebih banyak. Padahal gerakan Salafi ini bukan baru ini saja, tetapi sudah sejak muncul dakwah di Indonesia, gerakan Salafi ini sudah ada. Gerakan yang ingin mengembalikan apa yang sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Hanya saja, kondisi masyarakat kita itu tidak mengenal ajaran Islam secara total. Mereka mendapatkan Islam itu yang masuk melalui tahapan-tahapan melalui kultur dan budaya. Gerakan selanjutnya bisa dibilang terputus dari apa yang sudah dilakukan generasi pendahulunya. Nah, ketika zaman sekarang di mana zaman keterbukaan, mulai masuk buku-buku dan pengetahuan. Mulai banyak pelajar yang belajar. Kalau dahulu terbatas hanya pada tokoh-tokoh tertentu. Kalau sekarang sudah banyak yang belajar dan mereka mendapati apa yang sudah diajarkan dalam Al Quran dan Sunnah itu. Maka menjadi wajar jika hal ini dianggap aneh. Kalau masyarakat ada yang mengatakan dulu kita belajar agama begitu-begitu, kok sekarang jadi aneh. Ini bisa jadi pengaruh dari keterbukaan di zaman sekarang ini. Kalau dahulu seseorang mengatakan sesuatu hanya beredar di tempatnya saja. Kalau sekarang, seseorang berbicara sesuatu di ruangan, bisa pindah ke tempat lain. Masyarakat yang terbiasa dengan sesuatu, lalu mendengar sesuatu dari kelompok berbeda, maka itu wajar terjadi prokontra.

Apa yang dilakukan kelompok Salafi agar polemik tidak membesar?

Solusinya adalah terus didakwahkan sehingga Salafi ini semakin dikenal. Sebab orang kontra adalah karena tidak tahu. Kalau dakwah dilakukan secara massif, dengan cara yang santun, memiliki kadar ilmiah yang cukup, saya rasa yang seperti itu (polemik) akan menghilang dengan sendirinya. Justru kalau menarik diri, maka hal itu akan terus terjadi.

Pengalaman Antum sebagai da'i Salafi seperti apa? Apakah ada penolakan?

Alhamdulillah, di beberapa tempat ketika ada kajian tidak ada penolakan secara frontal. Bahkan, di sebagian tempat ada yang tetap meminta untuk terus diadakan kajian-kajian. Ada masjid di Pondok Labu, beberapa waktu lalu saya diundang bersama Pak RT dan Pak RW. Sempat ada isu bahwa masjid akan diambil alih oleh kelompok Islam tertentu. Ternyata, penolakan itu bukan dari sisi dakwah atau konten keagamaan, tapi lebih pada kecemburuan sosial. Entah itu karena politis atau ketenaran orang-orang tertentu yang merasa terganggu. Dari sisi konten keagamaan, mereka tidak bisa menunjukkan di mana kesalahan dakwah Salafi. Lambat laun, yang tadinya kontra justru berbalik arah. Mereka tertarik untuk menambah pengetahuan tentang Islam itu sendiri.

Masing-masing kelompok dalam Islam mengklaim sebagai Ahlus Sunnah. Bagaimana kelompok Salafi melihat perbedaan makna Ahlus Sunnah ini?

Memang harusnya demikian. Setiap Muslim harus mengklaim dia membawa ajaran Rasulullah SAW. Itu hal yang positif. Tinggal yang mengklaim itu menunjukkan landasan apa yang dipakai, baik dari sisi pendalilan atau lainnya. Apa yang membedakan manhaj Salafi dengan sebagian kelompok lain yang mencolok adalah dari sisi akidah. Kelompok Salafi tidak berdalil kecuali dari tiga sumber yakni Al Quran, Sunnah dan Ijma'(kesepakatan ulama). Misalnya ketika meyakini gaib. Ada orang mengatakan selalu tasbih ada di kantongmu, maka kamu mendapat keberkahan. Atau selepas mati nanti roh-roh akan berjalan ke rumah. Ini masalah keyakinan. Manhaj Salafi akan mempertanyakan ini. Kalau masalah akidah ada ngga sumbernya dari Al Quran, Sunnah Nabi atau kesepakatan ulama. Seseorang mengatakan ayat Al Quran dan Sunnah Nabi sesuai dengan pemahamannya. Apakah pemahamannya ini disepakati ulama. Ulama fulan mengatakan demikian. Jika ada kesepakatan, maka semua harus tunduk. Kalau diperselisihkan, itu sekedar wacana yang tidak bisa diyakini. Kita berupaya sesuai kadar keilmuan, mana yang paling kuat dari sisi keimuannya. Kalau berhubungan dengan ilmu Hadits, maka dibahas dengan ilmu tersebut. Kalau berkaitan dengan fiqh, maka dilihat bagaimana kaidah fiqh atau ushul fiqh.

Perbedaan antara manhaj Salafi dan yang bukan sudah masuk masalah ushul, bukan hanya furu'?

Dari sisi cara, sebenarnya masalah furu' atau ushul itu akan menjadi polemik ketika sistem berbeda. Cara pengambilan dan pemahaman berbeda. Dalam masalah akidah, cukup satu ulama yang mengatakan, maka itu yang diyakini. Kehadiran ruh, bisa melihat orang-orang mati, mampu melihat Rasulullah secara terjaga, ini polemik sehingga ketika Salafi mengatakan tidak, karena tidak ada dalil atau kesepakatan ulama terkait masalah itu. Bisa dikatakan perbedaan-perbedaan ini ada di ushul atau furu'.

Ada yang mengatakan manhaj Salafi ini digagas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sehingga gerakan Salafi ini disebut sebagai Wahabi. Menurut Antum bagaimana?

Ini adalah kekeliruan karena Salafi itu bukan siapa penggagasnya. Salafi itu tidak ada penggagasnya. Yang ada adalah orang yang menyadarkan kembali. Kalau penggagasnya ya Rasulullah SAW, para sahabat dan tabi'in. Dalam beragama, pengembaliannya adalah kepada Rasulullah SAW dan sahabat. Terkait pengembalian dalam beragama ini hilang karena muncul dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Ketika umat Islam masuk ke sebuah wilayah mereka mengikuti apa yang terjadi di sana. Ketika ini terjadi, lahir orang-orang yang mengingatkan seperti Imam Syafi'i yang mengajak umat untuk kembali pada hadits-hadits yang shohih sehingga Beliau menulis kitab Ar-Risalah yang isinya bagaimana cara melihat Hadits dan mendalami Al Quran. Ketika muncul Muhammad bin Abdul Wahhab, bisa dibilang waktunya berdekatan dengan kita. Upaya dia untuk mengembalikan pada Sunnah itu lebih terdengar dan terasa gaungnya. Lalu orang menisbatkan gerakan ini milik Muhammad bin Abdul Wahab. Sebenarnya tidak begitu. Itu terjadi ketika masa umat turun, lalu muncul ulama atau mujaddid untuk mengingatkan. Allah menginginkan Islam sebagai agama akhir zaman yang sama syariatnya dengan Nabi Muhammad SAW.

Ada pandangan kelompok Salafi hanya pro terhadap ulama mereka. Sementara di luar kelompok Salafi, pandangan ulama tidak diterima. Apa benar begitu?

Saya rasa semua kelompok demikian. Kelompok mana pun akan mencari orang-orang yang mereka inginkan. Ada orang ceramah tapi tidak diterima oleh suatu masyarakat, mungkin besok orang ini tidak akan diundang lagi. Ini hampir terjadi di semua gerakan Islam, bukan hanya di kelompok Salafi saja. Bahkan, penolakan terhadap ustadz-ustadz Salafi oleh kelompok tertentu lebih keras. Kita mendengar adanya pengusiran. Mengaji di masjid sendiri pun diusir. Saya tidak pernah menjumpai kelompok Salafi mengusir pengajian kelompok lain.

Pemahaman ayat tentang tekstual dan kontekstual seperti apa?

Ketika kita bicara sebagai manusia, maka yang dipahami adalah secara tekstual. Jika ada konteks berbeda maka dibutuhkan logika. Itu bisa dipahami ketika kita bicara antara makhluk dan manusia. Misalnya, ketika kita berbicara tentang singa. Apa yang ada di benak manusia jika dikatakan singa? Maka semua akan paham itu adalah hewan buas. Lalu dikatakan "saya melihat singa di atas mimbar". Mulai ada keraguan tapi masih mungkin. Mungkin ada singa lepas dan naik ke atas mimbar. Lalu dikatakan lagi "saya melihat singa di atas mimbar sedang berkhutbah". Oh ini konteksnya berbeda, yang dimaksud singa bukan hewan yang ada di hutan atau kebun binatang. Tetapi, maknanya adalah seseorang yang pemberani laksana singa tengah berkhutbah di atas mimbar. Atau ada kalimat lain "barusan saya melihat singa di kamar mandi."Ternyata, temannya yang mirip singa karena gondrong dan sebagainya. Sekarang bagaimana kalau kepada Allah. Apakah ada majaz atau bahasa kiasan kepada Allah. Nah, ini yang membedakan. Kaum Salaf tidak berani melakukan kiasan kepada Allah. Karena, majaz itu harus ada yang bisa pembuktian. Pembuktian itu biasanya yang bisa dilihat atau dibuktikan. Tetapi ketika bicara tentang Allah tabaraka wata'ala, itu tidak ada penyerupaan. Ketika Allah mengatakan yadullah (tangan Allah), maka Salaf tidak berani mengatakan itu majaz, tetapi hakikat. Hakikatnya seperti apa sesuai dengan hakikat Allah yang laisa kamitslihi syai'un wahuwa sami'un bashir (tidak ada yang menyerupainya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat). Ketika ada yang mengatakan (tangan Allah) adalah kekuasaan, maka dia terjerumus pada makhluk karena makhluk itu bisa tekstual atau kontekstual. Misalnya ada Pak RT atau Pak RW yang menangani kerusuhan, dikatakan "Bapak kan punya tangan di masalah ini". Kita akan pahami makna tangan Pak RT di sini adalah kekuasaan. Salafi sepakat bahwa ada kontekstual tertentu dalam Al Qur'an seperti firman Allah Was'alil Qoryah (tanyalah desa), tentu bukan tekstualnya yang dimaksud karena desa tidak bisa ditanya, yang dimaksud adalah ahlul qoryah (penduduk desa). Di ayat yang lain "banaa firaun qashrah" (Firaun membangun istana). Tidak mungkin kita pahami tekstual, Firaun yang membawa semen, atau dia yang membangun bangunan. Pasti ada orang lain yang mengerjakan itu. Firaun adalah yang menggagas dan menyuruh untuk membangun istana. Tapi ketika berhubungan dengan lafaz Allah dan sifat Allah, sulit bagi kita untuk menghubungkan bahwa maksud kontekstualnya adalah ini atau itu. Kita mengembalikan pada hakikat Allah sesuai dengan keagunganNya. Itu yang paling aman yang ditempuh kelompok Salaf untuk tidak menyerupakan Allah dengan sesuatu apapun.

Apakah ada tempat untuk berijtihad dalam agama bagi kelompok Salafi?

Jelas tidak dimungkiri bahwa ijtihad itu akan terjadi bagi siapapun. Namun, ijtihad ini dibangun mengikuti kaidah. Seperti berhubungan dengan makhluk, maka bisa saja takwil. Tapi ketika berhubungan dengan Allah, tidak mungkin ada takwil atau tafsir. Ijtihad memiliki batasan-batasan.

Dalam konteks Indonesia, bagaimana agar manhaj Salafi ini bisa diterima di tengah masyarakat?

Salafi memandang setiap adat-istiadat yang baik dan sesuai dengan Islam walau tidak ada nash Al Quran dan Sunnah, maka itu diteruskan. Selagi adat itu lurus, maka tidak ada yang harus dilarang atau dicegah. Di zaman Rasulullah SAW ada adat yang memuliakan bulan Rajab. Masyarakat jahiliyah tidak mau perang di Bulan Rajab, bersedekah dan melakukan athiroh (menyembelih anak hewan ternak pertama) di bulan Rajab dan dagingnya dibagikan. Ketika Islam datang, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang athiroh. Beliau menjawab "laa athiroh' (tidak ada athiroh). Tapi, dalam kesempatan berbeda, Rasulullah SAW kembali ditanya tentang athiroh. Beliau menjawab "athiroh haqqun" (athiroh adalah haq). Di sini ada dua. Rasulullah menafikan dari tradisi ini yakni menyembelih untuk selain Allah, tetapi dari sisi manfaat kebaikan untuk sesama ada, yakni menyembelih hewan untuk dibagikan dagingnya kepada fakir miskin. Dengan Rajab dijadikan sebagai bulan tidak boleh berperang, Rasulullah melanjutkannya menjadikan Rajab sebagai bulan haram. Rasulullah mempersilakan kalau mau menyembelih tapi tujuannya untuk Allah. Tetapi kalau adat istiadat membawa pada kerusakan yang paling besar yakni kemusyrikan, maka kaidahnya adalah al fitnatu asyaddu minal qatli. Maksudnya apa? peperangan adalah tidak disukai karena pembunuhan dan kerusakan, tapi jika ada kondisi menghancurkan kerusakan untuk membawa kemanfaatan, maka itu bisa saja dilakukan. Tapi tentu melalui tahapan-tahapan diperbolehkannya perang, tidak asal begitu.

Kelompok Salafi selalu menilai kelompok yang berbeda sebagai Ahlul Bid'ah. Dan Salafi tidak mempertimbangkan Fiqh Dakwah. Bagaimana Antum melihat hal itu?

Kalau ada orang-orang yang begitu, maka itu hanya penisbatan saja kepada kelompok Salaf. Sama seperti banyak orang mengaku Islam, tapi melakukan tindakan bukan Islam. Itu hanya mengaku-ngaku. Ketika Salafi itu membid'ahkan atau memusyrikan maka itu dari sisi kajian Islam masuk kategori bid'ah atau musyrik. Ketika ada orang melakukan perbuatan, pelakunya bukan bid'ah tapi perbuatannya bid'ah secara lahiriah. Kita tidak ada membid'ahkan orang per orang, tapi perbuatannya. Ini menjadi tugas da'i atau ulama. Kalau memang menyimpang ya harus dikatakan menyimpang. Bid'ah dan syirik adalah perbuatan menyimpang. Da'i bertugas untuk membereskan masalah ini. Jika diam saja, dia bukan da'i dan tidak paham tentang fiqh dakwah. Apakah dia membiarkan tetap menyimpang dan rusak. Adapun tahapan itu berbeda-beda di setiap kelompok Islam. Yang paling tegar untuk membereskan masalah penyimpangan ini adalah kelompok Salafi. Mungkin ini yang menjadikan mereka diberi stigma negatif. Stigma ini kan relatif, bisa saja orang menilai negatif tapi dari sisi agama itu justru sebuah perjuangan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image