Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Menikmati Metamorfosis Jiwa, Kembali Menuju Makhluk Spiritual Sosial

Agama | Monday, 20 Mar 2023, 05:48 WIB

Dibandingkan dengan malaikat dan makhluk lainnya, manusia merupakan makhluk mulia, memiliki kelebihan, dan kesempurnaan dalam penciptaannya. “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Q. S. Al Isra : 70).

Selain itu, manusia pertama, Nabi Adam a.s. diciptakan di tempat mulia, yakni al Jannah dan langsung menerima pelajaran atau ilmu dari Allah (Q. S. Al Baqarah : 31). Karenanya, manusia pertama dan keturunannya sejatinya adalah makhluk spiritual, yakni makhluk yang mengakui keberadaan Allah sebagai Tuhan semesta alam (Q. S. Al A’raf : 172). Namun, karena pelanggaran terhadap ketentuan Allah manusia pertama terusir dari al Jannah ke muka bumi, melakoni kehidupan yang penuh kesah di alam fana.

Namun demikian, semua itu tidak terlepas dari skenario yang telah Allah tentukan atas penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Menjadi khalifah di muka bumi bermakna bahwa manusia selain menjadi makhluk spiritual, juga sekaligus berperan sebagai makhluk sosial yang dalam bahasa Al Qur’an diistilahkan dengan hablu min Allah dan hablu min Annas, makhluk yang memiliki hubungan dengan Allah dan memiliki hubungan dengan sesama manusia.

Berperan ganda bukanlah merupakan pekerjaan ringan, tidak semua manusia dapat melakukannya dengan baik. Karenanya, ada manusia yang cenderung menjadi makhluk sosial, berperan menjadi khalifah, pemakmur, pembangun di muka bumi seraya melupakan kewajibannya sebagai makhluk spiritual, melupakan keyakinan dan ibadah kepada-Nya. Ada pula manusia yang berlebihan dalam melakukan ketaatan spiritual sampai-sampai melupakan perannya dalam kehidupan di dunia.

Sikap yang terbaik adalah tawazun, seimbang dalam menjalani kehidupan, yakni berperan sebagai makhluk spiritual tanpa melupakannya sebagai sosok makhluk sosial. Taat menjalankan janji kepada Allah untuk menjadi makhluk spiritual, mentaati segala ketentuan-Nya seraya tidak melupakan bagian kehidupannya di dunia, bahkan kehidupan di muka bumi dijadikannya sebagai bekal awal menuju alam keabadian (Q. S. Al Qashash : 77).

Ketidakseimbangan hidup ditambah dengan kemajuan zaman dalam segala bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan manusia mulai kehilangan nilai-nilai spiritual-sosial kemanusiaan. Mekanisasi dalam hampir setiap lini kehidupan telah melahirkan sebagian manusia laksana robot yang tak berperasaan. Korupsi, kekerasan, dan kebejatan moral lainnya wajar terjadi karena para pelakunya bersikap seperti robot yang memiliki kehendak berbuat sesuai keinginan namun nihil dari moral, perasaan bersalah, dan nilai-nilai spiritual.

Benar, kini kita tengah berada pada bagian puncak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun hanya menyentuh sisi kognitif, belum sepenuhnya menyentuh sisi afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya menyentuh kepintaran otak, namun tidak menyepuh jiwa yang dapat melahirkan sikap saling asah, saling asih, dan saling asuh, bahkan kepintaran otak pun kini sering diwakili kecerdasan buatan (artificial intelegence).

Seperti dikatakan J.J. Rousseau, salah seorang filosof asal Perancis, sungguh sangat tidak seimbang jika seseorang hanya mengasah kepekaan kognitif seraya mengesampingkan kepekaan hati nurani. Manusia yang hanya melatih kepekaan otak, ia hanya akan menjadi orang pintar, nihil kepekaan hati nurani. Ilmunya akan menggapai angkasa tetapi hatinya diperbudak kerakusan, iri hati, kebencian, kegersangan emosi, dan penipuan. Keterampilan atau teknologi hasil penemuannya mampu menggerakkan gunung-gunung, tetapi tidak mampu mengendalikan dirinya.

Kepintaran otak yang minim dari pengasahan dan pengasuhan hati nurani dengan nilai-nilai spiritual hanya akan melahirkan sikap hidup kamuflase. Hidup yang penuh dengan kepura-puraan. Ilmu yang dimiliki bertolak belakang dengan moral mulia kehidupan.

Kebohongan, penipuan, korupsi, dan tindakan amoral lainnya, kini banyak dilakukan orang-orang yang notabene dianggap pintar dan berpendidikan tinggi. Parahnya, kini berbagai tindakan amoral seolah-olah dianggap lumrah. Perbuatan bohong lebih dihargai daripada kejujuran. Melihat kenyataan tersebut, tidaklah terlalu salah jika J.J. Rousseau berkesimpulan, “semakin banyak orang pintar, semakin sulit dicari orang jujur.”

Kepandaian otak belumlah cukup bagi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifatu Allah, pemakmur kehidupan di muka bumi. Seperti dikatakan Thomas Merton, seorang penulis masalah-masalah mysticism, untuk dapat meraih keteraturan sosial, kedamaian, dan ketentraman hidup, dunia pada saat ini lebih banyak memerlukan kehadiran seorang manusia suci, manusia yang berhati nurani daripada manusia-manusia nalar yang hanya mengandalkan kepintaran otak.

Setelah para nabi wafat, tak akan ada lagi manusia yang benar-benar suci dan terjaga dari kesalahan (maksum). Namun demikian, kita akan mendapatkan manusia-manusia yang mendekati kepada derajat kesucian. Meskipun tidak sampai mencapai derajat maksum seperti para nabi, orang-orang yang bertakwa tergolong kepada orang-orang yang meraih derajat kesucian. Kehadiran mereka dapat menjadi perekat keteraturan sosial dalam kehidupan.

Kewajiban melaksanakan ibadah puasa Ramadhan merupakan kasih sayang Allah agar dari proses pelaksanaannya terlahir manusia-manusia “suci” yang mampu “menyucikan” kehidupan yang sudah tercemar dengan beragam polusi kehidupan, terutama polusi yang mengotori nilai-nilai spiritual-sosial kemanusiaan. Ibadah puasa Ramadhan laksana proses metamorfosis jiwa, penyepuhan jiwa agar kembali memiliki kepekaan membaca firman illahi dan mendengarkan suara hati nurani agar selepas puasa jiwa kita kembali terlahir suci.

Untuk dapat terlahirnya manusia suci, kita harus benar-benar menjiwai ritual puasa secara spiritual, bukan hanya menganggapnya sebagai rutinitas ritual-seremonial belaka. Dengan kata lain, kita tidak melaksanakannya hanya sebagai ibadah tahunan, menahan lapar dan dahaga saja yang diakhiri dengan kegembiraan lebaran tanpa menjiwai makna dan mengimplementasikan nilai-nilai luhurnya dalam kehidupan.

Sudah seharusnya kita tidak menjadikan bulan suci Ramadhan sebagai kesalehan edisi terbatas, namun harus menjadikan spiritnya hadir dalam setiap desah nafas kehidupan. Jujur harus kita akui, kedermawanan, semangat ibadah, dan kesetiakawanan sosial kita semarak hadir selama bulan Ramadhan sampai menjelang Idul Fitri. Selepas itu, kehidupan kita kembali kepada semula, kesalehan dan segala nilai-nilai luhur selama Ramadhan sering sirna seiring dengan berakhirnya bulan suci.

Kita harus bertekad kuat untuk menikmati dan menjalankan ibadah puasa Ramadhan sebaik mungkin sebagai proses metamorfisis jiwa baik dari sisi spiritual maupun sosial. Kesalehan spiritual yang diwujudkan dalam beragam ibadah selama bulan Ramadhan harus mampu melahirkan kesalehan sosial. Kelak pasca Ramadhan, kehadiran orang-orang yang telah menikmati proses metamorfisis jiwa ini harus berdampak terhadap semakin baiknya tatanan kehidupan di sekitarnya.

Memang bukan suatu hal yang mudah untuk melakukannya, namun bukan pula hal yang mustahil untuk dapat mewujudkannya. Kita berkewajiban membuktikan kepada khalayak, kepribadian, jiwa, dan hati nurani orang-orang yang telah melaksanakan ibadah puasa telah berubah menjadi baik daripada sebelumnya. Kita telah kembali menjelma menjadi makhluk spiritual-sosial, makhluk yang menjadikan ketaatan kepada Khaliq berdampak secara sosial terhadap terjalinnya kehidupan yang lebih baik antar sesama makhluk Allah.

Jika kepribadian, jiwa, dan hati nurani kita tidak ada perubahan pasca ibadah puasa Ramadhan, kehidupan spiritual-sosial kita semakin jelek, jangan-jangan ibadah puasa kita hanya berhasil sampai tahap menahan lapar dan dahaga belaka, nihil makna yang berujung kepada perbuatan sia-sia. Jika kondisinya seperti itu, jiwa kita akan sederajat dengan anak-anak kecil yang melaksanakan ibadah puasanya baru sebatas menahan lapar-dahaga, dan bergembira ketika waktu buka tiba, tanpa merenungi dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur dan maknanya dalam kehidupan.

“Banyak orang yang melaksanakan shalat malam, namun mereka tak mendapatkan nilai apa-apa dari shalat malamnya selain rasa kantuk. Juga banyak orang yang berpuasa, namun mereka tak mendapatkan nilai apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga.” (H. R. Al Baihaqi, Sunanu al Kubro, Juz ke-4, hadits nomor 8.313).

Ilustrasi : Metamorfosis (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image