Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sri Maryati

Ramadan dan Masalah Produktivitas

Eduaksi | Sunday, 19 Mar 2023, 13:29 WIB
Ilustrasi Ramadan dan produktivitas

Bulan Ramadan yang penuh berkah mestinya juga dimanfaatkan untuk memperbaiki produktivitas pegawai negeri maupun swasta. Bukan saatnya lagi bulan Ramadan menjadi kesempatan untuk bermalas-malas diri dan membuang-buang waktu. Boleh dikata bahwa bulan Ramadan selama ini identik dengan hari "setengah" liburan bagi pekerja. Mereka kurang sungguh-sungguh dalam bekerja dan menjadikan puasa sebagai faktor yang membolehkan mereka bekerja santai dan seenaknya. Padahal hakekat puasa tidak seperti itu.

Bulan Ramadan sebaiknya justru digunakan untuk menggenjot produktivitas kerja. Bukan malah mengurangi waktu kerja. Apalagi pegawai di negeri ini sudah diberi sederet hari libur nasional. Banyaknya jumlah libur nasional bagi pegawai pernah digugat oleh pelaku ekononi dan industri karena berpengaruh negatif terhadap produktivitas. Sudah sering ada keberatan dari pelaku usaha yang diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terkait dengan keputusan pemerintah yang sering menambah cuti bersama.

Bulan Ramadan dan libur panjang juga berimplikasi kepada membengkaknya anggaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah, khususnya subsidi energi, terutama BBM kepada kendaraan pribadi. Dari sudut etos kerja dan situasi bangsa yang sulit sekarang ini mestinya pegawai lebih bekerja keras dengan waktu kerja yang ketat. Tanpa diberikan tambahan hari liburpun sebetulnya pegawai di Indonesia khususnya ASN kerjanya sangat santai.

Pemerintah yang sering memanjakan ASN dengan cara menambah hari libur demi untuk mendorong perekonomian di daerah dan sebagai stimulus sektor pariwisata merupakan hal klise. Pada kenyataannya, yang terjadi jutru fenomena bermalas-malasan dan buang-buang waktu dengan aktivitas yang kurang produktif. Seharusnya pemerintah mengoptimalkan beban kerja ASN serta memperpanjang jam kerja. Jam kerja ASN yang cuma 37,5 jam per minggu adalah paling rendah di Asia Tenggara. Apalagi, dengan pengawasan yang longgar jelas tidak mungkin bisa menyelenggarakan roda pemerintahan secara efektif. Idealnya jam kerja PNS di Indonesia minimal 45 jam per minggu dengan deskripsi beban kerja yang lebih jelas dan terukur.

Bangsa Indonesia sering tidak sadar jika ada bermacam bahaya yang mengintip dibalik libur panjang bagi birokrasi. Selain memukul etos kerja, libur panjang dengan tameng cuti bersama merupakan kondisi kelengahan nasional yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan pencurian sumber daya alam dan aktivitas penyelundupan. Bahkan, bisa menjadi momen yang empuk untuk merongrong kedaulatan negara.

Libur panjang telah menguras sumber daya keluarga. Yang tersisa hanyalah antrian panjang di loket pegadaian. Juga banyak keluarga yang harus mencari hutang atau menjual harta benda guna menyambung harinya. Efek liburan panjang juga menjadi cermin etos kerja bangsa. Dalam kamus etos kerja diartikan sebagai doktrin kerja yang diyakini oleh warga bangsa sebagai wujud nyata dalam perilaku kerja keras mereka. Dari aspek ideologi bangsa, etos kerja itu harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti itu sulit terwujudnya kemakmuran.

Dalam ranah psikososial, alam kehidupan para birokrat di negeri ini ada dua prilaku yang kontras, yakni mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Banyak pihak yang setuju bahwa birokrat di Indonesia kebanyakan kurang bisa mencintai pekerjaanya setulus hati alias memiliki integritas yang rendah. Tidak sedikit yang sehari-harinya terkena sindrom "5-ng" yakni ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel. Masih relevan teori dari M.A.W Brouwer penulis buku “Indonesia Negara Pegawai”. Yang intinya menyatakan bahwa sebagian besar birokrat pemalas, tidak inovatif, gila hormat, konsumtif, sering melakukan pungli, dan suka korupsi. Teori Brouwer diperkuat oleh Fernando De Soto seperti dalam bukunya “The Mystery of The Capital” yang secara lugas menyingkap mental birokrasi dunia ketiga yang pemalas, pemeras, dan suka korupsi. Hal itu menjadi kendala utama pembangunan di dunia ketiga. Semoga transformasi dan reformasi birokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia berhasil dan bisa menepis teori pakar diatas. Postur birokrasi semakin produktif dan memiliki etos kerja yang tinggi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image