Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Tujuan Pendidikan Islam

Eduaksi | Monday, 20 Dec 2021, 06:29 WIB

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, (Pendiri dan Pengasuh Ekselensia Tahfizh School)

Tujuan pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari tujuan penciptaan manusia. Karena, melalui pendidikanlah diharapkan tujuan penciptaan manusia bisa direalisasikan dengan baik. Tujuan penciptaan manusia ke dunia ada dua, yaitu mengabdi atau beribadah kepada Allah (QS. 51: 56) dan mengemban amanah khalifah (kepemimpinan) untuk memakmurkan bumi (QS. 2: 30).

Dua tujuan di atas mesti dicapai melalui pendidikan. Karena itulah, pendidikan Islam bertujuan melahirkan generasi saleh (baik) dan muslih (memperbaiki). Setiap muslim mesti menjadi hamba yang saleh. Ia sadar dengan statusnya sebagai hamba yang wajib mengabdi dan beribadah kepada Allah dengan baik.

Kemudian, setelah menjadi hamba yang saleh, setiap muslim juga harus menjadi muslih. Dengan bekal kesalehannya itu, setiap muslim harus mengambil peran dan kontribusi terbaik untuk memakmurkan bumi sesuai bidangnya masing-masing.

Oleh karena itu, proses pendidikan semestinya diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Itulah mengapa Imam Al-Ghazali membagi ilmu, ditinjau dari keharusan dan urutan mempelajarinya, menjadi dua; yakni, ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah.

Ilmu fardhu ‘ain berarti ilmu-ilmu yang harus dipelajari oleh setiap muslim sekurang-kurangnya pada batas kriteria minimal. Apapun nanti pilihan kompetensi dan profesinya, setiap muslim wajib mempelajari ilmu fardhu ‘ain, seperti Al-Qur’an, akidah, akhlak, dan fiqh. Tujuannya agar mampu menjalankan tugas kehambaan dengan baik. Output-nya menjadi pribadi muslim yang saleh.

Ilmu fardhu ‘ain juga menjadi prioritas dalam urutan mempelajarinya. Karena, ada fase penting yang pasti akan dilalui setiap anak, yaitu fase aqil balig. Ketika anak telah aqil balig, maka sejatinya dia bukan anak kecil lagi. Dia sudah dewasa. Karenanya, terkena taklif (pembebanan) menjalankan ajaran Islam seutuhnya.

Semua perkataan dan perbuatannya sudah menimbulkan konsekuensi hukum. Pahala atau dosa, surga atau neraka, pun ridha atau murka Allah. Karena itu, tujuan pertama pendidikan Islam (melahirkan pribadi muslim yang saleh) mesti dicapai menjelang fase aqil balig. Artinya, ilmu fardhu ‘ain pada batas kriteria minimal mestinya dipelajari anak sebelum aqil balig.

Sungguh miris ketika kita mendapati fakta di lapangan banyak pelajar muslim lulusan SMA yang masih terbata-bata dan bahkan belum bisa membaca Al-Qur’an. Pengamalan thaharah (bersuci) dan shalatnya juga masih berantakan. Namun, ironinya secara pendidikan mereka dinyatakan lulus dari jenjang SMA.

Pada jenjang pendidikan tinggi bisa jadi datanya tidak jauh berbeda sekaligus semakin membuat miris. Masih banyak lulusan perguruan tinggi yang beragama Islam belum lancar membaca Al-Qur’an dan belum bagus ibadahnya. Dengan kata lain, tujuan pertama pendidikan Islam belum tercapai.

Fakta di atas mesti menjadi refleksi kita bersama, terutama pemangku kepentingan pendidikan. Sudah saatnya kita membenahi kurikulum pendidikan dengan mengacu pada tujuan pendidikan Islam agar pendidikan tidak kehilangan arah dan pegangan.

Selanjutnya, tujuan kedua pendidikan Islam adalah melahirkan generasi muslih. Karena, saleh saja tidak cukup, melainkan mesti muslih. Islam tidak menghendaki umatnya hanya baik untuk dirinya sendiri, namun abai terhadap lingkungan dan masyarakat. Islam, melalui pendidikan, ingin melahirkan generasi saleh dan muslih.

Setelah baik untuk dirinya, ia juga harus baik untuk oranglain, lingkungan, dan masyarakat. Inilah generasi muslih. Mereka mengambil peran-peran kepemimpinan dalam masyarakat untuk memperbaiki situasi dan memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan.

Karenanya, dalam konteks pendidikan Islam, setelah mempelajari ilmu fardhu ‘ain, setiap muslim mesti mempelajari ilmu fardhu kifayah sebagai pilihan kompetensi keilmuan dan kepakaran. Jika ilmu fardhu ‘ain wajib untuk semua muslim, ilmu fardhu kifayah boleh dipilih sesuai bidang keilmuannya.

Menjadi ulama, dokter, dosen, guru, pengusaha, diplomat, politisi, ekonom, teknokrat, ahli pertanian, dan seterusnya merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Artinya, mesti ada sebagian muslim yang menekuni bidang-bidang tersebut karena dibutuhkan dalam menjalani kehidupan.

Dengan menekuni pilihan bidang keilmuan sampai menjadi ahli atau pakar, seorang muslim akan mampu mengambil peran kepemimpinan dalam ruang publik dan memberikan kontribusi terbaik bagi dakwah Islam dan kemaslahatan umat.

Pada akhirnya, pendidikan Islam diharapkan mampu melahirkan insan kamil (manusia paripurna). Seorang hamba saleh yang taat beribadah kepada Allah dan muslih yang memberikan kontribusi besar bagi kemaslahatan umat sesuai bidang kompetensinya masing-masing.

Paradigma mendasar di atas, mesti menjadi pemikiran reflektif dan evaluatif bagi setiap lembaga pendidikan Islam. Apakah disain kurikulum yang disusun sudah mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan Islam?

Apakah komposisi mata pelajaran yang diajarkan sudah mencerminkan proporsi yang tepat antara ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah? Juga apakah dari sisi urutan mempelajarinya sudah sesuai? Mari kita berbenah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image