Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amalina Rakhmani

Mengapa Persiapan Menuju Ramadhan Sangat Penting?

Agama | 2023-03-14 04:46:00
Ramadhan (Foto: Pixabay)
Ramadhan (Foto: Pixabay)

Ramadhan tinggal menghitung hari, persiapan seharusnya sudah jauh lebih matang. Momentum besar yang menjadi kesempatan bagi kita untuk membuka lembaran baru.

Oleh karena itu, persiapannya tidak bisa sembarangan. Ibarat sebuah ajang akbar yang meraup banyak keuntungan perlu persiapan yang lama, timeline yang rinci, susunan konsep yang logis hingga upaya realisasi target yang telah diperhitungkan.

Itulah mengapa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyambut Ramadhan sejak enam bulan sebelum kedatangannya. Mereka berdoa memohon diberinya kesempatan besar meraup keberkahan bulan Ramadhan.

Sebulan sebelum Ramadhan, yaitu di bulan Sya'ban para sahabat menyibukkan diri dengan membaca dan mempelajari Al-Qur'an lebih sering dari biasanya, sampai-sampai bulan Sya'ban disebut sebagai bulan Al-Qur'an.

Demikian pula Rasulullah, beliau memperbanyak puasa di bulan Sya'ban, sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anhu:

“Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah mengetahui beliau lebih banyak berpuasa daripada di bulan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim)

Keberhasilan kita meraih keutamaan Ramadan juga ditentukan dari keberhasilan kita menyiapkannya.

Kejadian atau peristiwa besar dalam agama telah mengajarkan kita tentang pentingnya sebuah persiapan.

Kematian misalnya, tentu menjadi hal besar yang tidak bisa kita abaikan, karena waktunyapun kita tidak mengetahuinya. Maka persiapan setiap detiknya menjadi sangat penting.

Maryam, ibu Nabi Isa as, merasakan kekhawatiran yang sangat dalam atas kelahiran anaknya tanpa seorang suami.

Sampai-sampai ia berharap kepada Allah agar ia tiada daripada harus berhadapan dengan caci maki masyarakat atas dirinya. Ditambah ia harus menghadapi seorang diri.

“Dia (Maryam) berkata, “Oh, seandainya aku mati sebelum ini dan menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan (selama-lamanya).” (Q.S Maryam: 23)

Tentu Allah tidak membiarkan Maryam menghadapi kecaman masyarakat tanpa persiapan.

Allah menenangkannya dengan menunjukkan bahwa bayi Isa dapat berbicara dan akan membela dirinya nanti dihadapan masyarakat.

Inil adalah cara Allah mempersiapkan mental Maryam. Jika persiapan ini tidak ada, tentu Maryam akan turut terkejut bersama orang-orang yang menghinanya saat mendengar bayi Isa dapat berbicara, bahkan kemungkinan terburuk bisa terjadi.

Begitupun sebelum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menerima wahyu, Allah mempersiapkannya sejak lahir dan tumbuh tanpa orangtua, agar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendapat pendidikan langsung dari Allah tanpa pengaruh kedua orangtunya.

Nabi juga tinggal di kampung Bani Sa'ad yang bergantung pada peternakan dan pertanian yang murni. Dari sisi sosial, bahasa percakapan yang digunakan di perkampungan Bani Sa'ad juga masih asli tanpa pengaruh luar.

Pendidikan Rasul berlanjut kepada kakek dan pamannya yang mengajarkannya keterampilan bertahan hidup.

Demikian pula saat beberapa bulan menjelang turunnya wahyu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diperlihatkan sesuatu yang tidak biasa, seperti mimpi yang menjadi nyata dan bebatuan yang memberi salam kepadanya sebagai isyarat kenabian.

Semua persiapan ini dirancang oleh Allah agar Nabi siap mengemban amanah risalah kepada seluruh umat manusia.

Oleh karenanya, Ramadhan sebagai momentum besar dengan beragam keutamaan tidak luput dari persiapkan yang matang serta tidak bisa diabaikan.

Salah satu target besar yang kita harapkan dari puasa Ramadhan adalah kesempatan terampuninya dosa-dosa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim [760] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Maka sangatlah rugi jika persiapan menghadapi puasa Ramadhan ini tidak dipertimbangkan, apalagi di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan yaitu malam lailatul qadr.

Siapapun yang menghidupkan malam-malam di bulan terbaik ini maka terampuni dosanya yang telah lalu. Bahkan bagi mereka yang tidak bisa berpuasa sekalipun.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam (bangun malam) Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).

Manusia cenderung mengharapkan ketenangan dari pengampunan atas kesalahan yang diperbuatnya, itulah mengapa bulan Ramadhan disebut sebagai bulan ampunan.

Dalam sebuah riwayat dari Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam naik ke mimbar.

Ketika beliau naik ke anak tangga pertama, kedua, dan ketiga beliau mengucapkan, “Amiin”.

Lalu para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, kami semua mendengar engkau berkata: Amiin, amiin, amiin.

Beliau menjawab, ”Ketika aku menaiki tangga pertama, Jibril datang kepadaku dan berkata: Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadan namun dosanya tidak diampuni.

Maka Aku pun berkata: Amiin.

Kemudian Dia (Jibril) berkata: Celakalah seorang hamba, jika mendapati kedua atau salah satu orang tuanya masih hidup, namun keberadaan kedua orang tuanya tidak membuatnya masuk ke dalam surga.

Aku pun berkata: Amiin.

Kemudian Dia (Jibril) berkata: Celakalah seorang hamba, jika namamu disebutkan dihadapannya tapi dia tidak bershalawat untukmu.

Maka Aku pun berkata: Amiin."

Selain kesempatan terampuninya dosa-dosa, Ramadhan sebagai batu loncatan bagi kita untuk meningkatkan kualitas diri dengan istiqamah beribadah kepada Allah selama sebulan penuh.

Seorang yang berhasil memaksimalkan momentum Ramadhan ini dapat membentuk kebiasaan yang lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya.

Menurut Maxwell Maltz, seorang dokter bedah yang menulis buku “Psycho-Cybernetics” pada tahun 1960, mengungkapkan bahwa pembentukan kebiasaan membutuhkan setidaknya 21 hari.

Tentu angka tersebut bukanlah angka emas. Namun kita bisa pahami dari penelitian ini tentang aktivitas yang dilakukan dalam jangka waktu cukup lama atau hampir sebulan, memiliki kemungkinan untuk dilakukan secara otomatis atau menjadi kebiasaan.

Maka sudah seberapa siap kita menghadapi Ramadhan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image