Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Titin Kustini

Menakar Kualitas Diri: Muhasabah Pasca-Ramadhan

Agama | 2025-04-13 04:33:19

Allah menciptakan Ramadhan dengan segala keutamaannya, sesungguhnya jika dipahami esensinya adalah bukti kasih sayangnya Allah terhadap manusia. Bagaimana tidak sayang? Di dalamnya Allah sediakan ampunan seluas langit dan bumi. Ada porsi yang Allah siapkan berupa penghapusan dosa yang sudah dilakukan dan garansi kebaikan seumur hidup lewat keutamaan malam seribu bulan. Jika seseorang termasuk yang beruntung mendapat kemuliaan lailatul qadar sekali saja, simpelnya, dia sudah mendapat ampunan seumur hidup karena umur manusia jaman sekarang kan bahkan jika pun diberi umur panjang sampai usia 80 tahun pun, masih tertutupi oleh kebaikan 1 kali lailatul qadar tersebut. Apakgi jika 2 kali 3 kali 4 kali dst mendapat kemuliaan lailatul qadar. Niscaya ia orang yang sangat beruntung.

Ramadhan adalah tempaan, bukan sekedar “menuntut” menu berbuka yang macam-macam, yang seringkali termasuk kategori berlebihan. Dipungkasnya Ramadhan oleh Idul Firi, adalah bukti “perayaan” (diharapkan) kita sudah lahir menjadi manusia baru yang kualitas ibadahnya meningkat, mampu menahan nafsu dengan labih baik, dan berkomitmen untuk menghindari perbuatan dosa di masa yang akan datang. Jika tidak begitu, maka Ramadhannya patut dipertanyakan. Ngapain aja selama Ramadhan? Apakah hanya tidur saja sambil main hp menunggu waktu berbuka? Manajemen waktunya, apakah sudah memberi manfaat maksimal atau sia-sia terbuang percuma tanpa melakukan sesuatu yang berarti, yang bernilai ibadah?

Pasca Ramadhan adalah saat yang tepat untuk muhasabah, introspeksi, menakar kualitas diri. Ada di level mana kita? Karena waktu terus berjalan. Usia kita terus bertambah. It’s mean, jatah hidup kita terus berkurang.

1. Level rendah

Jika masih menuntut menu berbuka yang macam-macam, masih saja merasa kurang dengan apa yang tersaji di meja makan, dan abai terhadap kualitas ibadah selama Ramadhan, maka jangan-jangan kita masih di level ini.

Jika pasca Idul Fitri kita masih bisa meledak-ledak, marah karena hal sepele dan tidak prinsipil, maka jangan-mjangan level kita masih di sini.

Jika kita msih lebih banyak mengalokasikan waktu kita hanya untuk tidur (tidak produktif), main hp (nonton konten yang kurang bermanfaat, yang sifatnya hanya kesenangan semata), dan gaya hidup bermalas-malasan (misal tidur pasca subuh, siang tidur berlebihan, malam begadang tanpa faedah) maka jangan-jangan kita belum beranjak dari level ini.

2. Level sedang

Level ini bisa dimaknai sebagai sebuah progress. Perubahan mungkin saja terjadi pelan-pelan pada kebanyakan orang. No problem. Yang penting ada progress.

Jika dari sebulan kita sudah mampu “menghadirkan” tahajud beberapa malam, bisa jadi kita sedang di level ini.

Jika kita sudah agak mampu mengerem kata-kata ketika sedang marah, bisa jadi kita sedang di sini.

Jika gaya hidup kita sudah sedikit lebih sehat, maka bisa jadi kita di level progress ini. Di level ini yang dibutuhkan adalah konsistensi dan komitemen. Jangan sampai melemah dan kembali ke titik nol.

3. Level premium

Ini level yang ideal, yang diharapkan lahir oleh tempaan Ramadhan. Mind set kita sudah berubah. Kita mampu menemukan apa purpose kita dalam hidup ini. Sehingga hal itu akan mampu menuntun kita ke arah kualitas yang lebih baik. Kita sudah “rindu dan praktek” mengisi tiap malam dengan ibadah tambahan, tahajud misalnya. Atau, kita sudah mengurangi waktu untuk hal yang sia-sia dan mengalihkan alokasi waktu untuk setidaknya mencoba lebih produktif daripada duduk-duduk dan tiduran hanya untuk meliaht konten yang tidak menambah keimanan kita.

Jika kita sudah bisa melanggengkan kebiasaan baik selama Ramadhan, shalat selalu berjamaah, ngajinya tidak terputus, selalu berbagi, ibadah sunah bertambah, mampu me-manage emosi dengan baik, tidak marah dan mengumbar kata-kata menyakitkan, lebih sabar dan tenang mengadapi keadaan, maka berbahagialah, mudah-mudahan memang levelnya sudah di premium.

By the way, implikasi ramadahan pada setiap orang tentu berbeda. Tidak bisa digeneralisir. Ilustrasi di atas, hanya diasumsikan bagi yang: tidak pernah – sudah mulai suka melakukan – melakukan dengan konsisten. Simpelnya, bisa juga diilustrasikan sebagai berikut: pemarah – agak pemarah – sabar.

Namun tentu saja bagi saudara-saudara kita yang keimanannya sudah tinggi (yang sudah seharusnya kita teladani dan tiru) penggambarannya bisa: soleh – tambah soleh – soleh maksimal.

Inti dari tulisan ini adalah introspeksi dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Bukankah muhasabah adalah cara terbaik untuk merenungkan firman Allah ini?

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

Semoga kita termasuk orang yang beruntung mampu menaikkan level kualitas diri pasca Ramadhan agar kita tidak termasuk orang yang merugi di akhirat nanti. Wallahu alam bishawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image