Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lintar Satria Zulfikar

Stranger Things dan Ke-kutubuku-an

Lomba | Sunday, 19 Dec 2021, 20:01 WIB

Tracey Mollet dalam artikelnya Demogorgons, Death Stars and Diference: Masculinity and Geek Culture in Stranger Things mempersoalkan definisi nerd dan geek yang kerap diasosiasikan dengan laki-laki heteroseksual kulit putih yang memiliki obsesi pada fiksi-ilmiah. Menurut Mollet asosiasi itu bermasalah karena menyingkirkan perempuan, LGBTQ dan masyarakat berwarna dari orang-orang yang dapat didefinisikan sebagai nerd dan geek.

Yaitu orang yang memiliki pengetahuan luas pada sains dan teknologi dan terobsesi pada hal-hal yang diasosiasikan dengan kata tersebut seperti komik, fiksi-ilmiah, video gim atau anime. Permasalahan ini terbukti dalam skandal Gamergate tahun 2014 yang membongkar misoginisme komunitas pemain video gim yang sebagian besar berisi orang-orang yang masuk stereotip nerd dan geek.

“Budaya media geek kontemporer telah menunjukkan bagaimana fiksi ilmiah dan fandom fantasi yang dirayakan secara nostalgia di Stranger Things berfungsi untuk melestarikan maskulinitas dimana kritik perempuan dan feminis dipaksa diabaikan,” tulis Mollet.

Musim pertama Stranger Things dirilis dua tahun sebelum Donald Trump ―yang terang-terangan bangga pernah melecehkan perempuan― berkuasa. Sementara musim kedua dan ketiga keluar selama masa pemerintahan Trump dan ketika gerakan #MeToo serta anti-brutalitas polisi pada masyarakat kulit hitam meledak dan Trump melarang warga dari tujuh negara mayoritas muslim masuk AS.

Lokasi cerita Stranger Things di kota rekaan Hawkins, Indiana pada awal tahun 1980-an, masa pemerintah Ronald Reagan. Ketika masyarakat Amerika hidup dalam ketidakpastian persis seperti yang terjadi ketika serial ini dirilis.

Selama pemerintahan Reagan, Amerika Serikat dihantui Perang Dingin melawan komunis Uni Soviet yang akhirnya mendorong neoliberalisme dan konservatisme. Sementara Trump berkuasa ketika gelombang supremasi kulit putih menguat di beberapa bagian wilayah AS. Ia didukung orang kelompok masyarakat anti-imigran yang ingin mempertahankan dominasi kulit putih di Amerika.

Menurut Mollet, Stranger Things melawan toxic masculinity atau maskulinitas beracun pemerintah Reagan. Sebab protagonist serial ini bukan jagoan-jagoan berotot khas pahlawan film-film aksi Amerika tahun 1980-an tapi sekelompok remaja yang dapat diketegorikan nerd dan geek.

Saya menerjemahkan nerd dan geek dengan kutu buku. Apakah kutu buku sepadan dengan nerd dan geek? Saya kira tidak. Tapi kutu buku satu-satunya istilah yang dapat saya temukan sebagai pandanan definisi nerd dan geek dari Mollet.

“Sementara ‘geek’ dan ‘nerd’ dapat digunakan secara bergantian, ‘geek’ biasanya dicirikan dengan ‘kepintaran, obsesif, dan jenis kelamin laki-laki,’ sedangkan ‘nerd’ adalah orang buangan yang sering dirundung tapi ingin populer dan yang seperti geek, diasosiasikan dengan pengetahuan luas pada suatu bidang tertentu,” tulis Mollet mendefiniskan nerd dan geek.

Dalam artikelnya Mollet mengatakan Stranger Things mengubah arti pahlawan pada tahun 1980-an karena menjadikan sekelompok remaja kutu buku sebagai protagonis yang hendak mengalahkan kejahatan. Pada dekade itu pahlawan biasanya berperawakan gagah, kuat, terampil menggunakan senjata dan berotot seperti Rambo, Indiana Jones, atau Terminator.

Tidak seperti pahlawan-pahlawan film era 1980-an di mana para protagonis yang kuat akhirnya berhasil mengalahkan musuh dan menyelamatkan orang-orang tidak bersalah. Protagonis di Stranger Things tidak berhasil mengalahkan siapa-siapa.

Di musim pertama kelompok remaja kutu buku yang menjadi protagonis dalam serial itu memang ‘ingin’ dan ‘hendak’ menemukan rekan mereka yang hilang dan mengalahkan tokoh antagonis yakni pemimpin Laboratorium Hakwins dan mahluk dari dimensi lain yang disebut demorgogons. Tapi pada akhirnya mereka tidak mengalahkan keduanya.

Protagonis utama dalam serial ini, seorang anak perempuan yang memiliki kemampuan telekinetik menutup pintu gerbang dimensi demogorgons. Jadi yang mengalahkan musuh adalah Eleven sementara antagonis yang menyekap Eleven di Laboratoium Hawkins mati dibunuh demogorgons. Sehingga tidak ada yang benar-benar menjadi pahlawan― dalam artian tradisional ―di serial ini.

Stranger Things memang merombak arti pahlawan di media massa Amerika pada tahun 1980-an tapi tetap gagal mendorong inklusivitas. Dua tokoh utama perempuan yakin Eleven atau Jane atau El dan Max bukan bagian dari the Party, sekelompok kutu buku pecinta permainan Dungeons & Dragons yang terdiri dari Mike, Will, Lucas, dan Dustin.

Ke-kutu-buku-an hipermaskulin ini juga dibahas oleh Eric Holmes dan Jeremy Christensen di artikel mereka Barb Dead, People Mad dalam buku Stranger Things and Philosophy Thus Spake the Demogorgon. Holmes dan Christensen membahas bagaimana Barbara Holland atau Barb sahabat Nancy Wheeler tewas dibunuh Demogorgon setelah muncul di tiga episode pertama.

Nancy merupakan kakak Mike Wheeler pemimpin the Party. Bersama Jonathan Meyers yang mencari adiknya Will di musim pertama hingga ketiga Nancy salah satu tokoh protagonis di Stranger Things.

Dalam artikelnya Holmes dan Christensen mendiskusikan bagaimana kematian Barb memicu tagar #JusticeForBarb di media sosial Twitter, tidak lama setelah Stranger Things ditayangkan di Netflix. Barb yang tidak populer, kutubuku, dan tidak menarik tapi teman yang loyal, perhatian dan putri yang penurut menjadi korban pertama mahluk dimensi lain.

Holmes dan Christensen mengatakan publik merasa Barb diperlakukan tidak adil. Tidak ada yang peduli pada kematiannya. Padahal ia mencerminkan begitu banyak perempuan di dunia nyata atau setidaknya di Amerika. Tidak ada yang mencarinya selain Nancy sahabatnya yang merasa bersalah dan yakin ada yang tidak beres.

Sementara banyak mencari Will Byres ke mana-mana, tidak hanya ibu, kakak laki-laki dan tiga sahabatnya yang gigih. Tapi polisi dan seluruh warga Kota Hawkins juga sukarela menyumbangkan waktu dan tenaga mereka untuk mencari Will.

Polisi setempat yakin Barb kabur dari rumah dan tidak ingin ditemukan. Nancy dan orang tua Barb yakin bukan itu yang terjadi. Di akhir musim tayang pertama Nancy tahu Barb tewas di dimensi lain, dimensi Demorgorgon.

Dalam menggambarkan fenomena #JusticeForBarb, Holmes dan Christensen menggunakan teori Simulakra dan Hiperrealitas dari filsuf Prancis Jean Baudrillard. Menurut mereka apa yang terjadi dengan Barb di media sosial sesuai dengan definisi hiperrealitas dari Baudrillard yakni masyarakat tidak lagi bisa membedakan antara yang nyata dengan yang fiksi.

Holmes dan Christensen meminjam penjelaskan Baudrillard tentang bagaimana cerita diproduksi. Menurut filsuf Prancis itu apa pun yang diproduksi masyarakat termasuk cerita, terangkum dalam tiga periode. Periode pertama cerita disebarkan dari mulut ke mulut atau dari satu buku ke buku yang lain. Di periode ini setiap cerita unik karena setiap orang menambahkan atau mengurangi bagian-bagian tertentu dalam cerita.

Periode kedua terjadi ketika mesin cetak tercipta, isi buku konsisten jadi tidak ada yang menambahkan atau mengurangi kontennya. Periode ketiga yang terjadi saat ini yakin periode elektronik.

“Dalam kasus media elektronik seperti Stranger Things, salinan dan pengalaman dapat direproduksi secara tak terbatas dan teorinya, itu tersedia untuk dikonsumsi tujuh miliar orang dalam jumlah tak terbatas. Inilah yang disebut Baudrillard sebagai ‘precession of simulacra’ yang tiada akhir (Simulacra and Simulation, hal. 1).”

Baudrillard menekankan periode hiperrealitas dan pos-moderen ditandai dengan inovasi yang dapat mereproduksi sebuah karya sedemikian rupa sehingga dapat dipisahkan dari senimannya. Dalam cara tertentu penikmatnya terlibat dan menyurutkan karya itu dari artifak dan menghilangkan maknanya.

Bagi Holmes dan Christensen itu yang terjadi dalam #JusticeForBarb. Penontonnya meringkus serial tersebut menjadi bagian sehari-hari mereka. Publik merasa tokoh yang mencerminkan diri mereka di dunia nyata diperlakukan tidak adil. Masyarakat apa yang dilakukan penduduk Hawkins pada Barb adalah perlakuan yang diterima kebanyakan perempuan di dunia nyata.

Dengan #JusticeForBarb menduga kreator Stranger Things memperlakukan Barb sebagai kutubuku yang tak berarti sementara Will kutubuku yang berarti. Hanya karena Barb perempuan. Kreator Stranger Things yakni Duffin bersaudara pun mengatakan keputusan mengakhiri musim kedua dengan pengakuan pemerintah atas kematian Barb didorong tagar tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image