Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Cerewet di Dunia Maya, Bisu di dunia Baca, dan Buta Huruf Abad Ke-21

Pendidikan dan Literasi | Tuesday, 20 Dec 2022, 06:57 WIB

Sekitar tahun 2018, Semiocast sebuah lembaga independen pernah melakukan survey penggunaan media sosial di beberapa negara yang penduduknya banyak menggunakan smartphone. Negara kita termasuk salah satu negara yang disurvey lembaga tersebut. Sampai Januari 2022, jumlah pengguna internet yang berarti pengguna media sosial di negara kita mencapai 205 juta orang. Dengan demikian, 73,7% dari jumlah penduduk negara kita telah menggunakan internet dan media sosial. Kini menjelang akhir tahun 2022, tentu saja jumlahnya semakin meningkat (https://dataindonesia.id, akses tanggal 20/12/2022, jam 06:12 WIB).

Data lain menyebutkan, negara kita termasuk negara yang penduduknya sebagai pengguna aktif smartphone keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Penggunaan smartphone di negara kita berbanding lurus dengan penggunaan media sosial. Sampai Januari 2022, 191,4 juta dari pengguna internet di negara kita menggunakannya untuk mengakses media sosial.

Berdasarkan catatan wearesosial sebuah lembaga yang banyak mengamati perkembangan kehidupan sosial mengungkap rata-rata orang Indonesia menatap layar gadget 9 jam per hari. Kemudian dari sisi kecerewetannya di dunia media sosial, orang Indonesia menempati urutan ke-5 di dunia melebihi kecerewetan melebihi penduduk Tokyo dan Newyork (https://www.kominfo.go.id, akses tanggal 20/12/2022, jam 05:54 WIB).

Bernilai positif atau negatif dari kenyataan tersebut sudah pasti ada. Hanya saja alangkah lebih baiknya jika aktivitas di media sosial tersebut diimbangi dengan kesenangan membaca buku atau informasi yang bermanfaat agar kita dapat menggunakan media sosial secara bijak dan bernas.

Harus kita akui, aktivitas “cerewet” kebanyakan orang di media sosial berbanding terbalik dengan aktivitas membaca. Satu kenyataan yang tak terbantahkan, akumulasi aktivitas membaca kita dalam sehari pasti lebih rendah daripada penggunaan gadget. Membaca kitab suci yang merupakan kewajiban dalam ajaran agama apapun pasti lebih rendah intensitasnya daripada menggunakan gadget dan membaca buku, koran, atau majalah.

Dalam dunia membaca, dari sisi infrastruktur pendukung kegiatan membaca, dalam hal ini perpustakaan, negara kita berada pada urutan ke-2 dengan jumlah perpustakaan terbanyak di dunia yakni 164.610 unit. Peringkat ke-1 dipegang India dengan jumlah perpustakaan 323.605 unit. Namun demikian, infrastruktur pendukung kegiatan membaca tersebut belum seimbang dengan minat membaca yang dimiliki bangsa kita.

Bangsa kita belum menjadi bangsa yang “cerewet” dalam aktivitas membaca. Gelar “kutu buku” dan kata-kata bijak lainnya tentang buku dan membaca hanya tertulis rapi di buku kumpulan kata-kata bijak. Bangsa kita kini lebih “cerewet” di dunia maya. Dalam dunia membaca, kita berada pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvey UNESCO. Minat baca negara kita sudah bertahun-tahun berada pada poin 0,001 persen. Artinya dari 1000 orang penduduk Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca.

Sudah lama kita sering mendengar jargon “membaca buku adalah jendela dunia”, namun keberadaan membaca pada saat ini sudah tergantikan dengan kegiatan membaca postingan media sosial. Tentu saja tidak terlalu salah, namun pada umumnya ketika orang membaca postingan media sosial lebih banyak mencari tontonan atau hiburan, daripada membaca untuk mencari tuntunan.

Dari sudut pandang keterampilan dan pengetahuan yang harus dimiliki, kegiatan membaca ditambah menulis dan berhitung merupakan keterampilan dasar yang selayaknya dimiliki setiap orang. Betapa tidak, semua aktivitas kehidupan yang kita jalani, baik aktivitas sosial, ekonomi, politik, budaya maupun agama tak bisa lepas dari membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw pun adalah perintah membaca (Q. S. al ‘Alaq : 1-5).

Dengan membaca, kita akan memperoleh pengetahuan, wawasan, dan pergaulan yang luas. Al Qur’an yang suci, dapat kita jadikan pedoman hidup jika diawali dengan membacanya. Mustahil kita akan memahami isinya, kemudian dijadikan pedoman hidup jika kita tidak mengawalinya dengan membaca. Sementara menulis merupakan aktivitas yang sangat erat kaitannya dengan membaca. Aktivitas menulis dan membaca bagaikan dua sisi mata uang. Kita bisa membaca karena ada suatu tulisan, dan kita bisa menuliskan sesuatu di buku, komputer, handphone, dan lain sebagainya setelah kita melakukan aktivitas membaca.

Kewajiban mencari ilmu yang telah Allah dan Rasul-Nya wajibkan kepada kita tak lepas dari kegiatan menulis dan membaca. Oleh karena itu, kegiatan membaca dan menulis dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan ketaatan kita kepada Allah.

Al Qur’an dan hadits tak mungkin sampai ke tangan kita dan sampai hari ini kita masih bisa membacanya, jika tidak ada orang yang menulis keduanya baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para ulama. Demikian pula, kita tidak akan bisa mempelajari dan memahami ajaran Islam jika tidak ada para ulama, cendekiawan muslim yang menuliskan tentang ajaran-ajaran Islam.

Jika kita meneliti aktivitas dakwah para ulama salaf (terdahulu), menulis merupakan aktivitas dakwah utama mereka. Kitab-kitab sumber ajaran Islam yang dipelajari di pondok pesantren, di madrasah, sampai di perguruan tinggi Islam tak akan bisa terlepas dari penggunaan kitab-kitab karya tulis para ulama terdahulu.

Dalam khazanah tafsir al Qur’an, kita mengenal kitab-kitab tafsir yang ditulis para ulama pakar al Qur’an, misalnya Tafsir Jalalain (dua Jalal). Tafsir ini ditulis dua orang ulama besar yang namanya sama-sama berawalan Jalal, yakni Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As Suyuthi. Demikian pula dengan kitab tafsir al Qur’an karya para ulama lainnya. Kita mengenal Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Abbas, Tafsir Dur al Mantsur, Tafsir al Baghawy, Tafsir al Qurthubi, Tafsir ath Thabary, dan lain-lain merupakan aktivitas dakwah para ulama yang dituangkan via karya tulis.

Dalam khazanah hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al Qur’an, kita tak bisa lepas dari mempelajari kitab-kitab hadits karya tulis para ulama. Terdapat beberapa kitab hadits yang paling terkenal misalnya Shahih Bukhari karya Imam Bukhari, Shahih Muslim karya Imam Muslim, al Muwathta karya Imam Malik, dan lain sebagainya. Singkatnya, para ulama telah melakukan dakwah abadi melalui karya tulis, mewariskan keilmuan yang dapat kita baca sampai hari ini.

Sementara berhitung merupakan kegiatan pelengkap setelah kita bisa membaca dan menulis. Disebut sebagai kegiatan pelengkap, sebab tidak semua orang yang sudah bisa membaca dan menulis memiliki kemampuan berhitung, atau setidaknya tidak semua orang senang melakukan kegiatan berhitung, terutama kegiatan berhitung yang melibatkan bidang keilmuan tertentu, misalnya ilmu waris dan ilmu falak (astronomi).

Untuk memahami ilmu waris diperlukan keterampilan matematika dasar berupa keterampilan berhitung penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian bilangan pecahan. Sementara untuk memahami ilmu astronomi diperlukan pemahaman matematika tingkat menengah, minimal memahami ilmu hitung aljabar dan trigonometri.

Menguasai keterampilan berhitung, terutama dalam disiplin ilmu waris dan ilmu falak (astronomi) merupakan aktivitas yang dianjurkan Rasulullah saw. Hukum mempelajarinya fardhu kifayah. “Belajarlah ilmu faraidl (hitung waris) dan ajarkanlah kepada orang lain, sesungguhnya aku ini manusia biasa yang pasti meninggal, dan sesungguhnya ilmu faraidl ini akan diangkat (hilang), setelah itu akan timbul fitnah. Hampir-hampir saja dua orang yang berselisih dalam membagi harta waris tidak dapat menemukan orang yang dapat melerai keduanya” (H. R. al Hakim).

Keterampilan calistung yang telah kita miliki akan berharga di hadapan Allah manakala kita gunakan untuk memuliakan agama-Nya yang didasari niat karena Allah. Bagi orang yang memiliki keterampilan menulis, alangkah baiknya jika ia menuangkan segala gagasan tentang Islam melalui tulisan, baik melalui blog, media sosial, atau media lainnya. Sudah terbukti dalam sejarah, kemajuan dakwah umat Islam diperoleh dengan menyebarkan ajaran Islam melalui karya tulis.

Perpustakan Islam terbesar Bani Umayah di Andalusia salah satu buktinya. Kini perpustakaan yang diakui dunia tersebut telah musnah yang diikuti pula dengan melemahnya semangat membaca dan menulis di kalangan umat. Kini tongkat estapet kewajiban meneruskan kedua tradisi tersebut berpindah ke tangan kita, umat Islam pada saat ini.

Salah satu penyakit yang menghinggapi orang-orang yang sudah bisa membaca adalah malas membaca, malas belajar, dan tidak menuliskan kembali apa yang telah dibacanya. Padahal, fasilitas kita untuk melakukan kedua aktivitas tersebut jauh lebih banyak dan lengkap jika dibandingkan dengan era para ulama terdahulu. Sayangnya ghirah (semangat) kita terhadap kedua aktivitas ini tidak sebaik semangat para ulama terdahulu. Kita malas belajar, menggali pengetahuan, dan menuliskannya kembali.

Jika keadaannya demikian, jangan-jangan kita masih tergolong buta huruf. Alvin Toffler, seorang futurolog mengatakan, “Mereka yang disebut buta huruf (illiterate) pada abad ke-21 bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, namun mereka yang tidak bisa belajar (learn), menanggalkan pelajaran sebelumnya (un-learn), dan tidak mau belajar kembali (re-learn).”

Ilustrasi : Dunia dalam Kekuasaan Media Sosial (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image