Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Holy Wahyuni

Ternyata Tua Bukan Sekedar Angka

Gaya Hidup | Tuesday, 07 Mar 2023, 19:13 WIB
Sumber: pinterest.com

Belakangan ini media dihebohkan dengan perdebatan warga net atas komentar seorang selebgram, tentang childfree menjadi sebuah jalan untuk awet muda. Dalam tulisan ini tentu saja saya tidak ingin menanggapi persoalan memilih childfree ataupun memiliki anak. Keduanya adalah pilihan hidup yang tidak dapat serta merta kita hakimi. Apalagi kita tidak pernah tahu, bagaimana jalan hidup yang telah ditempuh oleh seseorang dan berimbas pada keputusannya. Saya juga tidak akan menaggapi apakah benar childfree membuat kita awet muda atau tidak.

Saya lebih tertarik pada tanggapan tentang tren obsesi awet muda, yang begitu digandrungi dan didambakan, terutama oleh kaum perempuan. Diakui atau tidak, saya memang selalu berbunga-bunga ketika orang lain menyangka saya lebih muda dari usia yang sebenarnya. Saya kira hal itu juga dirasakan oleh sebagian besar perempuan, bukan?

Saya jadi teringat dengan penjelasan rekan saya yang mengungkap istilah lookisme. Teori yang berkaitan dengan fenomena ini. Lookism atau tampilanisme menurut Radius Setiyawan yang dilansir dari halaman Kompas.com (http://bit.ly/3YGF2Ic) merupakan tindak diskriminasi atau cara pandang orang terhadap perempuan atau laki-laki hanya dari kecantikan atau ketampanan wajah. Lookism juga merupakan usaha tetap tampil menarik seperti yang dikonstruksi oleh media salah satunya.

Nah, betul, kan? Disadari atau tidak obsesi kita untuk tetap awet muda dan menolak tua telah dikonstruk oleh budaya masyarakat juga dunia industry kecantikan. Maka tak heran, ketika banyak perempuan kemudian menggunakan cream anti aging untuk menghindari kerut wajah dan tanda penuaan lainnya. Setidaknya begitulah kebanyakan orang memberi stigma pada kata “tua”.

Saya jadi teringat, September 2022 kemarin adalah ulang tahun ke tiga puluh, jujur ada rasa tidak percaya bahwa ternyata saya telah memasuki kepala tiga. Dalam hati saya bertanya-tanya, masih pantaskah saya dianggap muda di usia ini.

Pertanyaan saya yang terngiang-ngiang itu terjawab, dengan sebuah komentar yang dilontarkan oleh rekan yang menjadi seorang senior dan mentor saya di komunitas beberapa pekan lalu, “Saya itu melihat kamu yang sekarang ini, jauh lebih matang sebagai istri dan seorang ibu, jiwa keibuanmu itu sudah tampak, dari pada saat saya mengenal kamu semasa mahasiswa, dimana setiap hari kamu hanya galau karena asmara atau hal kecil lainnya.”

Lagi, saya semakin teguh ketika membaca tanggapan Mbak Kalis Mardiasih dalam sebuah video di akun sosial medianya. Mengapa obsesi awet muda ini selalu menghantui perempuan, bukan laki-laki. Laki-laki ketika memasuki usia di atas tiga puluh dianggap sebagai individu dengan kematangan intelektual dan kematangan kepribadian. Sementara perempuan di usia kepala tiganya cenderung dinilai sebagai raga yang tak menarik lagi, raga yang mulai redup. Tidak dipertimbangkan sama sekali sisi kematangan jiwa dan intelektualnya.

Dua tanggapan yang kebetulan singgah di ruang dengar saya itu berhasil mengusik. Membuat saya merenung dan membuktikannya. Ternyata benar, bahwa tua seharusnya bukan hanya sekedar angka. Bukan hanya dipandang dari tampilan luar. Bukan hanya sekedar tumbuh, tapi jangan abaikan juga tentang berkembang.

Saya menjadi lebih bangga terhadap diri saya sebagai perempuan berusia kepala tiga, bahwa dalam menyikapi beberapa hal, saya lebih matang dan tegar. Tanggung jawab semakin banyak saya emban, menunjukkan bahwa khalayak percaya dan yakin bahwa saya adalah individu yang siap untuk menjalankannya. Dan saya harap kebanggaan dan rasa percaya diri itu juga muncul dalam diri kita semua, para perempuan.

Ini bukan soal pencapaian. Sebab menua juga sering dibarengi dengan kecemasan-kecemasan. Kecemasan tentang segala pencapaian yang juga kerap distandarisasi oleh orang kebanyakan. Tuntutan untuk menikah, bereproduksi, karir bagus. Tentu saja ini variabel lain dari sebuah fase kehidupan seseorang, yang berkaitan dengan pilihan, kesempatan, tantangan, dukungan, dan hambatan, dimana standarisasinya tidak bisa dipukul rata untuk individu dengan usia yang sama. Setiap orang hidup dengan pencapaian sesuai zona masa yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Menua adalah sebuah proses biologis, yang meskipun dapat kita hindari dengan teknologi Mutahir, namun proses perkembangannya tak dapat kita pungkir. Menua adalah tentang membersamai waktu. Perjalanan waktu yang juga disertai perjalanan kehidupan. Maka tidak heran, ketika istilah “sudah makan asam dan garam” menjadi familiar di kalangan orang-orang tua yang lebih dulu ada. Artinya menua seharusnya bukan hanya soal angka dan tampilan, tapi juga soal kualitas pengalaman empirik yang telah kita terjang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image