Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sidqon Hadi

Karena Menikah tak Cukup Hanya Bermodalkan Kecocokan

Gaya Hidup | Saturday, 04 Mar 2023, 13:58 WIB
Ilustrasi keluarga sakinah (foto: republika.co.id)

Masih ingat dengan hubungan Venna Melinda dengan Ferry Irawan? Ya, biduk rumah tangga dua publik figur ini kandas setelah dibangun dalam tempo kurang dari setahun. Menikah pada Maret 2022, namun pada Januari 2023 kemarin Venna Melinda melaporkan suaminya ke Polresta Kediri atas dugaan KDRT.

Padahal, publik belum lama mengingat bagaimana kedua pasangan ini mengumbar kemesraan, dari sebelum menikah sampai di awal pernikahan. Sejumlah netizen bahkan menyebut Ferry dan Venna bak bucin alias budak cinta, karena seringnya mempertontonkan kemesraan. Baik Ferry maupun Venna merasa saling cocok sebelum akhirnya memutuskan menikah. Dalam sebuah podcast setelah menikah, Venna bahkan menyebut alasan yang lebih mendalam dan spiritual, bahwa dia menikah untuk cari teman ibadah.

Namun petaka Januari 2023 saat Venna melaporkan suaminya ke polisi seolah menjungkirbalikkan persepsi publik. Keduanya pun sempat terlibat saling gugat cerai hingga bulan Februari kemarin.

Dalam dunia selebriti, kasus nikah-cerai mungkin bukan perkara baru. Sampai-sampai muncul ungkapan nikah seperti beli kacang, karena begitu mudahnya kasus perceraian ditemukan pada pasangan artis. Menjadi ironi, karena para artis yang bercerai itu juga sebelumnya menunjukkan gejala-gejala yang oleh anak generasi kekinian disebut sebagai budak cinta. Mereka mengumbar kemesraan ke publik bahkan sebelum menikah, menyatakan kecocokan satu sama lain, dan akhirnya memutuskan menikah karena merasa cocok.

Sayangnya, tidak lama kita dengar baca informasinya, kedua pasangan ini memutuskan bercerai karena alasan ketidakcocokan dan lainnya. Apa yang sebetulnya terjadi dengan fenomena nikah-cerai yang begitu mudah ini?

Penulis tidak ingin memberikan kesimpulan. Tetapi kalau ada pelajaran yang bisa ditarik dari fenomena kawin-cerai tersebut, salah satunya adalah soal kecocokan. Ya, menikah dan membangun rumah tangga ternyata tidak cukup hanya bermodalkan kecocokan. Karena tidak sedikit kecocokan berubah menjadi ketidakcocokan. Bahkan, apa yang dulu disebut kecocokan, bisa saja sebetulnya hanya kamuflase. Karena dalam kondisi fallin love, seseorang akan dengan mudah melakukan hal-hal yang bisa menyenangkan lawan jenisnya, apalagi saat pacaran. Bahkan meski berbagai effort ke lawan jenis itu bisa jadi dipaksakan.

Ada yang rela pinjam baju, sepatu, sampai motor dan bahkan mobil hanya untuk tampil keren di depan perempuan yang sedang dicintainya. Seorang lelaki bahkan rela ngutang demi bisa membelikan kado untuk pacarnya yang sedang ulang tahun. Dan banyak lagi contoh kasus yang menunjukkan bahwa konsep ketulusan seseorang saat pacaran bisa saja diperdebatkan. Kenapa?

Karena kejujuran dan keterbukaan sesungguhnya dari relasi laki-laki dan perempuan itu hanya terjadi saat mereka telah menikah dan berumah tangga. Saat mereka menghadapi masa-masa sulit karena kondisi ekonomi, atau saat anak sakit, saat istri ingin berkarir, saat ada ketegangan dengan mertua, dan banyak lagi. Lalu apa yang disebut kecocokan bisa saja menjadi buram standarnya.

Kecocokan atau Saling Mengalah dan Memahami?

Salah satu tujuan menikah sering kita dengar adalah membangun kualitas rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta dan sayang (mawadah), sehingga itu semua mengundang rahmat Allah (rahmah). Itulah konsep sakinah, mawadah warahmah yang diambil dari QS. Ar-Rum ayat 21, bahkan sering dibuatkan akronimnya menjadi Samawa. Saking seringnya diucapkan untuk mereka yang baru menikah, sampai-sampai muncul kesan klise dari ungkapan yang sebetulnya doa dan bermakna mendalam ini. Bisa jadi, kita juga sekadar latah mengucapkan tanpa ingin tahu lebih dalam tentang maknanya.

Secara umum, sakinah bisa dipahami sebagai ketenangan, perasaan tenteram dan damai. Sehebat dan sesukses apapun seorang laki-laki sebelum menikah, secara fitrah hatinya akan mudah gelisah, gundah dan gulana. Seperti ada kekosongan dalam segumpal hatinya, yang itu baru bisa terisi saat ia menikah. Pengalaman rasa tenang ini baru benar-benar dirasakan ketika seorang laki-laki telah menikah. Itu sebabnya Allah menyebutnya sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Karena fitrahnya manusia memang untuk mencari ketenangan, yang itu salah satunya dipenuhi dengan menikah.

Sebelum menikah, seorang laki-laki akan merancang impiannya seorang diri, berjuang dan berjibaku mewujudkannya seorang diri, menghadapi gagal demi gagal sendirian pula. Pun saat sukses, ia mungkin akan menghayatinya sendiri. Ia tidak punya rumah untuk pulang dan berbagi beban masalah atau kebahagiaan. Itulah filosofi rumah, agar manusia tahu makna kembali. Dan perkara ketenangan ini tidak ada hubungannya dengan kecocokan, apalagi dengan pacaran dulu atau tidak. Karena sakinah adalah salah satu pemenuhan fitrah manusia melalui pernikahan.

Sementara mawadah adalah juga fitra lain dari manusia yang memiliki rasa cinta kasih dan hasrat terhadap lawan jenis. Cinta dalam fase mawaddah ini adalah jamaknya kita memahami cinta, sehingga di dalamnya ada perasaan menggebu-gebu, posesif, cemburu, dan sekawannya. Tidak ada cinta tanpa cemburu, karena begitulah fitrah dari mawadah ini. Posesif itu wajar, cemburu pun normal, asal tidak overdosis. Karena segala yang berlebihan seringkali mengundang bencana.

Pada aspek ini saja, pasangan akan menghadapi dua cara pandang dan sikap mental yang mungkin berbeda. Sering kita lihat sepasang suami istri yang karakternya bak barat dan timur kan? Misal istrinya amat posesif dan pencemburu, tetapi suaminya cuek misalnya. Ada juga satunya pencuriga karena begitu posesifnya, satunya lagi malah masa bodo. Di sinilah ego versus ego bertemu, dan mungkin beradu, melahirkan dinamika rumah tangga. Betapa tak jarang kita dengar konflik rumah tangga yang dipicu oleh saling berprasangka, karena minim komunikasi. Masing-masing bertahan dengan argumennya. Tak ada yang mau mengalah, sampai-sampai mengambil opsi untuk berpisah. Kalaupun akhirnya diurungkan, ternyata anak lah yang menjadi peredam ego keduanya.

Oleh karena mawadah itu bisa saja menghadirkan ketegangan dan konflik, maka pasangan suami istri perlu memiliki kualitas rahmah, yakni rasa sayang. Kata orang, rasa sayang itu derajatnya di atas cinta. Kalau sebelumnya ego bisa bertemu ego, maka pada kualitas rahmah, masing-masing pasangan adalah seorang seniman hati, yang tahu kapan maju dan kapan waktunya mundur. Alih-alih mencari kesamaan atau kecocokan, mereka lebih memilih untuk saling memahami dan peduli, respek antar pasangan. Semisal ayunan jungkit, kadang untuk melambungkan suami, seorang istri harus rela berada di bawah, dan sebaliknya. Maka dengan kualitas rahmah inilah perasaan cinta akan bisa terawat dan dijaga agar langgeng.

Sebab tidak ada orang yang benar-benar cocok 100 persen. Faktanya, dua anak yang lahir kembar identik saja pasti memiliki kecenderungan karakter yang berbeda kan?

Tetapi berbeda dengan sakinah dan mawadah yang cenderung bersifat taken for granted, karena notabene fitrah manusia, kualitas rahmah ini tidak jatuh dari langit dengan cuma-cuma. Maka rahmah ini harus diperjuangkan, diciptakan, dan dibangun oleh kedua pasangan. Karena itu, kualitas rahmah tidaklah mungkin diperoleh dengan cara instan, karena ia harus melalui trial and error yang mungkin panjang dan melelahkan. Ia menuntut kualitas saling memahami, berbagi pengertian, saling berkorban, serta saling menutup kekurangan.

Itu sebabnya, Alquran membahasakan hubungan fungsional suami istri sebagai pakaian, karena satu sama lain saling menutup aib dan kekurangan pasangannya (QS. Al-Baqarah: 187). Bukan justru, sedikit-sedikit mengumbar aib pasangan di media sosial. Ingatlah bahwa aib kita sendiri terlalu banyak, tetapi Allah Yang Maha Penyayang mau menutupi aib kita dari orang lain.

Dengan komitmen keikhlasan, kesabaran dan pengorbanan antar suami istri, maka Allah pasti akan menurunkan rahmat dan karunianya untuk rumah tangga kita. Itulah gambaran umum dari kualitas sakinah, mawadah warahmah. Dan membangun rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah ini tidaklah sederhana apalagi mudah, ini pekerjaan seumur hidup. Dari dari keluarga Samawa inilah kita bisa mengharapkan lahirnya generasi unggul (shalih) sebagaimana munajat Ibrahim AS dan juga ritual doa kita selepas shalih: Rabbii hablii minas shaalihiin. Doa Ibrahim dijawab Allah, sehingga dari anak keturunannya lahir para nabi dan rasul, dari Ishaq, sampai Isa dan khairil khalqi, Muhammad Saw.

Lalu apa tanda bahwa sebuah keluarga memiliki kualitas sakinah mawadah dan rahmah ini? Berikut beberapa hal yang bisa kita renungkan bersama.

Pertama, keluarga ini memiliki ketenangan, ketentraman, dan kedamaian. Apakah keluarga ini tidak memiliki masalah dan konflik? Tentu saja pasti ada, tetapi respon atas masalah lah yang menjadi kuncinya.

Kedua, memiliki cinta kasih sayang dan rasa memiliki yang selalu terjaga di antara anggota keluarga. Salah satu kebahagiaan orang tua, terutama di usianya yang menyenja, adalah menyaksikan anak-anaknya bisa hidup dengan saling berkasih sayang, saling bantu dan meringankan beban antar mereka.

Ketiga, memiliki cinta yang berorientasi atau menuju kepada Allah dan juga berpijak pada nilai-nilai agama, bukan hanya cinta pada makhluk atau hawa nafsunya saja. Karena salah satu pembeda antara proses reproduksi manusia dengan binatang adalah pada ada tidaknya aturan, salah satunya dalam lembaga pernikahan.

Keempat, menjauhi prasangka dan curiga, rasa saling tidak percaya serta perasaan was was dan ragu pada pasangan. Salah satu kunci terpenting dalam menjaga sehatnya rumah tangga adalah komunikasi. Sejauh komunikasi lancar dan saling terbuka, maka tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Kadang kita miris mendengar ada orang yang sudah menikah dua puluh atau bahkan tiga puluh tahun, tetapi masing-masing tak mampu mengkomunikasikan keinginan dan keluhannya masing-masing. Bahayanya, ketika komunikasi pasangan ini tersumbat, orang akan memilih curhat dengan orang lain yang bisa saja menambah runyam permasalahannya.

Kelima, saling menjaga dan menguatkan untuk bergaul sesuai tuntunan nilai-nilai Islam, tidak ada aturan yang dilanggar dalam pernikahan.

Selain kelima hal tersebut, ada dua hal pokok dan mendasar yang juga tidak boleh ditinggalkan oleh mereka yang sedang membangun mahligai rumah tangga. Pertama, berumah tangga adalah sebuah ibadah dan perjalanan terpanjang bagi setiap pasangan, maka bekalilah dengan bekal yang cukup dan terbaik agar kapal tak mudah karam. Dan Alquran telah menegaskan bahwa bekal terbaik adalah takwa.

Setelah bekal cukup, tentukanlah tujuan labuhan panjang, impian besar. Tidak hanya di dunia, tetapi tujuan kebahagiaan rumah tangga itu harus sehidup sesurga. Tujuan besar ini menjadi penting saat perjalanan rumah tangga sedang mengalami hambatanmasalah, cobaan, dan ujian. Kadang banyak rumah tangga menghadapi gelombang dahsyat yang menghancurkan, tetapi kedua pasangan mampu bertahan karena fokus pada tujuan besar jangka panjangnya.

Ketika sebuah keluarga sudah terbangun dengan kualitas sakinah mawadah warahmah, maka dampak peranannya akan membesar dan meluas, tidak hanya untuk suami, istri, dan anak saja, melainkan juga ke masyarakat, bangsa dan negara. Karena secara sosiologis, keluarga memiliki peran sebagai kelembagaan sosial terkecil yang menjadi sendi penopang bangunan sebuah bangsa.

Alquran juga sudah menggariskan tentang misi kekhalifahan manusia di muka bumi, dengan kewajiban menjaga dan merawat bumi agar berkeadilan dan menyejahterakan. Seperti diamanatkan dalam Pancasila, tujuan akhirnya adalah keadilan sosial bagi seluruhnya. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image