Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Kholiyi

Guru Jadi Murid, Murid Jadi Guru

Guru Menulis | Friday, 24 Feb 2023, 14:25 WIB
Sumber Foto: Freepik.com

Oleh: Ahmad Kholiyi (Guru MTs Negeri 6 Pandeglang, Direktur LsIS Banten, Koordinator Gusdurian Lebak, Ketua Umum DAMAR)

Pendidikan sejatinya adalah proses yang tidak pernah berkesudahan. Hal tersebut senada dengan ungkapan arab yang berbunyi 'Uthlubil ‘ilma minal mahdi Ilal lahdi', Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Kita tidak akan pernah selesai dalam belajar, meskipun telah mencapai gelar profesor (sebagai gelar akademik tertinggi) sekalipun.

Pendidikan sepanjang hayat adalah keniscayaan bagi setiap manusia. Dari semenjak ia lahir ke dunia, hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya, manusia tak akan pernah bisa berhenti belajar. Dari belajar cara duduk dan berjalan ketika masih balita, hingga belajar memahami situasi dan keadaan ketika sudah dewasa.

Selama seseorang mampu menerima pengaruh-pengaruh, proses pendidikan akan berlangsung terus menerus, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun dalam lingkup sosial yang lebih luas, yaitu dalam masyarakat.

Sebagaimana pengertiannya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pegajaran dan pelatihan. Jadi pendidikan secara umum tidak dikonotasikan dengan sekolah atau lembaga pendidikan, melainkan lebih kepada proses mengubah sikap dan tata laku.

Proses mengubah sikap dan tata laku tersebut tidak hanya bisa ditempuh dalam lingkup pendidikan formal, melainkan melalui pendidikan atau pembelajaran pribadi juga. Hal yang kadang sedikit atau bahkan tidak didapatkan dalam pendidikan formal tersebut biasanya adalah 'pelajaran hidup'. Seseorang bisa mendapatkan pendidikan atau pelajaran hidup secara empiris, yaitu pelajaran yang ia peroleh dari penemuan, percobaan, dan pemgamatan yang ia lakukan secara mandiri melalui pengalaman hidupnya.

Istilah mahsyur tentang pendidikan sepanjang hayat ini adalah "setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru". Jadi, berdasarkan istilah tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan bisa didapatkan dimana saja dan dari mana saja. Kita bisa belajar di tempat seperti apapun, sekalipun itu di tempat sampah, kita bisa belajar kepada siapapun, sekalipun itu kepada orang gila.

'Undzur maa qola wa laa tangdzur man qola', lihatlah olehmu terhadap apa yang dikatakan, dan janganah kamu lihat terhadap siapa yang mengatakan. Begitu kira-kira pepatah arab mengatakan soal hakikat datangnya ilmu atau pelajaran. Selama kita menemukan pelajaran dan ilmu yang baik bagi kita, maka kita patut mengambilnya. Tanpa memandang dari siapa pelajaran itu datang.

Guru Jadi Murid, Murid Jadi Guru

Dalam strata pendidikan, kita mengenal istilah 'Guru' dan 'Murid', yang berarti 'Guru' sebagai seseorang yang memberikan pelajaran, dan 'Murid' yang berarti seseorang yang berguru; yang mendapatkan pelajaran atau pendidikan dari guru. Secara formal, 'Guru' diidentikkan dengan seseorang yang memiliki kecakapan pengetahuan tertentu yang layak memberikan pelajaran kepada seseorang yang disebut 'murid'.

Akan tetapi, terma 'Guru' dan 'Murid' tersebut bagi penulis tidak melulu menjadi pakem ketika melekat pada diri seseorang. Walaupun seseorang telah memeliki predikat sebagai seorang guru, bisa jadi dalam sudut pandang lain ia bisa menjadi seorang murid.

Jika kita berkaca pada hakikat belajar sepanjang hidup, meskipun dengan cara yang berbeda dan melalui proses yang tidak sama. Secara tidak langsung juga bisa disimpulkan bahwa tidak ada batas usia yang menunjukan tidak mungkin atau tidak pantasnya seseorang untuk terus belajar dari apapun, dari siapapun, dan dalam kondisi dan keadaan apapun.

Sepanjang hidup manusia memang tidak pernah berada di dalam situasi vakum, karen manusia merupakan makhluk sosial, pasti interaksinya dengan sesama dan lingkungan sekitarnya akan memaknai manusia juga sebagai 'makhluk yang penuh dinamika'. Mereka dituntut agar mampu menyesuaikan diri secara aktif, dinamis, kreatif, dan inovatif terhadap diri dan kemajuan zaman.

Hal ini berlaku juga bagi guru dalam situasi tertentu. Jika membaca kembali teori psikologi dalam pendidikan, kita akan mendapati pembahasan materi yang meliputi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, lingkungan peserta didik, perbedaan karakter setiap peserta didik, dan pemahaman potensi peserta didik.

Dari materi-materi psikologi pendidikan tersebut sangat jelas bahwa Guru harus bisa 'mempelajari' segala hal dari 'Murid' atau peserta didik, agar kelak guru bisa benar-benar memahami dan mengetahui secara maksimal bagaimana cara yang tepat dan sesuai menjadi seorang 'guru'.

Mempelajari sesuatu dari 'Murid' ini bisa dikatakan dengan belajar kepada murid secara tidak langsung. Walau 'si Murid' di sini secara kenyataan tidak benar-benar diartikan sebagai seorang yg memberikan pelajaran kepada 'si Guru' secara langsung sebagaimana guru memberikan/menerangkan pelajaran kepada murid.

Banyak hal-hal baru yang bisa seorang Guru dapatkan dari Murid, dan bahkan terkadang tidak ada teori pendidikan yang menerangkan tentang situasi/pelajaran yang mesti guru pahami dalam realitasnya ketika berhadapan dengan murid-muridnya. Dan hal yang demikian ini pasti sudah pernah dialami oleh sebagian besar guru.

Bahkan istilah 'Guru jadi Murid, Murid jadi Guru' bisa benar-benar terjadi sebagaimana artinya secara harfiyah. Guru bisa benar-benar menjadi 'murid' bagi muridnya dalam situasi tertentu. Terutama ketika guru benar-benar tidak tahu tentang sesuatu yanh dalam kesempatan tersebut ternyata murid atau peserta didiknya lebih mengetahui. Menurut penulis, guru tak usah sungkan dan merasa gengsi untuk mengambil pelajaran/bertanya kepada murid soal sesuatu yang ia tidak ketahui tersebut.

Memang biasanya, karena 'merasa tidak enak' (bisa jadi karena gengsi) guru terkesan sungkan 'belajar' kepada murid. Pada akhirnya perasaan demikian hanya akan merugikan guru dalam mengembangkan sikap profesionalisme dan kebijaksanaanya. Guru yang seperti ini cenderung akan selalu merasa pengetahuannya 'diatas' murid, padahal disisi lain dia mengetahui muridnya memiliki keunggulan tertentu dalam suatu bidang dibandingkan dirinya.

Bagi seseorang guru yang memiliki motivasi atau dorongan untuk selalu ingin belajar sepanjang hayatnya, bertanya dan mencari pengetahuan dari murid pasti tidak akan membuatnya ragu untuk kemudia 'bertanya kepada muridnya'. Karena dia merasakan ilmu yg ia pelajari dari bertanya atau mencari tahu lewat muridnya adalah sebagai kebutuhan. Guru yang memiliki karakter seperti ini selalu merasa butuh untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya dalam menghadapi dorongan-dorongan dari dalam dan tantangan alam sekitar, yang selalu berubah. Terutama dalam dinamika dunia pendidikan yang selalu tumbuh dan berkembang secara kompleks.

Martabat guru tidak akan pernah jatuh hanya karena merasa tidak tahu dan kemudian menyadari muridnya lebih tahu dalam bidang tertentu. Guru juga tak harus ragu menjadikan muridnya sebagai 'guru' terhadap pengetahuan yang ia tidak ketahui. Bagi penulis, hal tersebut malah menjadikan guru tersebut makin berkualitas.

Yang harus digaris bawahi juga bahwa murid yang memberitahukan pengetahuan kepada gurunya tak lantas menjadikannya juga merasa setarap dengan gurunya. Sikap 'hormat' dan 'mawas diri' seorang murid adalah keutamaan bagi dirinya, karena dia merasa bahwa gurunya adalah seseorang yanh telah memberikan jalan menuju sumber pengetahuan yang tengah ia pelajari.

Simbiosis Mutualisme antara Guru dan Murid semacam ini niscaya akan menjadikan kultur pendidikan di Indonesia bahkan dimanapun menjadi semakin berkualitas. Dan pengetahuan-pengetahuan baru tentang ramuan pendidikan yang membebaskan akan mudah ditemukan dan diimplementasikan. []

Warunggunung, 24 Februari 2023

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image