Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hasan Munadi

Wanita dan busana (2): Antara Aurat dan Perhiasan

Agama | Wednesday, 22 Feb 2023, 01:39 WIB

Wanita dan busana (2): Antara Aurat dan Perhiasan

Photo: @pcippnukabdemak bersama @veve_zulfikar di acara Maulid Nabi dan HSN di Demak, 25 Oktober 2022

“Rasulullah tidak dihadapkan pada dua pilihan, kecuali memilih yang termudah, selama ia bukan dosa; kalau dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian ucap istri beliau, Aisyah ra.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Sayyidah Aisyah radliyallahu anha pernah menegur secara langsung para wanita dari Bani Tamimi yang mengenakan pakaian tipis, bahkan Aisyah mengatakan jika perempuan mengenakan pakaian semaunya maka ia telah berada di luar mode seorang perempuan mukmin dalam berbusana. Karena cara berpakaian sebagaimana seorang perempuan mukmin telah disebutkan syariat demi kehormatan dan keanggunan perempuan itu sendiri.

Sebagaimana di dalam Tafsir al-Qurthubi yang menyatakan bahwa jilbab memuat peranan sebagai identitas perempuan-perempuan mukmin dan bentuk kesadaran berperilaku serta perhiasan mereka. Perlu digarisbawahi, bahwa perintah untuk mengulurkan jilbab atas perempuan-perempuan mukmin pada surah al-Ahzab ayat: 59 adalah bertujuan untuk menghindarkan segala bentuk gangguan serta menampakkan keterhormatan para perempuan mukmin. Demikian para mufassir sepakat bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah karena salah satu istri Rasulullah keluar rumah untuk suatu hajat namun mendapatkan perlakuan usil dengan menyangka beliau (istri Rasulullah tersebut) adalah seorang budak wanita. Maka turunlah ayat perintah jilbab sebagai busana identitas.

Dan atas kisah Aisyah serta ayat di atas para ulama yang menyatakan bahwa aurat seorang wanita adalah seluruh badan kembali diperkuat. Namun, Aisyah sebagaimana dikisahkan hanya menegur cara berbusana dengan pakaian tipis – redaksi lain menerangkan pakaian yang menampakkan lekuk tubuh – dan di dalam Tafsir al-Qurthubi menyebutkan bahwa tujuannya adalah sebagai pembeda status sosial pada masa itu. Akan tetapi perlu diingat, mayoritas ulama di dalam berpandangan tentang aurat wanita tergolong menjadi dua: pertama, para ulama yang mengatakan aurat wanita adalah seluruh badan, termasuk wajah dan kedua telapak tangan; dan kedua, yang mengatakan seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

Perbedaan Jilbab, Hijab dan Khimar

M. Quraish Shihab dalam bukunya, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, menerangkan secara tuntas terperinci mengenai jilbab, hijab dan khimar beserta hukum dan pandangan ulama dan cendekiawan muslim.

1) Jilbab. Ulama yang berpendapat bahwa seluruh badan wanita – tanpa kecuali – adalah aurat, kata jilbab berarti pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang sedang dipakai. Sementara riwayat Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud menyatakan bahwa ialah selendang (kain yang dipakai untuk menutupi wajah dan leher). Tetapi pendapat shahih mengatakan bahwa yang dimaksud jilbab ialah pakaian yang menutupi seluruh badan. Al-Biqa’i (1406 – 1480 M) menyebutkan beberapa pendapat tentang makna jilbab. Pertama, jilbab adalah baju yang longgar, menutupi badan, tangan, dan kaki (leher ke bawah); Kedua, jilbab ialah kerudung, menutupi wajah dan leher (leher ke atas); dan Ketiga, jilbab ialah pakaian yang menutupi baju (dari ujung rambut dan seluruh badan), maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi badan dan pakaian. Maka keharusan memakai jilbab bagi para muslimah ialah berlaku sepanjang masa.

Namun, sebagian ulama kontemporer memahaminya hanya berlaku pada zaman Rasulullah, yang pada masa itu masih didapati perbudakan sehingga perlu adanya pembeda antara mereka dan perempuan-perempuan merdeka. Menurut penganut paham terakhir ini, jika tujuan tersebut telah dicapai dengan satu dan lain cara, maka ketika itu busana yang dipakai telah sejalan dengan tuntutan agama.

2) Hijab. Kata hijab pada mulanya memiliki arti sesuatu yang menghalangi antara dua lainnya. Seseorang yang menghalangi orang lain sehingga tidak dapat bertemu dengan siapa yang diinginkannya untuk dia temui, ia dinamai hajib. Para ulama yang berpendapat bahwa seluruh badan wanita adalah aurat – termasuk wajah dan tangan – memahami kata hijab dalam arti tabir. Maka menurut pakar tafsir al-Jashshash, perempuan semuanya aurat – badan dan bentuknya – maka tidak diperbolehkan membukanya kecuali bila ada darurat atau kebutuhan seperti untuk menyampaikan persaksian atau adanya penyakit di badannya (dalam rangka pengobatan). Perlu diperhatikan, bahwa ulama yang mengatakan perempuan semuanya aurat di dalam memahami kata hijab adalah tabir atau tirai, bukan dalam arti pakaian.

Oleh masa modern ini makna hijab diartikan sebagai pakaian, dan terhadap pemaknaan ayat-ayat hijab dan hadis-hadis yang membahasnya menimbulkan fatwa baru dalam produk fikih di kalangan ulama kontemporer. Di antaranya yang paling terkenal Sa’id al-Asymawi dalam karyanya, Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyat al-Hadis, menyebutkan bahwa hijab dalam artian kain yang dibentangkan untuk menutupi kepala tidak wajib bagi perempuan.

Al-Asymawi berpendapat bahwa perempuan pada zaman Rasulullah menutupi kepala mereka dengan kain dari belakang (punggung) dan tidak menutupi bagian dada dan leher. Kemudian turunlah surah an-Nur ayat: 31 yang mengkritik cara berbusana seperti itu. Maka diperintahkan pula menutupi bagian dada dan leher, dan menurutnya perintah ini adalah soal kebiasaan ketika masa itu saja. Lalu al-Asymawi mengatakan atas surah al-Ahzab ayat: 59, bahwa perintah untuk jilbab sebagai busana membedakan status sosial antara hamba sahaya dan perempuan mukmin. Al-Asymawi juga mengkaji hadis-hadis tentang hijab. Ia menyatakan bahwa beberapa hadis yang dijadikan dalil adalah hadis yang tidak mencapai derajat shahih, sehingga tidak bisa dijadikan dasar karena dalilnya bersifat dzanny (prasangka) bukan qath’iy (pasti).

3) Khimar. Khimar memiliki arti tutup kepala atau kerudung. Dan sejak dahulu wanita menggunakan tutup kepala itu, hanya saja dalam berbusana mereka membiarkannya melilit punggung dan tanpa dijulurkan untuk menutupi dada dan leher. Al-Biqa’i menyatakan bahwasanya pemakaian kerudung hendaknya diletakkan sungguh-sungguh untuk tujuan menutupi. Pendapat ini dipertegas oleh sebagian ulama yang menyatakan untuk lebih menekankan lagi agar kerudung tersebut tidak berpisah dari bagian tubuh yang harus ditutupi.

Atas hal ini, fashion maupun mode dalam memakai kerudung sah-sah saja karena memang fungsi dari kerudung itu untuk menutupi bagian kepala sampai dada perempuan.

Antara Aurat dan Perhiasan

Telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa fungsi pakaian dibedakan menjadi fungsi pakaian sebagai perhiasan dan fungsi pakaian yang menutup aurat. Dalam pembahasan fikih tentu kita semua mengetahui bahwa aurat wanita dibedakan menjadi tiga: ketika di hadapan mahram, ketika di hadapan selain mahram, dan di hadapan sesama wanita. Adapun ketentuan berbusana bagi wanita adalah dengan melihat unsur budaya/kebiasaan dan kebutuhan yang menjadi pertimbangan dengan tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama.

Pemahaman perhiasan dalam surah an-Nur ayat: 30-31 para ulama membaginya dalam dua macam. Ada yang bersifat khilqiyah (fisik dan melekat pada diri seseorang), dan ada juga yang bersifat muktasabah (dapat diupayakan).

Yang bersifat melekat adalah bagian-bagian tubuh tertentu, katakanlah seperti wajah, rambut, dan dada, sedangkan yang bersifat dapat diupayakan antara lain ialah pakaian yang indah, perhiasan seperti cincin, gelang, dan sebagainya. Tetapi yang pasti, dari ayat di atas perempuan tidak diperbolehkan untuk menampakkan atau berupaya agar diketahui perhiasan mereka kecuali yang tampak darinya.

Ibnu al-A’rabi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu ‘Asyur, berpendapat bahwa hiasan yang bersifat khilqiyah/melekat adalah sebagian besar tubuh perempuan, khususnya wajah, kedua pergelangan tangan, kedua siku sampai bahu, betis, payudara, rambut, dan bagian kelamin. Dan hiasan yang muktasabah/dapat diupayakan berupa hal-hal yang lumrah dipakai seorang perempuan seperti perhiasan, pakaian indah dan aksesoris lainnya, demikian juga celak, henna, dan sebagainya. Hiasan khilqiyah yang dapat ditoleransi adalah hiasan yang bila ditutup mengakibatkan kesulitan bagi perempuan, seperti wajah, kedua tangan dan kedua kaki. Maka sebaliknya, hiasan yang harus ditutupi/disembunyikan antara lain seperti bagian atas kedua betis, kedua pergelangan, kedua bahu, leher, dan bagian atas dada dan kedua telinga.

“Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka, kecuali yang tampak darinya “, masih terdapat pengecualian untuk kondisi-kondisi tertentu. Seperti halnya tampak secara terpaksa atau tidak disengaja – seperti tertiup angin dan lain-lain. Mayoritas ulama memahami bunyi ayat di atas dalam arti yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak. Kebutuhan di sini dalam arti menimbulkan kesulitan jika bagian badan tersebut ditutup.

Abu al-A’la al-Maududi dalam karyanya, Al-Hijab, menegaskan bahwa tujuan agama adalah bahwa jika seorang perempuan membuka (sebagian anggota badannya) dengan tujuan menampilkan keindahan dan kecantikannya, maka itu adalah dosa, dan bila itu tampak dengan sendirinya tanpa kesengajaan untuk menampakkannya, maka tidaklah dia berdosa, dan bila benar-benar ada kebutuhan untuk membukanya maka itu pun boleh untuk dibukanya.

Wallahu al-Muwaffiq

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image