Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Akhmad Syauqillah Akmal

Apakah Menjadi Laki-laki itu Privilege?

Pendidikan dan Literasi | Thursday, 16 Feb 2023, 13:52 WIB
ilustrasi kesetaraan gender laki-laki dan perempuan (sumber:https://www.flexjobs.com/blog/post/how-flexible-work-can-bring-us-closer-to-gender-equality/)

Kita kerap kali mendengar persoalan mengenai kesetaraan gender, banyak masyarakat baik di Indonesia maupun luar negeri yang menyuarakan akan hal ini, Namun di realitanya masih banyak terjadi diskriminasi berdasarkan gender pada aspek kehidupan. Ini adalah fakta meskipun terdapat beberapa kemajuan yang cukup pesat pada kesetaraan gender di era ini. Sifat dan tingkat diskriminasi cukup bervariasi di berbagai negara maupun wilayah. Belum ditemukan satupun wilayah di negara manapun bahwa perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.

Lalu apakah menjadi seorang lelaki merupakan suatu privilege? Kerap kali kita lihat baik di bidang hukum,sosial dan ekonomi, banyak didominasi oleh laki-laki. Hal ini terjadi karena mindset pada diri kita yang memang sudah tertanam bahwa kewajiban seoran laki-laki adalah bekerja sedangkan perempuan cukup di Rumah saja, mengurus kebutuhan di Rumah. Banyak laki-laki yang menjadi pemimpin di suatu instansi, padahal tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan pun mampu mengemban tanggung jawab tersebut.

Sejak kecil anak laki-laki telah diajarkan tentang penguasaan atas orang lain, penaklukan dunia dan seisinya, mendominasi atas kepemilikan apapun. Dalam hal ini kalimat pokok yang digambarkan adalah “privilege is not a given, therefore it can be reconstructed”. Pesan ini perlu untuk disampaikan kepada para pemuda, khususnya kelompok laki-laki. Budaya menempatkan “hak istimewa” seolah-olah merupakan anugrah bagi anak laki-laki sehingga menjadi pengaruh besar dalam proses pertumbuhan dan perkembangan serta dapat menciptakan perilaku superioritas,

Kenyataannya “hak istimewa” justru menjadi bingkai budaya yang mengekang kebebasan berekspresi bagi anak laki-laki, membatasi kebebasan berfikir dan mengungkapkan isi hati sehingga menjadikan banyak anak laki-laki di Indonesia sebagai makhluk kerdil dengan bingkai stereotip budaya patriarki. Bingkai budaya patriarki yang sengaja dikonstruksi ini sesungguhnya hanyalah sebagai alat sudut pandang untuk memperindah potret saja padahal dalam realitasnya seorang anak laki-laki memiliki kebebasan berekspresi dan memiliki kebebasan berfikir untuk tidak perlu menjadi laki-laki pada umumnya.

Ketika dilakukan riset dan juga survey bahwa sebenarnya perbedaan laki-laki dan perempuan hanya terdapat pada sisi sex (kelamin) realitanya sifat maupun tingkah laku mereka tidaklah jauh berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hak yang diterima oleh laki-laki juga dapat diterima oleh perempuan. Padahal jika kita teliti lebih dalam, di kehidupan rumah tangga perempuan mampu menangani kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya, mencuci,menyapu,membereskan rumah, memasak, mengurus anak, belum lagi jika mereka sambal berkarir, terbayang kan bagaimana lelahnya?, sedangkan banyak laki-laki atau ayah yang berfikir ketika mereka sudah memberi nafkah maka menurut nya itu sudah lebih dari cukup. Belum tentu lelaki dapat melakukan apa yang dilakukan oleh para perempuan.

Lalu apa hubungan antara gender dengan energi? hubungan gender dan energi itu sudah termuat dalam tujuan pembangunan berkelanjutan berikut tujuannya: Goals 5. Gender Eguality, Goals 7. Affordable and clean energy, and Goals 9. Industry, Innovation and Infrastructure. Sebagai warga negara yang baik kita harus turut serta mendukung dan medorong tujuan pembangunan demi menjaga keharmonisan dan kerukunan antar umat manusia di seluruh dunia.

Terdapat dua jenis tantangan terbesar umat manusia di dunia, yang pertama adalah perubahan iklim dan kedua adalah kemiskinan energi. Dengan adanya dua aspek besar tantangan manusia tersebut akan membuat perempuan dan anak perempuan terkena dampak secara tidak proporsional. Di era sekarang masih terdapat banyak negara dengan gender tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan pada rumah tangga dan bisnis, sebagian besar perempuan dan anak perempuan masih mengandalkan biomassa tradisional. Jika dibandingkan dengan anak laki-laki dan perempuan, maka anak laki-laki lah yang akan mungkin mendapat dampak negatif berupa kemiskinan waktu dan polusi udara dalam ruangan. Hingga, suatu saat dalam agen perubahan akan banyak didominasi oleh kaum perempuan dimana mereka menjadi jiwa yang tangguh dan kuat dalam hal memproduksi produk menggunakan energi terbarukan dan menjadikan kaum perempuan menjadi para pengusaha teknologi bersih dan mengadvokasi energi berkelanjutan.

Menurut United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) tahun 2022, pada sektor energi terbarukan dimana perusahaan dan startup yang dipimpin oleh perempuan menerima lebih sedikit dana dan terdapat 32% persen karyawan penuh waktu adalah perempuan dan bekerja dibidang administrasi dan pekerjaan mereka kurang terwakili pada posisi atau bagian pengambilan keputusan. Dalam upaya meningkatkan efektifivitas solusi energi berkelanjutan maka perlu meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan guna mendorong tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan seperti pada Goals 5. Gender Eguality, Goals 7. Affordable and clean energy, and Goals 9. Industry, Innovation and Infrastructure.

Namun, perempuan tetap memerlukan peran laki-laki untuk mensupport mereka dalam melakukan hal-hal di atas.

Syauqillah Akmal, Mahasiswa S1

Informatika, Unej

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image