Tantangan AI Bagi Perempuan
Edukasi | 2024-12-20 12:43:47Perkembangan Kecerdasan Buatan atau yang kerap dikenal sebagai Artificial Intelligence (AI) telah berkembang pesat selama empat tahun terakhir. Dengan semakin canggihnya AI yang dapat membantu kita dalam menyelesaikan tugas-tugas kita seperti membuat tulisan, seni, dan sebagainya, tentu menjadikan AI pencapaian manusia yang tidak dapat terlepaskan. Namun, tahukah Anda bahwa dengan perkembangan yang begitu cepat ini juga menimbulkan permasalahan kode etik dari penggunaannya?
Dewasa ini, sistem AI semakin dirancang untuk mempelajari dan meniru karya-karya manusia, termasuk seni, esai, artikel, arsitektur, dan sebagainya. Kemampuan ini diikuti oleh maraknya pengoleksian data-data melalui fitur seperti cookies dan personalization yang biasa ditemukan di berbagai aplikasi, seperti sosial media Google, Instagram, bahkan X. Kemampuan AI yang menjadi semakin komersil berarti semua orang sudah dapat menggunakan AI untuk membuat karya-karya tersebut tanpa bantuan manusia lain, termasuk mereka.
Tentunya, ini berdampak signifikan bagi masyarakat di samping dari potensi besar akan hilangnya pekerjaan (Thorn, 2023a). AI, di antaranya, dapat digunakan untuk membuat atau menyebarkan konten ilegal, seperti materi yang berkaitan dengan pemerkosaan atau pornografi anak karena sedikitnya pengawasan dari pihak yang berwenang (seperti pemerintah) dalam penggunaannya. Maka dari itu, penggunaan AI menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas bagi pengguna yang membuat atau membagikan konten berbahaya tersebut (Ratner, 2021).
Bagi pihak feminis, kebebasan dalam penggunaan AI ini menimbulkan permasalahan terhadap objektifikasi perempuan yaitu penggunaan tubuh mereka dalam pornografi deepfakes. Pornografi deepfakes adalah video yang berunsur pornografi, tetapi tidak melibatkan aktor sesungguhnya karena dibuat secara palsu oleh AI. Biasanya, deepfakes hanya membutuhkan satu gambar dari orang tersebut dan akan dibuat oleh AI agar ia bergerak.
Tentu saja tidak mesti berunsur pornografi. Tetapi, deepfakes merupakan salah satu cara termudah dalam pembuatan video pornografi. Mereka yang melihat bahwa perempuan adalah objek dapat memanifestasikan ide-ide mereka dengan penggunaan deepfake karena mereka tidak perlu memaksa untuk membuat objek fantasi mereka berkontribusi langsung dalam pembuatan konten pornografi ini. Sebab itu, dapat dibilang kalau fenomena ini adalah fenomena kekerasan seksual karena mereka yang melakukan ini dengan sengaja maupun tidak menimbulkan rasa sakit mental pada perempuan yang mereka lihat sebagai objek. Sebab, suatu objek tidak memiliki moral dan perlakuan adil karena tidak dianggap manusia (Seabrook dkk., 2019; Thorn, 2023b).
Bentuk kekerasan seksual ini menjadi tantangan baru bagi gerakan feminisme interseksional yang ingin mengadvokasikan emansipasi kaum perempuan dari setiap sudut pandang. Gerakan feminisme di setiap negara perlu berfokus dan menekankan betapa pentingnya pengawasan digital seputar penggunaan AI karena, ketika dipegang oleh pihak yang salah dan tidak digunakan secara etis, akan menciptakan ruang tidak aman bagi kaum termarjinalkan seperti perempuan dan juga anak. Maka dari itu, menjadi urgensi dalam pengawasan ini yaitu dapat menurunkan kekerasan seksual terhadap perempuan secara fisik maupun verbal.
Referensi
Ratner, C. (2021). When “Sweetie” is not so Sweet: Artificial Intelligence and its Implications for Child Pornography. Family Court Review, 59(2), 386–401. https://doi.org/10.1111/fcre.12576
Seabrook, R. C., Ward, L. M., & Giaccardi, S. (2019). Less than human? Media use, objectification of women, and men’s acceptance of sexual aggression. Psychology of Violence, 9(5), 536–545. https://doi.org/10.1037/vio0000198
Thorn, A. (2023a, Oktober 14). AI is an Ethical Nightmare [Video recording]. Philosophy Tube. https://youtu.be/AaU6tI2pb3M?si=cE4HuHEU1bCnXPbe
Thorn, A. (2023b, Desember 9). A Man Plagiarised My Work: Women, Money, and the Nation [Video recording]. Dalam YouTube. Philosophy Tube. https://www.youtube.com/watch?v=FkuW7uKG6l8&t=466s
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.