Pesantren Digital
Lomba | 2023-02-10 04:36:35Oleh: Umair Fahmiddin
"Shalat janazah. Mayit pasti di depan. Karena lazimnya shalat janazah, mayit itu di depan. Tapi ulama sudah berpendapat, andaikan jenazahnya di belakang pun tetap sah. Karena janazah itu bukan imam," terang Gus Baha di depan para dosen dan pimpin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang penulis simak melalui YouTube.
Materi yang disampaikan Gus Baha itu renyah, juga mudah difahami. Padahal, jika materi itu dirujuk ke kitab fiqih para ulama, tidak mudah untuk mensarikannya. Mungkin gagal paham. Itulah kelebihan Gus Baha, kiai muda Nahdhatul Ulama (NU), alumni Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah yang kajian-kajiannya banyak tersebar di media sosial.
Bicara tentang pondok pesantren, NU adalah pakarnya. Jauh sebelum KH. Hasyim Asy'ari mendirikan NU. Ia telah menyebarkan ilmunya di pondok pesantren yang didirikan. Letaknya di Kampung Tebuireng, Jombang. Kemudian, menginspirasi berdirinya 26.000 pesantren NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka itu berdasarkan data Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI NU).
Nyantri atau belajar di pondok pesantren adalah tradisisi ulama Nusantara. Sang Kiai mencontohkannya. Usia 15 tahun, ia telah meninggalkan rumah untuk belajar ke beberapa pesantren. Di pondok KH. Sholeh Darat Semarang, ia berjumpa dengan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Mereka belajar bersama. Bahkan mereka pun tinggal di kamar yang sama.
Tradisi nyantri terus dilestarikan oleh para muridnya. Maka tidak heran jika seluruh Rais 'Aam dan ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dari awal sampai sekarang, semuanya bergelar Kiai Haji. Karena mereka pernah bermukim dan belajar ilmu agama bersama para kiai yang mumpuni dan benar-benar menguasai keilmuan Islam.
Di abad pertama, NU sudah banyak memberikan kontribusi untuk umat dan bangsa ini. Terutama nikmat kemerdekan bagi bangsa Indonesia. Sehingga umat Islam dapat beribadah lebih aman. Tentunya setelah melewati perjuangan yang tidak mudah. Karena turut melibatkan para tokoh NU: KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Wahid Hasyim, dll bahkan para santrinya. Puncaknya pada 22 Oktober 1945. Dikenal dengan Resolusi Jihad.
Sembilan belas tahun sebelum Indonesia merdeka, NU sudah ada. Begitupun Muhammadiyah. Merekalah yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Kesetian dan rasa hormat para santri kepada kiainya, tidak membuat para kiai menjadi arogan. Mereka tetap tawaduk. Seandainya para kiai ingin membuat pemerintahan baru, mungkin saja bisa. Tapi, para kiai tau itu bukan cara bernegara yang baik.
Memasuki abad kedua, NU mempersembahkan sebuah ide besar berupa “Fikih Peradaban.” Sebuah rumusan besar yang tidak lepas dari keterlibatkan kiai-kiai pesantren di berbagai daerah. Sudah dibahas sebanyak 280 kali. hasilnya dibacakan pada acara Puncak Resepsi Harlah 1 Abad NU di Gelora Delta Sidoarjo oleh KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) dan Yenny Wahid sebagai muara, setelah 280 kali halaqah.
Di abad kedua, NU memasuki abad teknologi. Zaman yang serba cepat. Kesibukanpun tidak kalah padat. Namun masyarakat sangat membutuhkan bimbingan para kiai. NU punya SDM banyak dan mupuni. Ada peluang bagus. Jika kurikulum pondok pesantren yang selama ini berjalan secara offline. Mungkinkah pondok pesantren NU dapat merevolusi transformasi keilmuannya menyesuaikan perkembangan zaman? Tidak perlu dijawab sekarang.
Teknologi menjadi kata kuci untuk bersaing dan survive di masa depan. Sudah banyak platform belajar yang dijalankan secara online. Ruangguru misalnya. Mungkin, ada satu masa yang kita tidak bayangkan, ada banyak santri yang belajar di pesantren digital dari berbagai negara. Namun demikian, belajar offline pun perlu dipertahankan. Teringat sebuah kaidah, “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.