Kiai As'ad, Sang Pengantar dan Penjaga Pesan Nahdlatul Ulama
Agama | 2023-02-09 21:36:57Mustahil membahas sejarah Nahdlatul Ulama (NU) tanpa melibatkan nama Kiai As'ad Syamsul Arifin. Sebab, di balik nama besar Kiai Muhammad Kholil dan Kiai Hasyim Asy'ari, ada sosok Kiai As'ad yang menjaga dan menyampaikan seputar pendirian NU.
Embrio pendirian organisasi Islam yang kemudian bernama Nahdlatul Ulama sudah dimulai jauh sebelum 1926. Ada banyak tokoh penting yang ambil bagian dalam sejarah NU.
Kiai As'ad adalah salah satunya. Menurut riset sejarah yang dibuat Abdurahman di Prodi Sejarah Peradaban Islam Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya (2019), ada peran penting Kiai As'ad dalam proses pendirian NU. Menurut Abdulrahman, Kiai As'ad adalah penyampai pesan.
Kisah yang hampir sama juga disampaikan oleh Syamsul A. Hasan dalam buku yang berjudul Kharisma Kiai As'ad di Mata Uma (2011).
Dua rujukan di atas merangkai sebuah momen penting yang terjadi pada 1924. Kala itu, Kiai Kholil, ulama sohor asal Bangkalan, memanggil salah satu muridnya yakni Kiai As'ad. Kiai Kholil memberikan dua benda penting untuk sang murid yakni tongkat dan pesan ayat Al Qur'an surat Thaha ayat 17-23.
Kiai Kholil meminta sang murid untuk membawa dua benda itu ke Jombang. Alamat yang dituju adalah Pesantren Tebuireng. Di sana, Kiai As'ad harus bertemu dengan sang empu-nya pesantren yakni Kiai Hasyim Asy'ari.
Sikap takzim yang tinggi ditunjukkan Kiai As'ad. Dia segera berangkat dari Bangkalan ke Jombang dan membawa dua pesan dari gurunya. Perjalanan ini bukan tanpa adangan. Di tengah jalan, Kiai As'ad dianggap sudah gila karena masih muda tetapi membawa tongkat.
Pesan Kedua dari Kiai Kholil
Kiai As'ad tak pernah tahu dan bertanya pada Kiai Kholil tentang arti dua benda yang dibawanya. Dia hanya takzim pada perintah sang guru. Hingga akhirnya sampai di hadapan Kiai Hasyim, Kiai As'ad belum bisa menangkap apa maksud dari tongkat dan surat Thaha ayat 17-23.
Kiai Hasyim seketika menangis usai menerima pesan dari Kiai Kholil yang dibawa Raden As'ad, panggilannya masih muda. Saat itu, Kiai Hasyim bicara lirih "Saya berhasil mau membentuk jam'iyah ulama," katanya.
Setelah peristiwa itu berlalu, Kiai As'ad kembali ke Bangkalan. Pada 1925, Kiai As'ad kembali mendapat pesan dari sang guru.
Alamat dan penerima pesan tersebut masih sama, Kiai Hasyim. Hanya saja, kali ini pesan yang disampaikan berbeda. As'ad muda harus bertandang ke Jombang dengan membawa tabih, yang dikalungkan ke tubuhnya, dan bacaan Ya Jabbar Ya Qohhar yang diucapkan tiga kali.
Sama seperti ketika menyampaikan pesan pertama, Kiai As'ad melakukan dengan penuh rasa takzim. Sepanjang perjalanan, dia tak pernah melepas bahkan mengubah posisi tasbih yang dikalungkang gurunya. Dia memegang prinsip, tasbih itu dikalungkan seorang kiai maka harus diambil oleh kiai juga.
Jadi, selama membawa pesan kedua dari Kiai Kholil, Kiai As'ad tidak mandi atau berganti pakaian.
Usai menyampaikan pesan kedua itu, jalan Kiai Hasyim untuk mendirikan NU mulai terbuka. Dua pesan yang diberikan Kiai Kholil adalah jawaban dari istharah (meminta petunjuk pada Allah) Kiai Hasyim. Dari sit, komunikasi dengan kiai lain di Jawa dan Madura makin intensif hingga akhirnya terbentulah NU pada 1926.
Kiai As'ad sendiri kemudian mondok di Tebuireng usai menyampaikan pesan kedua. Terkadang, dia mendapat tugas untuk membawa pesan kepada kiai-kiai yang ada di Madura terkait upaya untuk mendirikan NU.
Menjaga Pesan dan Amanah Sang Guru
Kiai As'ad menerima berkah yang luar biasa pada masa muda. Sebab, dia menjadi orang kepercayaan sekaligus murid dalam ulama yang sangat sohor. Nama besarnya bahkan masih terjaga hingga kini, Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Muhammad Kholil.
Suadi Sa’ad, lewat riset di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banteng yang berjudul Pendidikan dan pejuang Kharismatik Spiritualis (Kajian Sosio-Historis K.H.R. As'ad Syamsul Arifin), mengungkap sebuah cerita penting.
Menurut Suadi Sa’ad, dua bulan sebelum Kiai Hasyim Wafat, beliau sempat menitip pesan penting kepada muridnya Kiai As'ad. Pesan tersebut adalah 'menitipkan' NU kepada sang murid. Kiai As'ad takzim dengan pesan tersebut, tetapi menjalankan dengan caranya sendiri.
"Saya pernah mendapat amanah dari guru saya, Kiai Hasyim Asy'ari untuk tetap menjayakan NU. Karena itu, saya tak akan surut sedikit pun dalam tanggung jawab ini," kata Kiai As'ad kepada Panji Masyaratat edisi Januari 1984.
Dalam perjalanan sejarah, Kiai As'ad tak selalu berada dalam arus utama NU dan terkadang berada di pinggiran. Akan tetapi, pengabdian dan upaya untuk takzim pada amanah sang guru tidak pernah ditinggilan. Kiai As'ad selalu berupaya untuk menjaga pesan gurunya dengan baik.
Periode 1980-an adalah masa yang sulit bagi NU. Kondisi NU merosot usai Kiai Bisyri Syamsuri wafat. NU makin kental dengan nuansa politik.
Pada situasi itu, Kiai As'ad membuat rangkaian manuver. Pada 1983, digelar Musyawarah Nasional A1im Ulama Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Ini adalah pondok milik Kiai As'ad yang berada di Situbondo, Jawa Timur.
Ide besar Kiai As'ad sebagai tuan rumah adalah membawa NU pada khittah pendirian tahun 1926. Satu tahun setelah Munas Ulama, digelar Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Nah, pada Muktamar ke-27, beberapa poin hasil Munas Ulama menjadi topik utama.
Lantas, apa yang dimaksud dengan 'Khittah NU'?
Khittah NU bisa diartikan sebagai cara atau landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Baik secara organisasi maupun personal. Nah, jika rujukannya adalah Khittah NU 1926, maka NU kembali menjadi organisasi keagamaan. NU secara lembaga tidak terkait dengan partai politik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.