Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alif Syuhada

NU Abad ke 2: Dari Bahtsul Masail ke Fikih Peradaban

Lomba | 2023-02-09 16:26:31
sumber gambar: Republika Online" />
sumber gambar: Republika Online

Toynbee dan Ikeda dalam Perjuangkan Hidup (1987) menyebut ada tiga syarat kemunculan peradaban, yakni: agama, kelebihan produksi materi, dan waktu luang. Rupanya, ketiga syarat ini dimiliki oleh pesantren yang dikenal sebagai basis dan simbol Nahdlatul Ulama (NU). Tak heran bila salah satu organisasi Islam terbesar Indonesia ini diperhitungkan dalam kancah peradaban Islam.

Mengapa agama disebut sumber vital peradaban? Menurut Toynbee dan Ikeda, hal ini disebabkan oleh kemampuan agama dalam menciptakan solidaritas kuat dalam masyarakat. Agama memungkinkan manusia dapat saling bekerjasama dalam jumlah besar dan efektif, tanpa harus mengenal satu dengan lainnya. Hal ini tak bisa dilakukan ketika manusia masih terikat dalam kesukuan sempit. Sebab itu, peradaban besar pasti muncul sebagai bagian dari agama masyarakat tersebut.

Adanya konsep iman pada agama membuat masyarakat bersedia membaktikan diri untuk membangun hal-hal yang lebih bermaslahat secara sukarela. Berkat moral dan etika, manusia dapat bekerjasama secara efektif dalam mewujudkannya.

Kelebihan materi, khususnya pangan, berperan penting membebaskan manusia dari “urusan duniawi”. Mental dan pikiran manusia tak lagi tersita sepenuhnya untuk urusan perut. Berkat ditemukannya teknologi, manusia memiliki waktu luang lebih banyak. Sebagian besar umur mereka tak lagi habis untuk bergulat dengan kerasnya alam. Berkat waktu luang, manusia memiliki kesempatan besar untuk mengembangkan aktivitas akal budinya. Peradaban pun perlahan tercipta.

Kita mungkin tak susah mengaitkan antara agama dengan pesantren. Namun, bagaimana kaitan antara pesantren dengan dua syarat peradaban yang lain, yakni keberlimpahan materi dan waktu luang?

Meski bukan kelas elit yang menikmati hak ekslusif ekonomi, pesantren mampu memberi waktu luang dan mencukupi kebutuhan materinya. Caranya melalui ajaran sikap hidup sederhana serta membangun unit ekonomi mandiri.

Setiap santri dilatih hidup sederhana sejak awal masuk pesantren. Mereka dikenalkan pada ilmu tasawuf dan tradisi tirakat. Berkat hidup sederhana, mereka pun memiliki lebih banyak waktu luang. Mereka tak terobsesi menghabiskan seluruh umur untuk bekerja dan hanyut oleh napsu dunia. Akhirnya, santri memiliki kesempatan lebih besar untuk mengembangkan potensi akal budinya secara maksimal.

Dari Bahtsul Masail ke Fikih Peradaban

Ben Anderson dalam Revolusi Pemuda (1998) mencatat bahwa pesantren sejak dulu menjadi tempat subur bagi perkembangan gagasan utopis. Gagasan tersebut memang tak memiliki pengaruh signifikan di masa damai, namun ia seringkali menjadi jawaban saat krisis sosial. Ben tak merinci bagaimana gagasan utopis itu tercipta. Namun menurut saya, perkembangan gagasan di pesantren tak lepas dari tradisi bahtsul masail.

Bahtsul masail merupakan forum musyawarah para santri maupun kiai, duduk bersama membahas persoalan Islam kekinian. Tradisi ini berupaya mengkontekstualkan Islam dengan perkembangan zaman, sehingga Islam tetap relevan, dinamis, dan solutif. Semangat ini tak lepas dari kaidah terkenal dalam NU yang berbunyi al muhafadhatu ‘ala qadimi shalih, wal akhdu bil jadidi aslah. Sebab itu, bahtsul masail merupakan upaya merawat tradisi ijtihad yang menjadi ruh kemajuan peradaban Islam.

Pembahasan bahtsul masail tingkat santri mungkin sebatas persoalan fikih ubudiyah atau muamalah kontemporer, seperti akad jual-beli melalui e-commerce misalnya. Namun pada Harlah 1 Abad NU kemarin, tradisi bahtsul masail bertransformasi menjadi halaqah fikih peradaban, sebuah forum muslim sedunia yang sangat menentukan peradaban Islam ke depan.

Halaqah Fikih Peradaban membahas status Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pandangan syariat Islam. Pertemuan ini berupaya mencari landasan syariah terkait isi Piagam PBB, seperti bentuk negara modern dan misi menciptakan perdamaian dunia. Pembahasan ini penting mengingat produk hukum fikih sosial-politik yang lama sudah tidak relevan dengan zaman sekarang.

Hasil rekomendasi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I menyatakan menolak Khilafah, dan mendukung Piagam PBB. Khilafah dianggap melanggar maqashidu syariah sebab menebar teror dan pertumpahan darah. Sebaliknya, NU mengajak umat Islam dunia untuk mengembangkan fikih yang mencegah sikap intoleran serta mendukung upaya perdamaian seluruh umat manusia. Islam pun menjadi agama yang cinta damai, sesuai misinya.

Di tengah krisis global hari ini, NU keluar kembali dari “pertapaannya” memberi jawaban. 1 abad lalu, NU berhasil menghadapi tantangan kolonialisme, demokrasi dan toleransi beragama. Pada abad ke 2, NU dihadapkan dengan krisis perdamaian dunia. Fikih peradaban menjadi langkah awal menjawab tantangan tersebut.

Bagi saya, mahakarya peradaban tak melulu berwujud fisik, seperti Piramida Mesir. Karya peradaban dapat berupa non fisik, seperti sistem sosial politik yang harmonis. Dalam hal ini, fikih peradaban menjadi sumbangsih besar NU terhadap peradaban Islam kontemporer.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image