Hidup Berdampingan dengan AI, Mitigasi Jadi Kunci
Lomba | 2023-08-26 11:35:21Dalam lima tahun terakhir, perbincangan mengenai kehadiran artificial intelligence atau kecerdasan buatan terus bergulir dan semakin meningkat dalam beberapa bulan ini. Kemunculan ChatGPT, sebuah aplikasi chatbot berbasis AI yang diluncurkan oleh OpenAI, menjadi alasan di balik keriuhan ini.
Sebagai informasi, ChatGPT merupakan layanan yang mampu meniru cara manusia berbicara dan memberikan respons yang realistis dalam sebuah percakapan.
Banyak pihak berdecak kagum ketika mengetahui hasil ChatGPT yang mampu menuruti permintaan pengguna untuk menuliskan atau mendeskripsikan suatu hal dengan sangat baik.
Ini hanya sebagian kecil dari teknologi berbasis AI yang kini mulai bermunculan satu per satu. Saya pun ikut membayangkan sebuah kulkas pintar yang tersambung dengan layanan toko online. Saat sayur atau perlengkapan lainnya habis, sensor dalam kulkas akan mengirim pesanan ke toko online. Nantinya akan ada notifikasi yang dikirimkan kepada ponsel pemilik kulkas terkait persetujuan pembelian. Tanpa perlu repot-repot, belanjaan kita sudah sampai di rumah.
Kehadiran AI yang semakin nyata, membuat sebagian orang mulai merasa khawatir. Artikel-artikel tentang pekerjaan yang berpotensi tergantikan oleh AI pun bertebaran di media sosial. Jika melihat kecanggihan yang ditawarkan AI, kekhawatiran itu bisa dimaklumi.
Namun, kehadiran AI bagi saya adalah sebuah keniscayaan di era digital. Mau tak mau, AI pasti ada, dengan segala dampak positif dan negatifnya. Ini ibarat nasib Indonesia yang berada di zona ring of fire dan harus hidup berdampingan dengan bencana.
Upaya yang bisa dilakukan adalah mitigasi untuk meminimalisir dampak dan korban. Dibutuhkan aturan-aturan khusus kebencanaan dan edukasi di tingkat sekolah-sekolah dasar untuk mendukungnya. Dengan begitu, masyarakat tidak akan kebingungan harus berbuat apa dan ke mana ketika bencana datang.
Dengan paradigma yang sama, hidup berdampingan dengan AI adalah pilihan yang masuk akal untuk saat ini. Ada banyak manfaat atau nilai positif yang bisa kita gunakan semaksimal mungkin. Namun, melakukan upaya mitigasi juga menjadi sebuah keharusan.
Pasalnya, AI juga bisa menjadi ancaman bagi setiap individu, selain berpotensi menggantikan sejumlah pekerjaan. Baru-baru ini, misalnya, seorang model Indonesia mengunggah klarifikasi yang mengaku dirinya menjadi korban edit foto teknologi AI yang kerap disebut "deepfake".
Potensi kejahatan "deepfake" ini sebenarnya sudah diprediksi beberapa tahun yang lalu. Saat itu, beberapa pihak mencontohkan "deepfake" dalam bentuk video monolog seorang politisi AS. Padahal, politisi tersebut tak pernah melakukannya.
Bayangkan, bagimana jadinya jika kecanggihan teknologi ini disalahgunakan untuk menyerang individu dengan berbagai tujuan, khususnya politik? Ini akan semakin memperparah kegaduhan dan polarisasi politik yang ada di Indonesia selama ini.
Mitigasi Dampak Negatif AI
Upaya mitigasi ini tentu akan meminimalisir kejahatan-kejahatan yang memanfaatkan kecanggihan AI. Regulasi adalah kunci utamanya. Sayangnya, Indonesia sejauh ini belum memiliki aturan khusus yang mengatur soal kehadiran AI.
Padahal, pemerintah telah menerbitkan "Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045" untuk pengembangan kecerdasan buatan di Indonesia. Sejauh ini, pemerintah hanya mengandalkan beberapa aturan yang sudah ada, termasuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Tentu UU ITE tak mampu dijadikan sebagai "pagar" atas perkembangan AI yang semakin nyata ini. Apalagi, undang-undang tersebut hanya bersifat respons, bukan mitigasi. UU ITE juga selama ini kerap dijadikan "senjata" untuk membungkang kritikan.
Sebagai mitigasi, aturan yang ada semestinya mengatur batasan-batasan penggunaan AI, prosedur penyimpanan dan pemrosesan data yang aman, menerapkan kontrol akses, serta peta risiko kemanan AI, lengkap dengan upaya penanggulangannya.
Dengan aturan ketat serta penegakan hukum yang konsisten, dampak dari kejahatan-kejahatan penyelahgunaan AI akan bisa diminimalisir. Pemerintah juga tak lagi saling lempar tanggung jawab jika ditemukan adanya pelanggaran, karena sudah ada payung hukum yang jelas.
Selain itu, aturan tersebut juga harus diimbangi dengan edukasi masyarakat terkait kesadaran akan pentingnya keamanan data pribadi. Sebab, masyarakat Indonesia sejauh ini masih minim literasi digital. Tak heran, banyak orang kerap "klik" laman-laman tak jelas yang berujung pada penipuan. Dengan perkembangan AI, modus-modus penipuan tentu akan semakin canggih.
Karenanya, kesadaran pentingnya keamanan data pribadi perlu ditanamkan sejak dini. Hal ini bisa dilakukan dengan memasukkannya ke dalam materi pembelajaran sekolah.
Sekali lagi, AI menjadi sebuah keniscayaan di era digital. Pilihannya, memanfaatkan atau dimanfaatkan?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.