Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zahro Diniyah

Sekuntum Rokok

Sastra | Monday, 06 Feb 2023, 15:25 WIB

Senjata tajam itu semangat menghujam. Berkali kali diayun membuncahkan dendam. Aku menyaksikannya agak dekat, agar mampu memahami bahwa dia sedang melaknat beberapa pengkhianat.

Peluh di dahinya mengucur deras. Tentu saja, karena amarahnya tumpah dengan beringas. Terkadang ku ingin sempatkan diri menawarkan bantuan. Namun terkadang juga keinginan itu ku pendam karena pasti dia menolak diam-diam.

"Sudah hampir selesai sepertinya ya Mang, tinggal dua garit ini saja kan ?"

Mang Darno menjawab pertanyaanku cukup dengan sekali anggukan dan sedikit lirikan. Cangkul di tangan lebamnya masih terus beradu dengan tanah becek yang ia gali. Terlihat sepintas matanya menyimpan banyak harapan. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengisi perut keluarga Selain dengan menjadi buruh di sebidang kebun bunga milik tetangga.

Aku yang mengawasi di pematang dengan posisi berjongkok, setidaknya ikut sedikit merasakan apa yang dia impikan. Harta Karun hasil galian seorang buruh tani belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan, apalagi berharap tersisa untuk dijadikan warisan.

Sebetulnya ini bukan kali pertama aku memergoki Mang Darno sedang menguji urat di perkebunan. Setiap kali aku mendapat cuti, dan punya kesempatan untuk pulang beberapa hari, yang sering aku temui ialah lelaki paruh baya dengan perawakan tinggi ramping ini.

Bedanya, dulu-dulu kebun yang dia garap ini berisi lengkungan kangkung dan bayam. Luasnya kurang lebih 500 meter persegi. Kini, setelah tiga hari yang lalu aku pulang kampung, aku sedikit terperangah melihat isi yang sudah berubah. Kebun bunga Krisan meski dengan luas yang masih sama.

"Ini kenapa sekarang ditanami bunga Mang ?"

Kembali ku buka percakapan, dan kali ini sebari mengitari garit demi garit perkebunan yang sepertinya sudah setengah matang. Bunga-bunga nya masih sedikit yang sampai kuncup, warna warni bagai sifat duniawi.

Mang Darno seperti tak bisa menyembunyikan lelahnya. Pertanyaan kedua dariku ia pakai sebagai kesempatan untuk sejenak merenggangkan otot tubuhnya.

Membiarkan ku tetap berada diantara kuntum-kuntum bunga itu, dia memilih memberi sahutan sambil duduk di pematang dengan kedua tangan yang dipakainya untuk memijat kaki-kaki lusuhnya.

"Kebun sayuran sudah dua kali tidak balik modal Den..., Pak Ja'far menyerah dan menyuruh Amang untuk coba menggantinya dengan bunga". Pungkas lelaki berkulit manis dengan raut yang sedikit meringis.

"Amang sendiri lebih nyaman yang mana ? menggarap kebun sayur atau bunga?"

Pertanyaan ketiga ku ulas sambil memapah badan mendekati Mang Darno. Ikut duduk di sampingnya ternyata lebih nyaman. Meski, Mang Darno tampak kaget dan segera menawari ku secarik koran bekas yang dia ambil dari gazebo reyot di seberang kebun sana.

"Kotor atuh Den, celana mu itu loh mahal. Ini..coba alasi ini !".

Sungkan sebetulnya jika harus menerima koran itu, nanti dikira aku anak gedongan yang risih kotor-kotoran. Tapi menolak pun ragu, takut dikira pencitraan. Bukan kah hidup memang begitu ? Selalu diombang ambing oleh penilaian orang lian.

Namun pada Akhirnya ku terima tawaran mang Darno sambil bergegas melanjutkan pertanyaan berikutnya. Anggap saja aku ini wartawan yang selalu dihantui penasaran.

"Sepertinya kebun bunga lebih menjanjikan ya mang ?. Buktinya ini di sekitar kebun pak Ja'far juga bunga semua"

Mang Darno hanya menyahut dengan senyum yang tersungging. Ia mulai merogoh saku celana tiga perempat nya itu untuk mengambil sebatang rokok filter produk lokalan. Sebentar saja bau asap menyeruak melebur bayang-bayang sinar mentari. Wajah mang Darno selalu nampak exotic jika sedang menyembulkan linting kegemarannya.

"Mau kebun apa waè resiko nya sama saja Den. Dan nasib Amang dari dulu ya begini ini".

Mang Darno menyesap rokoknya lebih dalam. Seolah dengan cara itu kepedihannya bisa sedikit disimpan.

"Enak itu kayak Aden, bisa kerja di kota, penghasilan banyak".

Saat ini, entah bagaimana caraku membesarkan hati mang Darno yang sebetulnya tengah aku alami juga. Bagi orang yang belum pernah memamah pedihnya Jakarta, akan selalu menganggap hidup di sana itu bagai raja.

Penghasilan banyak ? tentu saja. Bahkan tiga kali lipat dari penghasilan di Desa. Tapi mereka tak pernah bertanya, bagaimana dengan berlipat-lipat nya biaya hidup di kota ?. Belum lagi risiko di kepala, dibentak penguasa, dipermasalahkannya etos kerja, dan seburuk-buruknya ialah mendapat PHK.

Ku tarik nafas panjang untuk menyusun pertanyaan berjenjang.

"Apa pak Ja'far tidak memberi bayaran yang layak Mang?"

Mang Darno terlihat merogoh kembali satu batang dari dalam kotak linting itu kala batang yang lain musnah menjadi puntung. Usai ujungnya ia bakar, wajah pasi nya menangkap kedua mataku.

"Pak Ja'far itu orang baik. Dari pertama bekerja dengan beliau, Amang langsung nyaman dan betah sampai sekarang. Bayaran nya tidak pernah telat dan selalu dia sesuai kan dengan besaran umumnya".

Aku mengangguk paham. Meski terik di siang ini cukup kejam, menelanjangi tubuhku yang padahal baru mampir kurang dari setengah jam. Mungkin ini sebabnya sering ku lihat mang Darno mencangkul dengan muka yang menekuk. Seandainya ada pekerjaan yang lebih laras dengan kondisi badan, tentu itulah yang akan dia emban.

"Lalu, kendalanya dimana mang?".

Mang Darno mendengus, menepuk-nepuk batang rokok di tangannya yang tinggal separuh itu. Pandangannya kali ini sedikit naik, tertuju pada segerombol burung Pipit yang menirukan parade jet tempur milik Tentara angkatan udara. Namun tak lama, dia menunduk lagi.

"Kendalanya gini Den , sekarang ini kan segala bahan pokok pada naik, bensin naik, bumbu dapur naik. Tapi harga sayuran maupun bunga-bungaan dari kebun masih harus dijual standar, terkadang lebih murah, bahkan ada kalanya tidak laku sama sekali".

Aku menggeserkan tubuh sedikit rapat lagi di samping mang Darno. Ku pasang wajah baku agar dia tahu bahwa aku sedang benar-benar mendengarkan keluhnya.

"Dan buruh tani seperti Amang ini ya kena ruginya juga, bayarannya bagaimana bisa naik. Mau menyalahkan pak Ja'far ya dia teh tidak salah. Malah dia juga ikut rugi".

Di akhir kalimat mang Darno, sekejap sirkulasi angin sekitar terasa berhenti berputar. Ku lihat wajahnya mulai menyerah, sedikit memerah namun bukan lantaran sinar matahari. Sepertinya dia ingin menitikkan tangis, namun sadar bahwa dia adalah lelaki.

Untuk kedua kalinya aku tak tahu bagaimana menawarkan solusi. Hidup di negeri manusia memang begini. Selalu ada yang merampok kesempatan dibalik kepedihan.

Entah sebelah mana yang licik. Pemimpinnya ? kanan kirinya ? preman pasarnya ? pedagang ? tengkulak ? petani ? buruh ?. Ah..yang pasti, sulit mencari sudut baik jika segumpal tumpukan didominasi oleh benalu-benalu yang picik.

"Aden sendiri gimana, lancar usahanya di sana ?"

Pertanyaan mang Darno menceraikan pandangan ku yang sedang mencumbu bunga berwarna ungu. Aku menoleh sejenak, menunduk dan menutup mata, mencari-cari seperti apa jawaban yang paling enak.

"Saya ini juga buruh mang. Bedanya, Amang di kebun, saya di pabrik. Hanya itu yang beda, selebihnya sama saja".

Seperti biasa, mang Darno cukup memberi tanggapan dengan beberapa anggukan. Tapi aku tahu, dia tetap yakin bahwa nasibnya tidak lebih mujur dariku. Bagaimanapun, suatu peristiwa hanya bisa dimengerti oleh mereka yang turut menyelami.

"Duh.. maaf ya mang, saya teh harus persiapan. Nanti sore harus balik ke Jakarta lagi. Kebetulan kereta dari Bandung berangkat jam 4".

Ku akhiri pertemuan dengan mang Darno kali ini dengan mata yang tertuju sebentar pada arloji di tangan kanan. Waktu yang tersisa tinggal dua jam saja. Separuh untuk menata pakaian dan perbekalan. Separuhnya lagi untuk membelah jalan menuju stasiun keberangkatan.

Setelah mang Darno mempersilahkan ku beranjak menopang bahu, ku ulurkan tangan sebagai harapan dapat berjumpa di lain waktu. Dia mengantarkan langkahku dengan seutas senyuman khas nya yang sayu. Dan, setelah kurang lebih sepuluh jengkal tubuhku menjauh, mang Darno berteriak memanggil ku kembali sambil berlari membawa lelah di sekujur tubuh.

"Iya mang , ada apa ?" Tanyaku penasaran.

Sebuah kotak kecil berwarna merah dia keluarkan dari saku celananya. Netra ku jelas melihatnya, itu rokok yang tadi habis tiga batang ditiupnya di pematang.

"Amang teh dari tadi lupa gak nawarin. Ini ambil ya sisanya buat bekal nanti di jalan".

Bibir ku menyeringai, tawa kami pun beradu. Terkadang, beban pikiran selalu mendatangkan beberapa bentuk kekonyolan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image