Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Kesalehan Sosial Nahdhatul Ulama

Info Terkini | Monday, 06 Feb 2023, 12:38 WIB
Kesalehan sosial NU tidak lepas dari peran kiai yang mengajarkan agama berbasis Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), Foto: Republika

Satu Abad Nahdhatul Ulama (NU) menjadi angin segar bagi Republik Indonesia. Organisasi Islam ini memiliki misi mempertahankan budaya pluralisme dan keberagaman kebangsaan yang membumi. Sejak lahir, NU menempatkan nilai-nilai perbedaan di tempat terhormat. Mereka juga berupaya memperkenalkan ajaran toleransi hingga mampu mempertemukan ajaran agama dengan kebiasaan yang menjadi budaya di masyarakat.

KH. Mustofa Bisri dalam bukunya Saleh Ritual, Saleh Sosial memberi analogi menarik tentang penciptaan manusia dari tanah. Menurutnya, "Ditetak Belah, Dipalu Belah, Tembikar juga Jadinya". Pepatah ini berarti tembikar yang terbuat dari tanah menjadi kuat setelah melalui proses pembakaran yang sempurna. Kalau sudah berbentuk lalu dibakar, jadilah tanah liat itu patung atau tembikar yang kuat dan hilang sifat tanah liat yang lemas atau mudah patah. Seorang manusia yang melalui proses kehidupan yang keras akan membuat dirinya lebih kuat, tahan banting dan mampu menghadapi tantangan di depannya.

KH.Maimoen Zubari sebagai sosok terpandang di lingkungan NU melihat adanya tafsir keagamaan yang kontekstual progresif di lingkungan NU. Tafsir itu merujuk pada konsistensi kelompok NU terhadap fiqh klasik sebagai rujukan, namun pemahamannya mampu menganalisis aspek sosial kekinian. Ini tentu menjadi nilai lebih dari sebuah organisasi sebesar NU yang mampu menjawab problematika kekinian.

Maimoen Zubair bahkan ikut memberi sumbangsih pemikiran dalam hal sosial politik yang terjadi di Indonesia. Beliau mampu memainkan peran seorang ulama terhadap penguasa di legislatif ataupun eksekutif. Tentu, semuanya itu dilakukan demi tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesalehan sosial NU memang dihadirkan demi tegaknya Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, kader NU mampu menunjukkan sifat yang rendah hati, tidak merasa benar sendiri dan menghormati perbedaan. Hal ini yang membentuk organisasi menjadi kuat dan berakar. Kesalehan sosial NU tidak lepas dari peran kiai yang mengajarkan agama berbasis Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).

KH Muchit Muzadi menyebutkan ajaran ini membentuk kepribadian khas NU dalam hal keagamaan dan kehidupan sosialnya. Beliau menyebut ada tiga komponen penting dalam gerak langkah NU yakni fiqh, tasawuf dan akidah. Tiga komponen yang diyakini itu membentuk cara berpikir yang tawasuth (pertengahan/tidak ekstrim), tasamuh (toleran) dan tawazun (seimbang).

Pondasi ajaran yang demikian membuat kemunculan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden RI. Saat itu, tidak sedikit warga NU yang surprise setelah mengetahui pimpinan mereka benar-benar menjadi presiden. Gus Dur pun dikenal sebagai sosok toleran, pejuang HAM dan kemanusiaan serta mengusung ide-ide pluralisme. Begitu kuatnya sosok Gus Dur, membuat dia menjadi orang yang terkuat di wilayah Asia (versi salah satu majalah asing di Asia).

Masdar F. Mas'udi memiliki pandangan tentang hakikat kesalehan sosial yakni menghargai perbedaan di masyarakat, mau menolong tanpa melihat latar belakang dan senantiasa menjaga kebersamaan. Sementara, menurutnya, ritual keagamaan sebagai simbol semata. Menurutnya, NU memiliki peran besar dalam menyebarkan ajaran kesalehan sosial.

NU memiliki kemampuan untuk menyebarkan agama keadilan bagi seluruh manusia. Ada tujuan yang harus dicapai dari cara seseorang beragama, yakni bagaimana kezaliman bisa diperangi, kemiskinan bisa teratasi dan persatuan Indonesia kian kuat. Di tengah pertentangan ide-ide politik belakangan ini, maka kesalehan sosial seperti ini tentunya akan semakin dibutuhkan. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image