Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Mengenal 10 Model Bisnis di Era Digital

Teknologi | 2023-02-04 21:40:01

MENGENAL 10 MODEL BISNIS DI ERA DIGITAL

Masih ingat perseteruan antara Inul Daratista dan Rhoma Irama bukan? Raja Dangdut itu mempersoalkan penampilan Inul yang lebih mempertontonkan aurat lewat “goyang ngebor”-nya. Ia juga dinilai telah menodai dunia musik dangdut di Indonesia. Ia menghimbau kepada para artis yang tergabung dalam Paguyuban Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) dan semua stasiun televisi untuk memboikot pedangdut Inul. Tidak hanya sampai di situ, bahkan ia melarang Inul untuk menyanyikan lagu-lagu ciptaannya.

Benarkah perseteruan itu murni persoalan mempertontonkan aurat?

Para pedangdut senior dibesarkan dalam model bisnis royalti. Mereka menyanyikan lagu-lagu ciptaan mereka sendiri atau dari para pencipta lagu. Kekayaan mereka berasal diawali dari lagu yang mencapai hits, yang merupakan perkalian dari nilai rupiah per keping rekaman dengan jumlah kepingan (kaset, CD) yang terjual. Oleh karena, melindungi pembajakan sangat penting dilakukan.

Sedangkan Inul Daratista adalah orang desa biasa. Suaranya juga tak sebagus para penyanyi dangdut seniornya. Bahkan tak satu pun lagu karangannya yang meledak. Ia hanyalah seorang penyanyi dangdut dari panggung ke panggung. Dari satu desa ke desa lainnya, dari satu kampung ke kampung lainnya. Ia menjadi tenar justeru dari memperdagangkan CD-CD bajakan. Puncaknya, ia bisa tampil di beberapa stasiun televisi.

Pembeda keduanya adalah dalam hal model bisnis (business model). Para incumbent memakai model bisnis royalti, sedangkan para new comer, menggunakan model bisnis panggung hiburan. Produknya sama, hanya model bisnisnya yang berbeda. Inilah salah satu ciri era disrupsi (disruption).

Disrupsi sendiri menurut KBBI yaitu “yang tercerabut dari akarnya”. Hal ini bisa dimaknai sebagai sistem lama digantikan oleh sistem yang baru, cara lama digantikan oleh cara yang baru, atau model lama digantikan model baru. Oleh karena itu, apabila incumbent tidak bisa beradaptasi atau mendisrupsi dirinya sendiri, mereka akan “tercerabut dari akarnya”.

sumber gambar: https://kunci.com/

Berikut 10 Model Bisnis di Era Digital

1. Subscription Model

Pelanggan dikenakan iuran wajib untuk mendapatkan akses atau pemakaian dalam kurun waktu tertentu. Dengan cara inilah penyedia jasa mendapatkan pendapatan yang dapat diprediksi. Contohnya adalah Netflix yang memungut iuran bulanan dan layanan yang bersifat on demand tanpa batasan jumlah film yang ditonton. Di Indonesia ada USeeTV milik PT Telkom.

2. Free Model

Menjual layanan secara gratis. Contohnya adalah mesin pencari Google, Facebook, Instagram, Snapchat, dll. Kalau dijual secara gratis, lalu bagaimana perusahaan akan mendapatkan pemasukan? Rupanya, dengan menarik banyak orang secara gratis, Google akan mendapatkan komunitas yang amat besar dan menjadikan Google mempunyai aset yang amat penting dan nilainya akan terus naik. Inilah Big Data, yang bisa “dijual” kepada para perusahaan untuk beriklan.

3. Freemium Model

Jasa yang berkualitas premium, tetapi diberikan secara free alias gratis, maka disebut freemium. Layanan dasarnya memang gratis, tetapi kita akan dikenakan biaya setiap kali melakukan upgrade. Atau ketika kita memakai layanan atau aplikasi tertentu yang gratis, maka akan ada iklan di dalamnya. Jika ingin tak beriklan, maka kita dikenakan biaya berlangganan.

Lantas kalau gratis (freemium), darimana datangnya uang untuk kelangsungan usaha? Konsumen yang datang secara otomatis memberikan data, menyampaikan opini melalui pilihan, memberi informasi tentang siapa diri mereka, apa saja yang mereka dibutuhkan. Mereka inilah yang akan disasar oleh pengiklan, bahkan menjadi tambang data untuk analytics yang bisa dikomersialkan.

Freemium model dipakai oleh Google, Skype, DropBox, Spotify, Linkedin, dll.

4. Marketplace Model

Platform ini memfasilitasi berbagai pihak selayaknya Anda membangun sebuah pasar untuk menjadi tempat berinteraksi antara berbagai penjual dengan pembeli. Model ini dipakai oleh Shopee, Lazada, Tokopedia, Bukalapak, dan berbagai marketplace lainnya.

5. Hypermarket Model

Awalanya Amazon hanya tempat untuk mencari buku. Sekarang Amazon sudah menjadi hypermarket yang menyediakan barang apa saja. Selain Amazon ada pula Zalando dan Coolblue.

6. Access Over Ownership Model

Kalau cukup dengan memiliki akses yang terbuka dan bisa dipakai kapan saja, mengapa harus dimiliki? Inilah konsep ekonomi berbagi (sharing economy). Inilah yang dipakai oleh Go-Jek, Grab, Uber, dll.

7. On Demand Model

Ini sudah diterapkan dengan menggabungkan ekonomi berbagi dengan teknologi, yaitu oleh Go-Jek, Grap, Uber, dll. Mereka mengembangkan sistem dan analytics sedemikian rupa, sehingga saat armada dibutuhkan, komsumsi suplainya sudah dikerahkan sebelumnya ke lokasi di sekitar permintaan.

8. Experience Model

Dunia kuliner dan pariwisata mengeksploitasi pengalaman para pelanggannya. Konsumen bukan hanya ingin memanjakan lidahnya, melainkan juga seluruh pancainderanya. Bahkan, konsumen tertentu ingin ikut memasak bersama teman-temannya.

See, hear, smell, touch, feel, act, and do. Semua dipadukan dalam sebuah produk. Disney Park misalnya. Ada juga maskapai penerbangan yang menjual lebih dari sekedar alat transportasi (fungsi). Tesla menawarkan kendaraan listrik tanpa kemudi. Demikian halnya ketika membeli iPad, iPod, atau iPhone di toko Apple.

9. Pyramid Model

Skema bisnis yang banyak dipakai untuk memberikan insentif pada tenaga-tenaga penjual dan para koordinatornya. Jadi, Anda atau perusahaan Anda duduk di puncak piramid sebagai penerima kue terbesar sekaligus sebagai pembagi kue terbanyak.

Karena volumenya besar, tak apa bila Anda hanya menerima sedikit untung dari setiap transaksi. Secara total, keuntungan ini akan menjadi sangat besar, dan mereka yang duduk di bagian bawah merasa pembagian in adil dan menyejahterakan. Di sisi lain, ini sangat efisien karena tidak ada biaya tetap yang keluar. Semua biaya penjualan adalah variable cost, tergantung pada penerimaan.

Contohnya adalah PROJEK, salah satu situs jejaring sosial yang menghubungkan para penjual properti.

10. Ecosystem Model

Hal ini diterapkan pada pembangunan PT Kereta Cepat Indonesia – China, bahwa pendapatan yang diterima bukan semata-mata dari tarif kereta, melainkan dari ekosistemnya.

Apple dan Google adalah contoh yang paling sempurna, karena keduanya membangun ribuan usaha baru, mengakuisisi dan menciptakan bidang-bidang usaha baru seperti perangkat keras, perangkat lunak, logistik, konten, kultur, keterampilan, aplikasi, dll.

Demikianlah 10 model bisnis disruptif yang telah mengubah dunia dalam teknologi digital. Kalau begitu, apa yang bisa kita perbuat dalam bisnis atau pekerjaan kita sekarang?

Referensi:

Rhenald Kasali, Disruption, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2017.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image