Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Totok Siswantara

NU Digdaya dan Fenomena Tipping Point Erick Thohir

Agama | Thursday, 02 Feb 2023, 17:25 WIB
Erick Thohir - foto istimewa

Panitia Pengarah peringatan Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) diketuai oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Acara peringatan bertajuk "Mendigdayakan Nahdlatul Ulama, Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru". Tajuk tersebut hendaknya jangan sekedar jargon yang hilang begitu saja setelah puncak peringatan usai.

Erick Thohir dan Yenny Wahid setelah peringatan usai justru memulai program besar untuk mewujudkan esensi kebangkitan NU yang sejati. Yakni kebangkitan budaya, ekonomi, dan juga pendidikan dikalangan NU. Bobot kepemimpinan Erick tidak hanya ditentukan dengan hasil survei saja. Publik masih banyak yang belum tahu kalau ada sisi kepemimpinan Erick yang istimewa karena dia memiliki fenomena tipping point.

Jika kita simak buku best seller karya Malcolm Gladwell yang berjudul The Tipping Point, maka fenomena itu akan tergambar secara gamblang. Pada prinsipnya fenemona tipping point adalah saat ajaib ketika sebuah ide, perilaku, pesan, atau produk bisa menyebar seperti virus ganas yang mampu menduplikasi dirinya secara deret ukur.

Untuk mengenali fenomena Tipping Point yang melekat pada diri Erick, sebaiknya kita memahami istilah the law of the few ( hukum tentang yang sedikit ), the stickiness ( faktor kelekatan ), dan the Power of context ( kekuatan konteks ). Tiga unsur itu akan menular, membesar, dan merasuki semua strata sosial. Erick memiliki track record dan karya yang menyebabkan terjadinya tren atau popularitas yang luar biasa. Sepak terjang Erick selama ini juga telah menguraikan beberapa fenomena tipping point dalam berbagai bentuk. Fenomena itu telah mengubah cara berpikir semua pihak di negeri ini tentang bagaimana idealnya menyebarkan sebuah ide dan melakukan marketing sosial dan politik secara efektif.

Cara Erick dalam mengelola klub sepak bola kelas dunia, dan sebagai calon Ketum PSSI akan diverifikasi oleh sejarah. Begitupun Erick Way dalam mengembangkan industri media (Republika, platform radio Noice dan lain-lain ) juga perlu pembuktian. Erick memang masih terus belajar cara berkampanye yang larut ditengah kehidupan rakyat secara apa adanya dengan pemikiran yang generik sehingga bisa dicerna oleh rakyat kecil sekalipun.

Strategi kampanye Erick sangat kental dengan faktor kelekatan dan kekuatan konteks. Faktor kelekatan adalah sejumlah cara tertentu untuk membuat sebuah kesan mudah menular dan terus diingat. Faktor kelekatan menyiratkan perubahan atau aksi langsung dan berulang-ulang untuk memicu epidemik positif. Strategi kampanye yang menjadi fenomena word of mouth atau ketok tular itu sesuai dengan teori Gladwell yang mengkaji tren-tren dalam dunia untuk menemukan petunjuk-petunjuk tentang cara membuat sebuah ide menjadi sangat menular.

Saat ini rakyat membutuhkan kepemimpinan yang transformatif. Yakni kepemimpinan yang tidak sekedar kepemimpinan politik, tetapi juga kepemimpinan yang memiliki kapasitas dan daya kreativitas. Kepemimpinan transformatif mesti mampu mendefinisikan kembali orientasi dan strategi pembangunan di daerah agar tidak usang dan sesuai dengan semangat zaman.

Ilustrasi Wali Songo

Program besar Erick untuk mendigdayakan NU sebaiknya entry pointnya adalah strategi kebudayaaan. Tradisi NU yang mengikuti teladan Nabi dan Walisongo, selalu memandang kebudayaan secara positif dalam praktik dan dakwah agama. Berdakwah sebaiknya dilaksanakan dengan cara yang bijaksana termasuk memandang kebudayaan dalam berdakwah.

Tak kurang dari KH Masduki Baidlowi menjelaskan bahwa kebudayaan tidak bertentangan dengan agama secara inhern. Sebaliknya, justru kebudayaan selalu bisa menjadi instrumen melaksanakan keyakinan agama agar menjadi lebih kafah. Dalam pandangan fikih, bahkan tradisi atau budaya dapat menjadi sumber sebuah hukum (Islam), inilah wujud dari Islam Nusantara, Islam yang memberikan apresiasi dan afirmasi terhadap kebudayaan dan tradisi. Kiai Masduki menekankan bahwa NU memandang keragaman sebagai keniscayaan atau sunnatullah. Keragaman adalah anugerah (rahmat) yang harus disyukuri sekaligus menjadi energi untuk maju bersama.

Dalam teori sosial, kebudayaan mencerminkan perilaku yang dipelajari yang ditularkan dari satu anggota masyarakat kepada yang lainnya. Beberapa unsur kebudayaan ditularkan antar generasi. Kebudayaan suatu masyarakat membentuk pranata yang mengatur bagaimana aktivitas bisnis atau perusahaan dijalankan. Pada saat era globalisasi sekarang ini, masalah karakteristik kebudayaan perlu diperhatikan karena mempunyai relevansi dengan bisnis internasional. Sehingga kebudayaan nasional bisa menjadi leverage atau daya ungkit kemajuan bangsa.Terutama sebagai daya ungkit kaum Nahdliyin.

Terkait dengan leverage diatas, pentingnya Erick Thohir bersama para budayawan negeri ini merumsukan strategi kebudayaan di segala bidang. Menurut Schein budaya ada dalam tiga tingkat, yakni artifact, espoused values atau nilai-nilai yang didukung dan underlying assumptions atau asumsi yang mendasari. Tiga elemen budaya itulah yang harus direkayasa untuk mewujudkan ketangguhan dan kemajuan bangsa. Artifact menyentuh semua bidang dan segi kehidupan, termasuk produk,jasa, dan tingkah laku masyarakat.

Kita prihatin bahwa kesadaran dan pemahaman tentang pembangunan kebudayaan di Indonesia kini masih belum menggembirakan. Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Nasional masih berada pada angka 53,74 persen. Skor IPK Nasional tersebut menunjukkan bahwa kesadaran dan pemahaman masyarakat Indonesia akan perlindungan, pemahaman, dan pemanfaatan serta diplomasi budaya masih ada di tingkat menengah kebawah. Keniscayaan, pemajuan kebudayaan di desa, khususnya yang menjadi basis pesantren NU mesti menjadi program prioritas Erick. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image