Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Wahai Perempuan, Lelakimu Bukanlah Dewa

Curhat | Thursday, 16 Dec 2021, 07:43 WIB
Sumber gambar: https://makassar.terkini.id/wp-content/uploads/2019/09/images-25.jpeg

Kita mungkin pernah mendengar ungkapan ini; wanita butuh dimengerti, butuh dipahami, dan sejenisnya. Kalimat yang kurang lebih sama juga pernah dipopulerkan dalam lirik salah satu hits Ada Band berjudul "Karena Wanita" dengan ungkapan "Karena wanita ingin dimengerti", rilis 2006. Tanpa perlu disebutkan eksplisit, tuntutan untuk lebih memahami wanita ini lazimnya disampaikan dalam kaitan relasinya dengan laki-laki, sehingga konteksnya adalah relasi gender.

Lantas, kenapa kaum perempuan harus lebih dimengerti. Saya justru khawatir bahwa tuntutan sosial untuk lebih memahami perempuan justru berangkat dari pandangan dunia (worldview) yang bias gender, yakni menganggap kaum perempuan memang lemah sehingga butuh dimengerti. Ini semisal insiden kecelakaan yang melibatkan mobil dengan sepeda, siapa yang akan dibela masyarakat? Meski penunggang mobil sudah benar secara aturan lalu lintas, tetap saja penunggang sepedalah yang lebih berpeluang mendapat simpati dan pembelaan dari masyarakat. Mungkin karena sepeda dan mobil tidak dilihat dalam kaca mata hukum, melainkan pandangan sosial, bahwa sepeda merepresentasikan orang kecil, sementara mobil identik dengan orang kaya. Maka pilihan masyarakat untuk membela si penunggang sepeda adalah lebih sebagai pilihan moral – bukan pilihan rasional -, bahwa orang kecil harus lebih dibela, bila perlu dikasihani.

Sekarang mari kita uji pandangan soal wanita butuh dimengerti ini dalam kasus dinamika hubungan suami istri atau bisa juga sepasang kekasih. Untuk para lelaki, coba diingat sejenak, kapan terakhir kali istri atau perempuanmu marah?

Agh, pertanyaan tak penting, tak perlu dijawab apalagi dibahas. Saya membayangkannya seperti itu, mungkin karena kita-kita para lelaki jamak menganggap marahnya istri sebagai hal yang biasa. Bahkan seorang teman merasa heran karena hampir setiap hari istrinya mengaum bak singa, begitu diksi yang dipilihnya: mengaum. Atau ada juga yang lebih satir; Perasaan dulu bini gua murni anak kuliahan, kagak pernah aktif di organisasi, kok sekarang mahir berorasi. Kawan saya ini memilih kata "orasi", mungkin karena dia kalah dominan saat berdebat hebat dengan istrinya. Atau mungkin memilih mengalah seperti premis umum yang berlaku di masyarakat: perempuan tak pernah salah, apalagi saat sedang marah.

Para lelaki memang harus memahami, bahwa ada kalanya istri atau pasangan perempuan kita marah hebat, semi histeris mungkin. Seperti curhat tetapi dengan intonasi bak orasi, menumpahkan segalanya di hadapan Anda, lalu mengintrogasimu bak penyidik. Saat begini, bisa jadi perempuan Anda sedang menanggung beban pikiran yang berat tetapi gagal menemukan ruang untuk berbagi. Kondisi ini bolehlah disebut sumbu pendek, karena hanya butuh percikan kecil untuk meletup dan meledak di hadapanmu. Lantas jangan heran jika segala kesalahanmu dari A sampai Z, dari zaman masih unyu-unyu sampai amit-amit mendadak dimuntahkan seluruhnya. Tanpa jeda, serupa berondongan senapan serbu AK-47: bap-bap-bap-bap .

Jika Anda menghadapi situasi ledakan semacam ini, percayalah kuncinya adalah diam. Jangan kau jawab apapun, apalagi membantahnya, meski seolah-olah perempuanmu sedang bertanya tentangmu. Karena saat itu dia hanya sedang ingin menumpahkan kejenuhan, kekesalahan atau marah yang menumpuk, maka cukuplah Anda berperan menjadi pendengar yang baik. Dalam kasus ini, tuntutan memahami wanita masih bisa diterima akal sehat.

Kasus kedua, mungkin konteksnya lebih spesifik, yakni perempuan yang sedang marah dengan lelakinya. Bagaimana kaum perempuan menyampaikan pesan marahnya pada pasangan? Misalkan istri Anda tersinggung dengan sikap Anda, bisa juga sedang cemburu dengan sikap hangatmu terhadap perempuan lain, atau tengah tak setuju dengan sebuah keputusan yang Anda ambil. Dalam kasus semacam ini, bagaimana kaum perempuan mengirimkan signal marahnya? Umumnya perempuan akan memilih diam untuk mengekspresikan kemarahan atau ketidaksetujuannya. Perempuan memilih menjalankan ritual kebatinan, melawan dengan cukup mbatin. Atau jangan-jangan kaum perempuan terinspirasi dengan gerakan Satyagraha Mahatma Gandhi saat melawan kolonialisme Inggris di India, sebuah mode perlawanan tanpa kekerasan, melawan dengan gerakan diam.

"Resistensi pasif merupakan ekspresi sesungguhnya dari kekuatan cinta dan kebenaran yang dahsyat," demikian kata Gandhi seperti dikutip William Golant dalam bukunya The Long Afternoon: British India 1601-1947 (Dikutip dari portal tirto.id: Satyagraha, Pembangkangan Sipil Tanpa Kekerasan ala Mahatma Gandhi, 14 Oktober 2020)

Lagi-lagi perempuan ingin dimengerti, kali ini bahkan dalam diamnya. Meski jamaknya laki-laki mungkin telah tahu dengan mode ini, dalam praktiknya tetap saja tidak mudah mengoperasikan situasinya. Bahkan menjadi paradoks dengan kecenderungan perempuan yang senang dinyamankan dengan kata-kata: I love you, I miss you, terima kasih sayang, dan sejenisnya. Sementara laki-laki yang sebetulnya mungkin kurang nyaman untuk menunjukkan rasa cintanya dengan ungkapan verbal semacam itu, tetap mau berkorban menuruti what women want. Di ujung telepon, si laki-laki tetap saja mengucapkan love you atau miss you, makasih sayang, meski sejujurnya mungkin geli sendiri selepasnya. Apalagi jika ia sedang nongkrong bareng teman-temannya. Alamat di-bully sampai pagi.

Nah, sekarang giliran perempuan sedang marah, dia justru memilih mengekspresikannya dengan diam. Aneh bukan? Maka untuk kaum perempuan, demi tegaknya keadilan, demi prinsip kepatutan, izinkan kaum lakiplaki menyampaikan pesan ini:

"Ingatlah bahwa suamimu, laki-lakimu bukanlah dewa yang bisa selalu mengerti ekspresi dan bahasa tubuhmu. So, speak up, bicaralah saat kau sedang marah dan mengeluhkan perilaku suamimu. Sampaikan keberatanmu, sampaikan apa yang kau marahkan".

Sepahit dan sekeras apapun ungkapan marahmu, itu jauh lebih baik dari pada kau diamkan lelakimu. Percayalah, mendiamkan pasangan yang ada di sampingmu itu jauh lebih pahit dari kopi hitam tanpa gula. Apalagi tidur di kamar yang sama, di kasur yang sama, tetapi dengan posisi tubuh miring dan saling membelakangi. Sumpah, kagak asyik babar blas!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image