Kita Berharap Kota Santri Tidak Sepi Meskipun Peristiwa Cibiru Bandung Menodai Dunia Kiai
Agama | 2021-12-16 00:00:21Suasana di kota santri
Asyik senangkan hati
Suasana di kota santri
Asyik senangkan hati
Tiap pagi dan sore hari
Muda-mudi berbusana rapi
Menyandang kitab suci
Hilir mudik silih berganti
Pulang pergi mengaji
Duhai ayah ibu
Berikanlah izin daku
Untuk menuntut ilmu
Pergi ke rumah guru
Pencipta : H. Suhaemi,
dibawakan Group Qasidah Nasida Ria Semarang Jawa Tengah
Saya sengaja mengutip lirik indah qasidah Kota Santri meskipun dunia santri dan pondok pesantren pada saat ini sedang dinodai. Peristiwa yang terjadi, konon disebuah tempat yang disebut pondok pesantren di kawasan Cibiru Bandung telah menodai eksistensi pondok pesantren sekaligus para kiai yang tak bisa dilepaskan dari dunia pondok pesantren.
Penulis sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren, berbagai peristiwa amoral yang terjadi di pondok pesantren akhir-akhir ini benar-benar menyayat hati dan mengaduk-aduk gejolak amarah. Ketika membaca berbagai peristiwa amoral yang dilakukan orang-orang yang mengaku sebagai pengajar atau pengasuh pondok pesantren, perasaan marah, benci, dan ingin menumpahkan kekesalan kepada mereka berkecamuk di dada.
Namun demikian, di benak penulis pun muncul pertanyaan, ada apa dengan eksistensi pondok pesantren pada saat ini? Apakah orientasi pondok pesantren dan para pengasuhnya sudah berubah?
Sedikit menoleh ke masa sebelum tahun 2000-an, pondok pesantren masih tergolong pendidikan kelas orang-orang pinggiran. Pondok pesantren hanya menjadi tempat pendidikan bagi mereka yang tidak memiliki biaya melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Terkadang pula, pondok pesantren menjadi tempat pembuangan anak-anak nakal yang orang tuanya sudah kewalahan mendidik mereka. Masih terbilang sedikit orang-orang yang secara khusus mau mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Kata santri dan ustaz bukan gelar atau panggilan yang mau disandang orang-orang pada waktu itu. Lembaga pendidikan ini kalah popularitasnya dengan lembaga pendidikan formal melalui jalur sekolah yang lebih menjanjikan masa depan yang lebih gemilang.
Sejak digulirkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang salah satu pasalnya menyebut eksistensi pendidikan keagamaan memiliki kekuatan legal-formal, keberadaan pondok pesantren mulai populer di masyarakat. Para orang tua mulai melirik pondok pesantren bukan lagi sebagai pendidikan alternatif, namun sebagai pendidikan pilihan utama bagi anak-anaknya, terlebih-lebih ketika semakin memasyarakatnya pendidikan pesantren terpadu yang memadukan jalur pendidikan formal dan pendidikan kepesantrenan.
Pondok Pesantren menjadi trend. Anak-anak tidak malu lagi mengaku sebagai santri. Demikian pula halnya denga gelar ustaz yang semakin populer, meskipun pada saat ini terkadang gelar ustaz lebih mengerucut kepada profesi, ahli ceramah bahkan selebriti ketimbang ahli dalam bidang keagamaan.
Dahulu para kiai mendirikan pondok pesantren benar-benar demi pengabdian, bertekad menanamkan moral, menjauhkan diri dari hiruk-pikuk selebrasi duniawi. Pergerakannya pun boleh dikata laksana angin, terasa menghembus menyegarkan, namun tak kelihatan gerak, warna, dan rupanya. Orang-orang hanya dapat merasakan kehadiran para lulusan pondok pesantren yang membangun umat nan menyejukkan.
Diakui atau tidak, kini pondok pesantren telah menjadi semacam industri. Siapapun bisa mendirikan lembaga ini. Kalaupun seseorang bukan ahli agama, ia masih bisa membuka lembaga pendidikan keagamaan ini, menerima santri, kemudian mendatangkan dan menggaji para ustaz yang mengajar para santri.
Sesuai dengan namanya, industri itu menjual komoditi. Jangan-jangan pondok pesantren pada saat ini telah menjadi institusi pendidikan yang memiliki kecenderungan kuat sekedar menjadi lembaga ekonomi yang menjual pengetahuan sebagai komoditas. Jangan-jangan pondok pesantren tengah mereduksi diri dengan menjadi semacam balai latihan pertukangan belaka yang melahirkan tukang yang ahli, namun tanpa visi; terampil namun tanpa ruh dan isi.
Jangan-jangan pondok pesantren pada saat ini tengah beralih orientasi dari kaum sufi menjadi kaum sofis. Kaum sufi berorientasi kepada pengabdian keilahian dan perbaikan diri, menjauhkan diri dari perbuatan melakukan selebritas demi popularitas atas segala tindakan dan aktivitas.
Semetara kaum sofis lebih berorientasi kepada hal-hal yang pragmatis. Kaum ini lebih mengedepankan retorika dalam menyampaikan keilmuan dan kebaikan seraya lebih mengedepankan aksesoris atau simbol-simbol material kesuksesan.
Kesuksesan kehidupan duniawi nan glamor yang dipamerkan dijadikan alasan sebagai simbol wibawa dalam menyampaikan ilmu dan kebenaran. Kaum sofis berprinsip jika Anda berilmu namun tidak memiliki harta dan uang, tidak dipandang di masyarakat, tidak memiliki follower yang banyak, maka ilmu itu tidak ada gunanya (A. Setyo Wibowo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, 2010 : 12).
Saya dan semua orang berharap, perubahan orientasi kiai, ustaz, dan pondok pesantren benar-benar hanya jangan-jangan saja, jangan sampai terjadi dalam kenyataan. Sebab bagaimanapun juga, pondok pesantren, para kiai, dan para ustaz merupakan benteng terakhir moral-keagamaan. Jika benteng ini hancur berarti hancur pula kehidupan umat yang berujung kepada hancurnya nilai-nilai luhur ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin.
Dalam hal agama sebagai benteng moral-keagamaan yang mengajak orang untuk meraih kehidupan bahagia surgawi dalam arti mengajak kepada kebaikan dan moral yang baik, layak kita renungkan kata-kata Gianozzo Manetti yang mengatakan, agama sesungguhnya merupakan dukungan vital bagi maksimalisasi karya terbaik manusia di bumi ini.
Jika kehidupan surgawi dianggap sebagai model ideal kehidupan, maka itu mestinya berarti bahwa kehidupan di dunia ini haruslah diubah menjadi semakin surgawi. (Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora, Relevansinya bagi Pendidikan, 2008 : xvii).
Peristiwa yang terjadi di pondok pesantren jadi-jadian Cibiru Bandung yang menggemparkan dan menodai dunia pesantren, ustaz, dan kiai harus dijadikan sebagai autokritik, menelisik kembali secara mendalam akan langkah dan orientasi yang dilakukan pondok pesantren, para ustaz, dan kiai. Jika orientasi yang dilakukan selama ini sudah keluar dari arah kompas kepesantrenan, melenceng dari etika ustaz dan kiai, sudah saatnya untuk segera kembali ke arah kompas yang sebenarnya.
Jika pada saat ini dunia sufi pondok pesantren, ustaz, dan kiai sudah bergeser ke dunia sofis, mudah-mudahan berbagai peristiwa yang menghebohkan dunia pesantren pada saat ini menjadi jalan untuk segera mengembalikan orientasi pondok pesantren, ustaz, dan kiai kembali ke dunia keilahian yang suaranya melambung, menembus batas cakrawala tanpa meninggalkan pijakan kaki di muka bumi.
Kita berharap, peristiwa yang terjadi di Pondok Pesantren jadi-jadian di kawasan Cibiru Bandung dengan tokoh utama Herry Wirawan alias Heri bin Dede, sang ustaz jadi-jadian tidak menjadikan Kota Santri sepi, masyarakat dan santri menjauh dari kiai, ayah-ibu tak memberi izin anak-anaknya untuk mengaji di rumah guru dan kiai karena khawatir bernasib seperti yang dilakukan sang predator anak, Herry Wirawan.
.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.