Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tsuroiya Alfa Nurin Wa Nur

Menemukan Kekuatan di Balik Luka

Curhat | 2025-01-02 12:19:51
Sumber : pinterest

Tahun pertama saya menginjakkan kaki di Sekolah Menegah Pertama, orang tua saya memutuskan untuk memasukkan saya ke dalam pondok pesantren. Teringat sekali, saat itu saya hanyalah seorang anak kecil yang sedang memasuki masa remaja. Saat saat dimana saya mencari jati diri saya yang sesungguhnya. Saya datang dengan membawa harapan yang besar. Ingin mendalami agama, memperbaiki diri, dan menemukan teman-teman yang bisa membawa saya ke dalam hal hal positif. Awalnya, semua berjalan seperti apa yang saya pikirkan. saya bisa beradaptasi dengan baik, menemukan teman-teman yang baik, dan bisa mengikuti semua proses pembelajaran di pondok pesantren dengan baik juga.

Namun, kenyataan yang saya dapatkan di tahun ketiga saya di pondok pesantren sungguh menghancurkan harapan yang selama ini saya inginkan. Saya dijauhi teman-teman saya tanpa alasan yang jelas. Saya diabaikan, dipojokkan, dan dianggap tidak ada dengan sejuta tanda tanya di benak saya, “apa kesalahan yang telah saya perbuat sampai mereka melakukan hal seperti ini?”. Tak jarang, salah satu dari mereka menyindir dan mengatakan hal yang sumpah mati tidak ingin saya dengar lagi sampai sekarang.

Awalnya, saya mencoba mengabaikan itu semua dan berpikir bahwa masalah ini akan berakhir secepatnya. Namun, perlakuan itu saya dapatkan sampai berbulan bulan lamanya. Setiap hari yang saya lakukan hanya menangis diam-diam ketika hendak tidur, menyesali karena sampai detik itu saya tidak tahu kesalahan apa yang sudah saya perbuat hingga saya mendapatkan perlakuan seperti ini.

Keinginan untuk menyakiti diri sendiri pun mulai muncul karena stress dan tidak mengetahui cara yang bisa saya lakukan untuk mengakhiri rasa sakit. Hampir setiap hari, saya menghubungi orang tua, berharap untuk mendapatkan ketenangan. Tetapi, semua hal yang saya lakukan itu sia-sia karena tidak memberikan perubahan apapun terhadap situasi yang sedang terjadi. Namun, ada satu hal yang tiba-tiba menggugah hati saya, nasihat dari orang tua saya sebelum saya berangkat ke pondok pesantren. “Namanya hidup di pesantren itu pasti ada gaenaknya mbak. Tapi sebisa mungkin kamu harus bisa menghadapi itu semua. Kamu harus bisa jadi orang yang lebih hebat daripada mamah dan buya”. Kata-kata itu terus berputar di benak saya.

Perlahan-lahan, saya mulai bangkit dari keterpurukan. Saya mulai mengubah cara untuk menyikapi situasi seperti ini. Alih-alih membiarkan diri tenggelam dalam rasa sakit, saya mencoba fokus pada tujuan awal saya ketika baru menginjakkan kaki disini. Saya mulai abai dengan berbagai sindiran yang mereka lontarkan dan berusaha untuk hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Saya juga mencoba memahami bahwa mungkin saja mereka bertindak demikian karena ada rasa iri dalam diri mereka sendiri.

Butuh waktu berbulan-bulan, tetapi perlahan perlakuan itu berkurang. Satu persatu diantara mereka mulai meminta maaf dan mengakui kesalahan. Dari situ saya mengetahui bahwa mereka tidak sepenuhnya sengaja memperlakukan saya dengan tidak baik. Mereka hanya disuruh oleh satu oknum dengan dalih akan dijauhi juga jika tidak mengikuti apa yang dia inginkan.

Dari pengalaman ini saya belajar banyak hal. Saya belajar bahwa hidup di lingkungan yang keras dan jauh dari orang tua memang tidak mudah. Tetapi dari pengalaman itu saya menemukan kekuatan dari dalam diri saya yang sebelumnya tidak pernah saya sadari. Saya belajar untuk selalu memaafkan, belajar bertahan, dan yang paling penting, saya belajar untuk mencintai diri saya sendiri.

Kini, Ketika saya mengingat kembali pengalaman itu, saya merasa sangat bersyukur. Jika saya menyerah saat itu, mungkin saja saya tidak akan bisa menjadi pribadi seperti yang sekarang. Menjadi pribadi yang tangguh, tidak takut untuk melangkah sendirian, dan lebih mencintai diri saya sendiri. Pengalaman itu juga sangat memotivasi saya hingga saat ini saya bisa menjadi bagian dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Sedikit pesan dari saya untuk siapapun yang sedang menghadapi situasi serupa, selalu ingat, kita mungkin tidak bisa mengontrol bagaimana orang lain memperlakukan kita, tetapi kita selalu memiliki pilihan bagaimana cara untuk menyikapinya. Luka memang selalu menyakitkan, tetapi dari luka itu bisa menjadi sumber kekuatan yang luar biasa. Dan satu lagi, jangan terlalu menggantungkan hidup kepada orang lain karena setiap orang akan pergi jika masa nya sudah habis. Oleh karena itu, jangan pernah menyakiti dirimu sendiri, karena kamu adalah satu satunya tempat pulang yang abadi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image