ASN Berakhlak Anti Kekerasan Seksual
Edukasi | 2023-01-23 18:20:18Beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2022 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pengaduan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) mengalami peningkatan sejumlah 156.794 kasus pada tahun 2021. Sedangkan menurut laman www.konde.com, terdapat 65 kasus kekerasan dan pelecehan seksual telah terjadi di institusi pemerintahan selama 3 tahun terakhir, yaitu pada periode 2020-2022.
Memang jika dibandingkan dengan seluruh kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia, jumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual di institusi pemerintahan tersebut terkesan tidak seberapa. Namun, Komisioner Komnas Perempuan Indriyati Suparno kepada BBC News Indonesia menyatakan jika mayoritas korban kekerasan seksual di institusi pemerintahan tidak berani melapor dan instansi kerap menutup-nutupi kasus seperti ini, karena biasanya orang yang dilawan adalah orang dengan relasi kuasa yang lebih besar.
Relasi kuasa tersebut amat dirasakan oleh seorang pegawai Kementerian Koperasi dan UMKM yang telah menjadi korban pemerkosaan pada akhir tahun 2019 lalu. Kasus kekerasan seksual ini sempat ramai di media sosial disebabkan oleh penyelesaian kasus yang dinilai cacat hukum dan merugikan korban.
Kita boleh bernafas lega dengan disahkannya UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) pada tanggal 9 Mei 2022 setelah melalui jalan panjang. Dalam UU TPKS, diuraikan mengenai jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik dan non-fisik.
Bisa dikatakan pelecehan seksual merupakan tahap awal dari segala jenis kekerasan seksual lainnya, sebab perbuatan pelecehan seksual umumnya tidak disadari oleh pelaku. Tidak semua orang juga memahami apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual, fisik maupun non-fisik, bahkan pelaku malah sering bersembunyi dibalik dalih “bercanda”.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual fisik dan non-fisik?
Pada UU TPKS Pasal 5 dan 6, pelecehan seksual fisik dan non-fisik merupakan perbuatan seksual yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.
Definisi pelecehan seksual dalam UU TPKS memang masih bersifat umum dan dapat ditafsirkan secara luas. Sedangkan menurut Kurnianingsih (2003) dalam artikelnya menjelaskan bahwa pelecehan seksual fisik berbentuk godaan atau rayuan fisik, seperti tatapan sugestif terhadap bagian-bagian tubuh, lirikan mengoda, mengedipkan mata, rabaan yang mencakup cubitan, remasan, menggelitik, mendekap, dan mencium.
Sedangkan pelecehan seksual non-fisik menurutnya secara umum berbentuk verbal dan kasusnya lebih banyak dibandingkan dengan pelecehan seksual fisik. Pelecehan seksual non-fisik dapat berupa bujukan seksual tidak diharapkan, gurauan atau pesan seksual yang terus-menerus, mengajak kencan terus-menerus walaupun telah ditolak, pesan menghina atau merendahkan, komentar sugestif atau cabul, ungkapan seksis mengenai pakaian, tubuh, dan aktivitas seksual, dan permintaan pelayanan seksual dengan atau tanpa ancaman.
Dari uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan jika sebagian besar perilaku pelecehan seksual mungkin terasa sebagai obrolan atau lelucon biasa sesama rekan kerja bahkan sering dijadikan sebagai dalih untuk mencairkan suasana saat perkenalan. Akan tetapi, tidak semua orang, terlebih perempuan merasa nyaman terhadap lelucon, obrolan, atau komentar yang bersifat seksual. Walaupun menurut berbagai sumber, kasus pelecehan seksual tidak hanya dialami perempuan tapi juga oleh lelaki, seperti yang dialami oleh seorang pegawai KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) beberapa waktu lalu.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan seorang ASN jika mendapatkan pelecehan seksual di lingkungan kerja. Dalam nilai-nilai dasar ASN (core values ASN BerAKHLAK), terdapat nilai “adaptif” yang memiliki ciri cepat menyesuaikan diri menghadapi perubahan dan bertindak proaktif. Artinya, jika mengalami sebuah situasi yang merugikan dirinya, maka seorang ASN harus siap menghadapi dan lebih aktif untuk mencari keadilan.
Cara yang bisa dilakukan ASN berdasarkan nilai dasar adaptif tersebut, yakni menyampaikan ketidaknyamanan atas perilaku pelecehan seksual dan meminta pelaku menghentikan perilakunya.
Pada kasus pelecehan seksual, biasanya pelaku pelecehan tidak menyadari bahkan tidak memahami perilakunya dapat membuat orang lain merasa tidak nyaman. Maka, cara pertama untuk menghentikan perilaku pelecehan, kita harus terlebih dahulu menyampaikan ketidaknyamanan kita kepada pelaku. Jika pelaku menyadari perilakunya salah, ia akan menghentikannya.Namun, pada beberapa kasus, terdapat pelaku yang terus-menerus melakukan pelecehan walaupun kita telah menyampaikan ketidaknyamanan.
Jika hal tersebut terjadi pada diri kita, maka kita dapat menyampaikan ketidaknyamanan kita sekaligus meminta pelaku untuk menghentikan perilakunya. Hal yang lumrah terjadi jika banyak orang masih belum memahami kata “TIDAK” sebagai “TIDAK”. Jadi, seorang ASN harus benar-benar tegas menyatakan keinginan agar perbuatan pelecehan seksual dihentikan oleh pelaku. Jika kesulitan untuk menyatakan secara langsung, kita dapat menyampaikan secara tidak langsung melalui surat tertulis atau pesan singkat di aplikasi obrolan.
Kedua cara di atas memang sulit dilakukan, terlebih bila adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Oleh sebab relasi kuasa, banyak kasus pelecehan seksual yang tidak dilaporkan. Korban biasanya mengkhawatirkan posisinya. Jika korban pegawai kontrak, maka akan terancam pemutusan kontrak. Sedangkan jika korban sebagai ASN junior, maka akan terancam penilaian kinerja buruk atau lebih parah lagi, mutasi.
Diperlukan ketegasan dan keberanian sebagai seorang ASN dalam penyelesaian perilaku pelecehan seksual pada dirinya. Juga pentingnya support system yang baik, misalnya rekan-rekan kerja, keluarga, dan pihak berwenang terhadap kode etik dan perilaku ASN, seperti Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
Jika sudah melalui cara-cara di atas, namun perilaku pelecehan masih dilakukan oleh pelaku, maka seorang ASN harus lebih aktif untuk mendapatkan keadilan, seperti mencari kebijakan untuk mengatasi perbuatan pelecehan seksual di tempat kerja, mendokumentasikan perilaku pelaku saat melakukan pelecehan, dan menuliskan peristiwa demi peristiwa, bahkan jika terus terjadi dapat meminta perlindungan ke lembaga layanan terdekat, seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan.
Pelecehan seksual tentu saja dapat dihindari di lingkungan kerja, terutama di lingkungan pemerintahan, jika para ASN memahami dengan benar nilai-nilai dasar ASN BerAKHLAK. Perilaku pelecehan seksual merupakan perilaku yang bertentangan dengan nilai dasar “akuntabel” karena tidak mencerminkan ASN yang berintegritas dan nilai dasar “harmonis” karena tidak menjaga lingkungan kerja yang kondusif. Selain itu, sudah saatnya pula kita mengesampingkan relasi kuasa di lingkungan kerja jika terkait permasalahan etika dan moral.
Ayo, mulai sekarang kita gaungkan bersama semangat untuk mengatakan “TIDAK” pada kekerasan seksual.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.