Memaknai Hidup dalam Kehidupan
Sastra | 2023-01-18 05:26:14Suatu ketika saya menangkap sebuah adagium yang menurut para kebanyakan disebut-sebut sebagai ungkapan berbahasa filsafat, bersifat folosofis dalam menanggapi pantulan atas adagium dimaksud. Sehingga tak bisa di cerna dan dipahami dengan bahasa dan pemaknaan biasa, sederhana sebagaimana pada galibnya dan pada umumnya.
Bahwa hakikat hidup manusia , keberadaan manusia di Dunia adalah tercipta dari tiada, lalu menjadi ada, dan akan kembali menuju ke tiada lagi. Sehingga keberadaan manusia di Dunia dinyatakan sebagai kebetulan belaka. Bahkan, berlanjut pada pengertian yang dilontarkan oleh penganut filsafat Idealisme, bahwa manusia itu tercipta dengan sendirinya sebab oleh serangkaian dari "tiada - ada - tiada" itulah.
Lantaran manusia dibekali akal, nalar sehat bin waras yang sudah selayaknya berbingkai logis rasional, maka sayapun mencoba mengoptimalkan akal, nalar sehat bin waras dimaksud guna mengolah, mencerna, lalu mengembangkannya daya kapasitas dan kapabilitas sebagai manusia secara proporsional, seimbang, objektif, adil , apa adanya, dan jangan sampai "njomplang", ke kiri maupun ke kanan, terlalu ke atas ataupun terlalu ke bawah. Begitulah manakala saya seharusnya bersikap dalam menanggapinya.
Bermula dari ungkapan yang lain lagi bahwa manusia adalah "binatang yang berpikir" yang menjadi pembeda dengan mahluk lainnya, sebut saja binatang (hewan), maka sayapun tiada putus dan berhenti melakukan perantauan berpikir dan berpikir, ber-Isra' dalam pemikiran guna mendapatkan jawaban yang objektif-ilmiah menurut variabel pendukung keilmuan agar benar-benar disebut ilmiah berdasarkan standar keilmuan. Yakni, metodologi, sistematika, analitika, dan bermuara objektif yang tak terbantahkan. Bukan imajiner, atau hanya berkutat di awang-awang sebagaimana nyanyian para ahli kitab dan atau para ahli teori bin konsepsi belaka. Sementara, fakta realita sebagai kasunyatan tak ditemukan sama sekali. Dengan kata lain, tak ada padunya antara gagasan dengan kenyataan yang bernama klop di antara keduanya.
Jikalau memang manusia itu tercipta dan keberadaannya di Dunia adalah kebetulan, atau tercipta dengan sendirinya, maka itu akan berimplikasi pada gugurnya konsepsi tentang ciptaan dan penciptanya, kreasi dan kreatornya. Bahkan, keberadaan (being) manusia dengan segala fasilitas penopang eksistensinya, flora, fauna beserta alam semestanya, boleh jadi dijustifikasi tanpa melewati proses dan rancang bangun menurut asas kepastian yang sistematis dan serba matematis? Begitukah konklusinya?
Berikutnya, ada apa dengan istilah "pedoman hidup" yang sudah digeluti, dikaji, atau di-study oleh sebagian besar manusia dalam memperoleh jawaban tentang hidup dan kehidupan manusia di alam semesta, bila kesemuanya adalah serba kebetulan dan tercipta dengan sendirinya (generatio spontanea)? Lebih-lebih dalam sejarah budaya dan peradaban manusia, tersebut sang patron kehidupan dengan prestasi dan reputasinya yang mempengaruhi jalannya sejarah budaya dan peradaban manusia? Pun demikian, buat apa sebagian besar manusia menjumpai adanya kitab-kitab suci, lalu dijadikan sebagai bahan study, digali, disuarakan agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam menjalani hidup dan kehidupan di Dunia? Atau, buat apa sebagian besar manusia menggeluti dan mengembangkan ilmu sosial-budaya (social and culture science) ataupun tentang ilmu pasti alam (natural science) yang berasal dari pantulan fenomena gerak alam semesta dengan segala isinya? Buat apa?
Oleh karenanya, patut diingat dan disadari, betapa manusia sebagai individu maupun sosial, adalah ciptaan dan salah satu dari sekian mahluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta Yang Maha Pencipta Segala, dalam proses rancang bangun yang sistematis dan matematis, berteknologi canggih, revolusioner, bernilai dan berpinsip penuh keseimbangan nan universal di keseluruhan aspek hidup dalam kehidupan. Tidak kebetulan, serta-merta begitu saja, dan bukan dalam proses yang lamban atau evolusi. Tidak, dan bukan begitu ..! Yang demikian itu adalah bagi yang mau berpikir dan berpikir, bernalar dan bernalar sehat bin waras sebagai ciptaan dan atau sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, dan Maha Pencipta Segala ...
Dan, tak ada yang kebetulan ataupun tiba-tiba bin serta-merta di Dunia ini. Tak ada yang berbingkai mitos di Dunia ini. Kesemuanya serba logis-rasional menurut porsi kapasitas dan kapabilitas manusia sebagai ciptaan dan hamba Tuhan, senyampang benar-benar mendayagunakan akal dan nalar sehat bin warasnya . Berseimbanglah dalam menjalani hidup di samudra kehidupan secara universal.
Semoga!
Salam Seimbang Indonesia_Nusantara ...
*****
Kota Malang, Januari di hari kedelapan belas, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.