Awas Hantu Kepailitan, Perlu Mitigasi Ketenagakerjaan
Info Terkini | 2023-01-17 13:54:50Pailit alias bangkrut bisa dibilang seperti hantu disiang bolong bagi kaum pekerja. Teramat pilu jika karyawan mendengar perusahaan yang menjadi sumur kehidupannya dinyatakan pailit.
Meskipun ada ketentuan yang mengatur proses kepailitan tetapi belum ada rumusan yang secara jelas mengatur posisi yang menguntungkan pekerja yang perusahaannya dinyatakan pailit. Perlu mitigasi ketenagakerjaan terkait dengan perkara kepailitan yang bisa jadi pada tahun 2023 ini meningkat.
Proses kepailitan pada umumnya adalah proses yang berjalan panjang dan melelahkan lahir dan batin. Disatu sisi akan ada banyak pihak yang terlibat dalam proses ini, karena biasanya pihak debitor/perusahaan yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari pada satu kreditor dan belum tentu harta pailit mencukupi untuk membayar utang-utang tersebut. Masing-masing kreditor akan berusaha secepat-cepatnya mendapatkan pembayaran setinggi-tingginya atas piutang mereka masing-masing.
Meskipun tren perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sepanjang Januari hingga awal Desember 2022 tercatat menurun. Namun situasi perekonomian global yang tidak menentu berpotensi banyakl perusahaan yang terancam pailit.
Mengutip data sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari lima Pengadilan Niaga.Yakni Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pengadilan Niaga Semarang, Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Surabaya, dan Pengadilan Niaga Makassar. Tercatat pada Januari – 7 Desember 2021, terdapat 684 perkara PKPU dan 140 perkara kepailitan. Sedangkan pada Januari – 7 Desember 2022 terdapat 520 perkara PKPU dan 100 perkara kepailitan.
Akan tetapi memang pelaku usaha dan masyarakat pada umumnya harus tetap berhati-hati mengingat diperkirakan inflasi tahun depan akan menembus 7,34%. Lalu, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan faktor harga BBM yang terus berfluktuasi akibat perang Rusia dan Ukraina diperkirakan membuat harga-harga barang kian mahal.
Jika diteliti lebih jauh, banyak permohonan PKPU maupun pailit yang diajukan oleh kreditur, bukan dari debitur yang mengajukan restrukturisasi secara sukarela. Artinya memang semakin banyak perusahaan kesulitan keuangan. Banyaknya perkara kepailitan juga menunjukkan bahwa pelaku usaha makin sadar untuk menggunakan jalur hukum dalam merestrukturisasi utang-utang debiturnya.
Perkara perdata niaga ini lebih efisien dibandingkan perdata biasa yang jika tak terima putusan para pihak bisa banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Misalnya permohonan PKPU harus putus 20 hari, kalau dikabulkan debitur harus siapkan proposal restrukturisasi, jika ditolak krediturnya konsekuensinya pailit.
Putusan pailit memerlukan mitigasi sebagai upaya untuk memperkuat posisi karyawan. Keputusan pailit cenderung menempatkan kepentingan atau hak normatif pekerjanya diposisi tidak menguntungkan. Pada prinsipnya kepailitan merupakan putusan Pengadilan Niaga yang meletakkan seluruh harta dari seorang debitur pailit dalam status sita umum atau public attachment. Untuk kemudian oleh kurator, yakni pihak yang diangkat untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit tersebut, akan dijual dan hasilnya akan dibagikan kepada seluruh kreditur berdasarkan dari masing-masing tingkatan hak yang dimilikinya.
Kepailitan usaha dan industri dimasa mendatang akan terus terjadi dan membutuhkan antisispasi. Hal itu penting karena di negara-negara maju yang memiliki sistem dan jaminan ketenagakerjaan yang baik saja jika terjadi kepailitan maka hak pekerja sering terkalahkan.
Masalah kepailitan di Indonesia acap kali menjauh dari esensinya. Pengertian Kepailitan dalam UU No. 37 Tahun 2004, pasal 1 ayat (1) adalah: sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam konteks UU Kepailitan, ada beberapa jenis tingkatan hak kreditur yang dikenal. Kreditur yang memegang jaminan kebendaan, yaitu; jaminan berupa hak tanggungan, gadai dan fidusia, telah diakui secara tegas sebagai kreditur yang mempunyai hak preferensi eksklusif terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Oleh karena itulah, mereka dikenal dengan sebutan kreditur separatis atau secured creditor yang mempunyai hak eksekusi langsung terhadap jaminan kebendaan yang diletakkan oleh debitur kepadanya untuk pelunasan piutang terhadap debitur tersebut. Dilain pihak, aspek hak pekerja dalam posisi yang lemah.
Namun demikian, masih ada senjata bagi pihak pekerja untuk menerobos kondisi kepailitan, yakni “hak istimewa” yang dimiliki oleh pekerja berdasarkan pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang berbunyi sebagai berikut ; dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya
Namun dalam prakteknya, dari kasus-kasus kepailitan yang terjadi di negeri ini “hak istimewa” tersebut sering terkalahkan. Oleh sebab itu pentingnya amandemen atau revisi UU terutama untuk pasal-pasal yang terkait dengan hak-hak pekerja jika terjadi kepailitan.
Apalagi selama ini pihak kurator sering memutuskan bahwa pemberian hak untuk didahulukan seperti yang diatur dalam pasal 9 ayat 4 UU Ketenagakerjaan tidak dapat diartikan sebagai hak yang lebih tinggi dari hak kreditur separatis. Sebab, pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata juga telah secara tegas juga mengatur sebagai berikut; ”Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana ditentukan oleh undang-undang sebaliknya.” Jelas bahwa hak istimewa yang diatur dalam pasal 9 ayat (4) UU Ketenagakerjaan tidak mengatur bahwa hak buruh lebih tinggi dari hak separatis.
Artinya bahwa hak istimewa dari buruh adalah untuk mendapatkan pembayaran dari harta-harta debitur pailit yang belum dijaminkan. Fakta menunjukkan bahwa harta yang belum dijaminkan sangat kecil bahkan tidak ada. Dengan demikian pihak pekerja harus terus mencari upaya hukum dan politik.
Meski begitu ada beberapa kondisi di mana pekerja/buruh tidak mendapatkan hak atas pembayaran upahnya, seperti kondisi pertama ketika tidak ada lagi biaya yang dapat dibayarkan dari harta pailit atau harta pailit hanya cukup untuk membayar biaya-biaya perkara dan tagihan pajak maka dalam.kondisi ini pekerja/buruh tidak akan mendapatkan apa-apa.
Kondisi kedua ketika harta pailit hanya berupa benda-benda yang dijaminkan kepada kreditor, apabila nilai tagihan kreditor melampaui nilai-nilai dari benda yang dieksekusi maka otomatis tidak ada sisa dari harta pailit, namun apabila nilai eksekusi dapat menutupi piutang pemegang hak jaminan, maka sisanya dapat dibagi, tentu saja upah pekerja/buruh ada dibawah biaya-biaya perkara dan tagihan pajak. (AM)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.